INTERNASIONAL - Satu penumpang meninggal dunia dan sejumlah lainnya luka-luka setelah pesawat Singapore Airlines dengan rute penerbangan London-Singapura mengalami turbulensi parah.
Pesawat pun melakukan pendaratan darurat di Bangkok, Thailand. Apa itu turbulensi dan apa penyebabnya?
Penumpang pesawat SQ321 menceritakan adegan "teror", dengan salah satu penumpang mengatakan dia melihat seorang perempuan dengan "luka parah di kepalanya", dan mendengar penumpang lain "berteriak kesakitan".
“Yang paling saya ingat adalah benda-benda beterbangan di udara. Saya basah kuyup terkena kopi. Turbulensinya luar biasa parah," ujar Andrew Davis, asal Inggris, seperti dirilis BBC.
Davis kemudian menggambarkan "jeritan mengerikan dan suara seperti hentakan benda" pada detik-detik awal kejadian.
Penumpang lain mengatakan pesawat naas itu tiba-tiba mulai "miring ke atas" dan "bergetar". Turbulensi terjadi tatkala awak kabin tengah membagikan makanan.
"Saya mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dan tiba-tiba ada penurunan yang sangat dramatis. Semua yang duduk dan tidak pakai sabuk pengaman langsung terlempar ke langit-langit," kata Dzafran Azmir, mahasiswa berusia 28 tahun, kepada Reuters.
"Kepala sejumlah orang terbentur di kabin bagasi atas sampai penyok," tambahnya.
Korban meninggal bernama Geoff Kitchen, pria Inggris berusia 73 tahun, diduga karena serangan jantung. Adapun jumlah penumpang luka-luka diperkirakan sedikitnya 30 orang.
Para penumpang yang sering bepergian dengan pesawat pasti sudah tidak asing dengan guncangan tiba-tiba yang dapat terjadi saat pesawat turbulensi.
Turbulensi dapat menggoyangkan pesawat dan menyebabkan perubahan ketinggian secara tiba-tiba.
Simon King, ahli meteorologi juga mantan perwira Royal Air Force, menyebut sebagian besar turbulensi terjadi di awan di mana terdapat arus udara naik dan turun.
Sebagian besar turbulensi ini tergolong ringan, tetapi saat terjadi di awan yang lebih besar – seperti awan badai Cumulonimbus – pergerakan udara yang kacau dapat menyebabkan turbulensi tingkat sedang atau bahkan parah.
Ada jenis turbulensi lain yang disebut turbulensi "udara jernih". Sesuai namanya, turbulensi ini terjadi di tempat tanpa awan dan tidak bisa dilihat. Turbulensi jenis ini jauh lebih merepotkan karena sangat sulit dideteksi.
Akademisi penerbangan dan pilot komersial Guy Gratton mengatakan jenis turbulensi ini terjadi di sekitar arus jet (jet stream), "sungai" udara yang mengalir cepat dan biasanya ditemukan di ketinggian 40.000-60.000 kaki.
Gratton menyebut perbedaan kecepatan antara udara di jet stream dan udara di sekitarnya bisa mencapai sekitar 160 kilometer per jam. Gesekan di sekitar arus jet antara udara yang lebih lambat dan lebih cepat – sehingga menyebabkan turbulensi.
Turbulensi ini selalu ada dan bergerak, sehingga sulit dihindari.
Gratton mencontohkan ketika pesawat terbang dari Eropa ke Amerika Utara, maka sulit untuk sepenuhnya menghindari turbulensi “udara jernih”. Ini dapat menyebabkan periode turbulensi parah.
Gratton, lektor kepala studi penerbangan dan lingkungan di Cranfield University, mengatakan pesawat dirancang untuk menahan guncangan terparah yang disebabkan oleh turbulensi.
“Tidak mungkin" turbulensi bisa menghancurkan pesawat, menurut dia.
Meskipun demikian, turbulensi tetaplah tidak baik untuk pesawat.Itulah sebabnya pilot berusaha menghindarinya atau memperlambat pesawat – dan menyalakan tanda sabuk pengaman.
Para ahli mengatakan dalam skenario ekstrem, turbulensi dapat menyebabkan kerusakan pada pesawat karena kekuatan angin yang sangat kencang.
Turbulensi parah bisa berbahaya bagi penumpang pesawat karena gerakan kuat yang ditimbulkan membuat siapa saja yang tidak memakai sabuk pengaman ke terlempar seluruh kabin.
Namun, pakar keselamatan penerbangan mengatakan kematian dan cedera akibat turbulensi masih jarang terjadi.
John Strickland, pakar penerbangan, mengatakan cedera akibat turbulensi parah "relatif jarang" dalam konteks jutaan penerbangan yang beroperasi.
Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS mengatakan ada 163 "cedera parah akibat turbulensi" untuk maskapai penerbangan yang berbasis di AS antara 2009 dan 2022 – rata-rata sekitar 12 per tahun.
Pilot mendapatkan perkiraan penerbangan khusus sebelum lepas landas – termasuk data meteorologi.
Pilot-pilot dapat mempelajari informasi ini ketika merencanakan rute mereka.
Dengan data awal ini, mereka seharusnya bisa menghindari badai petir yang terisolasi. Namun, turbulensi "udara jernih" agak lebih sulit untuk dihindari.
Gratton mengatakan pesawat yang lebih dulu terbang di rute yang sama juga akan melaporkan adanya turbulensi.
Kalau ada laporan ini, maka pilot setelahnya akan mencoba menghindari area turbulensi atau memperlambat pesawat untuk mengurangi dampaknya.
Awak pesawat juga dilatih tentang cara menangani turbulensi.
Penumpang disarankan tetap memakai sabuk pengaman dan tidak meletakkan benda berat di luar tempatnya.
Pilot menyarankan penumpang untuk selalu memakai sabuk pengaman, utamanya karena turbulensi tidak dapat diprediksi.
Beberapa peneliti merasa perubahan iklim membuat turbulensi lebih mungkin terjadi.
Tahun lalu, para ilmuwan di Universitas Reading, Inggris, menemukan turbulensi parah meningkat 55% antara 1979 dan 2020 di rute Atlantik Utara yang biasanya sibuk.
Mereka mengaitkan peningkatan tersebut dengan perubahan kecepatan angin di ketinggian akibat udara yang lebih hangat dari emisi karbon.
Guy Gratton berpendapat bahwa kita lebih sering menghadapi turbulensi – menurutnya alasan lainnya bisa jadi karena orang-orang masa kini lebih banyak terbang.
Langit yang kian sibuk membuat keputusan pilot untuk menghindari turbulensi menjadi lebih rumit: mereka harus menjaga jarak minimum yang aman dari pesawat lain di daerah tersebut. (*)
Tags : Pesawat, Perjalanan, Transportasi, Insiden dan kecelakaan pesawat, Singapura,