JEMALIN atau akrab yang disapa Jamal, Ketua Kelompok Tani Sara Tangke di Kampung Tawardi, Kecamatan Kute Panang, Kabupaten Aceh Tengah, tidak mengingat secara pasti sejak kapan perkebunan kopi hadir di wilayahnya.
Ia hanya mengingat sejak kecil telah akrab dengan tanaman itu, melalui kedua orang tuanya. Jamal bercerita, kopi menjadi harapan masyarakat di desanya, hal itu terlihat dari tradisi para petani mulai dari proses penanaman biji untuk dijadikan bibit pohon kopi. Sejak lama, Kopi telah menjadi tumpuan hidup masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah. Bahkan, sejak lama para petani di wilayah itu, berharap hasil penjualan kopi bisa membawa mereka ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima.
"Pada saat tanam kopi, orang tua jaman dulu menanam sambil bertasbih dihitung perbijinya, Subhanallah walhamdulillah wa la ila haillallah wallah hu akbar wa la kuata ilabila. Jadi dalam satu hektar, kurang lebih ada 1000 biji kopi, ya sebanyak itu mereka bertasbih," ujarnya dirilis Republikopi.
"Hal itu dilakukan dengan maksud, bahwa hasilnya nanti bisa mengantar mereka ke tanah suci. Itu dasarnya, harapannya hasil dari tanam kopi bisa dijadikan ongkos ke Mekkah," ucapnya.
Jamal memaparkan, berdasarkan cerita orang-orang tua dulu, perkebunan kopi pertama kali dibuka saat masa kolonial Belanda. Jejak peninggalan itu bisa dilihat dari banyaknya nama-nama tempat yang berasal dari nama Belanda, seperti Bergendal dan Radines. Termasuk perkebunan-perkebunan yang kini sudah dikelola oleh masyarakat. "Kalau berdasarkan cerita, dulu biji kopi yang dikirim pertama kali untuk Ratu Belanda adalah kopi Luwak. Itu dikirim oleh tentara Belanda dulu, nah karena enak makanya mereka berpikir biji kopi lain dari Aceh Tengah juga pasti enak," katanya.
"Jadi memang sudah sejak jaman penjajahan kopi akrab dengan masyarakat di sini. Bekas-bekas pabrik pengolahan pun masih ada di beberapa tempat di wilayah Aceh Tengah," ucapnya melanjutkan.
Jamal mengatakan, Kopi Gayo memang awalnya lebih dikenal di luar negeri dibandingkan di dalam negeri. Menurutnya, kopi Arabica Gayo baru mulai booming di pasaran lokal sejak tahun 2000-an. Meski begitu, menurutnya keuntungan dari penjualan biji kopi di dalam negeri masih kalah jauh dibandingkan luar neger. Hal itu dikarenakan karakter masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan harga dibandingkan kualitas. "Masyakat lokal masih banyak peminum kopi bukan penikmat kopi, sehingga ketika kita tawarkan kopi mahal biasanya mereka mundur. Sementara di luar negeri itu utamakan kualitas, termasuk yang organik itu," jelasnya.
Jamal yang juga menjadi pemilik Tiara Global Coffee mengatakan, untuk desanya saja, saat ini sudah bisa menghasilkan hampir dua ton dalam sekali musim panen untuk satu hektar perkebunan kopi. Menurutnya, hampir seluruh petani di desanya merupakan petani kopi. Hal itu karena kopi masih menjadi satu-satunya harapan yang dinilai bisa tingkatkan perekonomian masyarakat. "Kalau untuk varietas yang dominan di tanam di sini, masih tetap Gayo 1. Sebab selain sudah mendapat sertifikasi dari Kementerian Pertanian, varietas ini punya beberapa keunggulan," ucapnya.
"Varietas Gayo 1 itu lebih tahan hama, kemudian buahnya lebat dan bisa tahan sampai umur lebih dari 20 tahun," jelasnya.
Ia mengaku, saat ini sudah banyak inovasi dalam menanam pohon kopi. Menurutnya, banyak tradisi-tradisi dari leluhur yang mungkin juga ditingalkan oleh para petani muda. Namun hal itu bukan menjadi masalah, sebab baginya yang terpenting kualitas dan cita rasa Kopi Gayo tetap bisa mensejahterahkan masyarakat, khususnya para petani.
Sumber: Republika.co.id
Tags : kopi gayo, ekspedisi republik kopi,