BISNIS - Petani kopi di Gayo, Aceh, mengalami penurunan panen hingga 30% selama 2017 lalu. Penyebabnya? Perubahan iklim.
"Pemanasan global, walaupun itu kayaknya terlalu klise untuk sekarang diucapkan, tapi memang nyata dirasakan oleh petani kopi. Jelas menurun hasilnya", kata Diyus Hanafi, petani kopi di Gayo. Diyus memaparkan hama penggerek buah kopi Hypothenemus hampei yang sering disebut bean borer atau pengebor biji kopi tadinya tidak bisa hidup di ketinggian 800 meter di atas permukaaan laut.
Namun karena cuaca yang menghangat, hama itu sudah bisa hidup di ketinggian 1.200 meter, tempat umumnya ladang kopi. "Artinya ada asumsi bahwa peningkatan suhu itu mempengaruhi hasil kopi," kata Diyus.
Selain itu juga, Diyus memaparkan bahwa persoalan penurunan hasil panen itu terkait dengan berkurangnya hutan di Gayo. "Orang cenderung membuka lahan baru untuk membuat kebun baru. Kebun lama yang sudah meranggas itu ditinggalkan. Itu soal pola perilaku. Banyak yang bepikir lebih bagus punya lahan yang luas, padahal kalau dikelola intensif, 1 hektare itu cukup untuk menghidupi 10 jiwa," ungkap Diyus.
Sementara Danurfan, warga asli Aceh dari lembaga konservasi alam Tropical Society, menjelaskan bahwa pemaparan Diyus itu beralasan mengingat bahwa tanaman kopi memang membutuhkan tutupan dan kelembapan untuk dapat tumbuh dengan baik. "Jadi harusnya sinar matahari itu tidak melebihi 70%. Dengan cahaya matahari yang banyak, kopinya itu cepat matang. Tapi matangnya itu tidak sempurna", jelas Danurfan.
Cuaca yang tak bisa diprediksi
Danurfan yang juga aktif menilai kualitas kopi lewat Gayo Cupper Team juga mengkhawatirkan dampak dari sinar matahari itu atas 'hilangnya karakter kopi Gayo'. Selain itu, perubahan iklim juga terlihat dari perubahan cuaca yang tidak dapat diprediksi petani seperti Diyus. "Ritme antara perkembangan bunga kopi dengan cuaca itu berubah. Biasanya di musim pertengahan tahun lalu itu semestinya hujan tapi justru panas, banyak buah yang kosong," kata Diyus.
Dijelaskan Diyus lebih lanjut mengenai dampaknya: "Bayangkan kopi itu tanaman dengan biji yang semestinya bernas. Disaat proses untuk mengisi memadatkan biji tadi, itu dia butuh hujan. Tapi waktu itu panas. Gagal pembentukan biji buahnya. Karena yang diambil di kopi itu kan biji buah, bukan buah."
Pada sisi lain, di saat panen yang seharusnya cuaca panas, ternyata turun hujan terus menerus sehingga biji kopi tidak bisa dijemur dengan baik. "Memang di kawasan itu kan kawasan dataran tinggi, besarnya debitnya hujan memang besar. Tapi bisa diprediksi. Tapi saat ini tidak bisa diprediksi lagi," kata Danurfan.
Perubahan iklim pada sisi lain juga akan mempengaruhi luasan lahan untuk tanaman kopi di masa depan. Lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research) menemukan bahwa pada tahun 2050 jumlah lahan untuk tanaman kopi arabica akan berkurang hingga 80%. "Area yang sekarang cocok untuk kopi, tidak akan cocok lagi. Misalnya di tahun 2050, area yang cocok untuk ditanami kopi akan berkurang sebanyak 73% hingga 88%. Jadi kita akan kehilangan sekitar 80% lahan yang saat ini cocok untuk kopi," ungkap Direktur Jenderal CIFOR, Robert Nasi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Kopi robusta tidak akan berdampak karena robusta tumbuh di dataran rendah dengan iklim lembap. Yang terdampak adalah kopi arabika yang tumbuh di dataran tinggi dengan kondisi iklim yang sangat spesifik, dan produksinya mencakup dua pertiga produksi kopi dunia. Kehilangan areal lahan tentu akan sangat mempengaruhi produksi kopi. "Ada dua solusi: Pertama, Anda membiakkan kopi dengan perbaikan genetis untuk dapat bertahan dengan kondisi yang baru, sehingga dapat beradaptasi dengan kondisi iklim yang baru," kata Robert Nasi dari CIFOR.
"Atau anda menemukan area lain untuk menanam kopi namun masalahnya data yang tersedia untuk itu masih sangat sedikit."
Selain itu, perubahan iklim juga mengancam kekayaan spesies lebah yang akan mendongkrak kualitas tanaman kopi. "Jika kita kehilangan lebah, kita kehilangan penyerbuk. Jika kita kehilangan penyerbuk, kita mendapat lebih sedikit buah. Jika buah lebih sedikit, produksi kopi lebih sedikit", pungkas Robert. (*)
Tags : Bisnis, Ekonomi, Lingkungan,