"Akibat tidak tahan secara terus menerus mengalami penderitaan petani sawit mengadu ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) hingga ke Komnas HAM"
ni kisah yang cukup pelik dan menyisakan persoalan cukup lama, 400 hektare lahan milik petani yang tergabung di Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) bagaikan lenyap ditelah angin, kata salah seorang petani sawit di Kampar, Sulaiman.
Dalam peristiwa ini yakni perihal awal dilakukannya surat perjanjian kerja sama (MoU) ditandatangani oleh Kopsa M dan Mardjan Ustha selaku Direktur SDM PTPN V ingin membangunan kebun kelapa sawit pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) yang direncanakan 2.000 haktar, tetapi sempat terjadinya kericuhan.
Lantas para petani menyiapkan sebagian lahan mereka untuk program itu, tetapi sejak tahun 2003 dan 2006 setelah dilakukannya MoU antara Kopsa-M dan PTPN V justru kebun petani yang diserobot. Sejumlah 200 petani sawit ini memutuskan untuk melaporkan peri hal tentang penderitaan mereka yang dialami hingga bertahun-tahun tak tuntas itu ke Bareskrim Mabes Polri melalui Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute di Jakarta.
Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute membenarkan 200 petani sawit yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) ke Bareskrim Polri atas dugaan penyerobotan tanah 400 hektare (ha) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Laporan diterima oleh Bareskrim Polri dengan nomor: STTL/220/V/2021/BARESKRIM.
Dalam keterangannya, mengungkapkan, pada tahun 2003 dan 2006 Kopsa-M dan PTPN V membuat perjanjian kerja sama pembangunan kebun kelapa sawit pola KKPA untuk anggota koperasi yang direncanakan 2.000 ha, dalam bentuk surat perjanjian kerja sama (MoU). MoU ditandatangani oleh Kopsa M dan Mardjan Ustha selaku Direktur SDM PTPN V.
Pembangunan kebun kemudian dimulai tahun 2003. Selain tidak tuntas membangun kebun, tata kelola keuangan yang buruk, tanah-tanah petani itu dibiarkan oleh PTPN V diambilalih secara melawan hukum oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
"Akibat tata kelola pembangunan kebun yang tidak akuntabel, alih-alih menyerahkan kebun yang dibangun, 400 hektare kebun yang seharusnya menjadi hak petani justru diserobot oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Seluas 400 hektare kebun tersebut diduga diperjualbelikan oleh seseorang yang berkolusi dengan salah satu petinggi PTPN V tahun 2007," ungkap Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute, Disna Riantina yang juga tak menampik sejumlah pejabat PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) itu terlibat.
Pada tanggal 18 April 2007, telah dilakukan pengikatan jual beli secara melawan hukum di hadapan notaris Hendrik Priyanto yang beralamat di Jalan Pembangunan nomor 10 C, Kp Melayu, Payung Sekaki, Kota Pekanbaru, Riau. Legalisasi penyerobotan itu diduga dilakukan oleh Endriyanto Ustha sebagai penjual dan Hinsatopa Simatupang, selaku pembeli.
Dalam akta jual beli, pihak Notaris mengklaim melakukan pengikatan dengan menggunakan kuasa lisan yang diberikan pihak yang mengatasnamakan petani. Faktanya, para petani tidak pernah memberikan kuasa dalam bentuk apapun bahkan sebaliknya mereka membuat pernyataan tentang tidak pernah memberikan surat kuasa lisan kepada siapapun.
Penyerobotan kebun ini juga merupakan bentuk pembiaran yang dilakukan oleh PTPN V, yang seharusnya menjaga dan menyerahkan kebun ke petani, setelah 36 bulan dari pembangunan kebun.
"Akibat penyerobotan tersebut, Direktur Utama PT Langgam Harmuni Hinsatopa Simatupang, diduga menguasai dan mengambil hasil dari perkebunan milik Kopsa-M seluas 400 ha. Sementara 200 petani hanya menonton PT Langgam Harmuni, yang juga diduga beroperasi tanpa izin, karena tidak ada satupun HGU yang dikeluarkan di lokasi kebun Sawit tersebut, yakni di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau," kata Disna dalam keteragan pers nya belum lama ini.
Dalam pelaporan ke Bareskrim Polri, Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute membawa bukti kepemilikan lahan berupa 7 sertifikat tanah dan 193 surat keterangan tanah (SKT) dari Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Sejumlah orang menjadi terlapor dalam kasus ini, termasuk Mardjan Ustha, mantan Direktur SDM/Umum PT Perkebunan Nusantara V dan adik Mardjan Ustha yang bernama Endriyanto Ustha yang bertindak sebagai penjual lahan kebun.
Sebelumnya pun pada Selasa 25 Mei 2021, PTPN V ini juga dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penghilangan aset negara dalam bentuk lahan seluas 500 hektar dan dugaan korupsi biaya pembangunan kebun.
Komnas HAM RI memberi perhatian
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia [Komnas HAM] RI juga memberikan perhatian terhadap kasus antara Koperasi Petani Sawit Makmur dengan PTPN V di Desa Pangkalan Baru Kec. Siak Hulu, Kab. Kampar, Riau. Setelah menerima pengaduan dari Setara Institute dengan mewakili Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) yang beranggotakan 997 orang Petani dan 120 orang pengurus Koperasi, mencoba mempelajari apa yang terjadi dalam kasus itu. Tetapi tertangkap sinyal bahwa ada menceritakan kejadian kriminalisasi yang dialami petani tergabung di Kopsa M.
"Ya kita lihat ya .. pada perwakilan 997 petani yang sedang memperjuangkan hak-haknya yang dirampas PTPN dan pihak swasta lainnya ini mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK telah menetapkan petani-petani Kopsa M berada dalam status perlindungan lembaga negara ini," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam keterangannya.
Berdasarkan keterangan Setera Institute, sampai saat ini masih terjadi kriminalisasi Petani di Koperasi Petani Sawit Makmur, Petani yang menjual hasil kebun sendiri dilaporkan menggelapkan barang oleh PTPN V di Polres Kampar dan saat ini telah ditetapkan status tersangka terhadap 2 orang Petani. Hal ini tidak terlepas dari peristiwa PTPN V yang diduga mengabaikan pemenuhan hak para petani atas bahan pangan yang laik dengan membiarkan kebun sawit yang gagal dan dugaan mark-up biaya pembangunan kebun yang berdampak pada kemiskinan para petani.
Komnas HAM RI telah menerima pengaduan Setara Institute pada hari Jumat, 20 September 2021. Komnas HAM RI akan mendalami peristiwanya dan segera menindaklanjuti pengaduan tersebut khususnya kepada pihak kepolsian terkait pengaduan kriminalisasi. Sebelumnya, sejumlah petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta pada Selasa, 14 September 2021.
Perwakilan petani Kopsa M datang ke LPSK untuk meminta perlindungan karena merasa dikriminalisasi oleh PTPN V dan Polres Kampar. Hal ini terkait masalah sengketa lahan antara Kopsa M dengan PTPN V di Desa Pangkalan Baru, Siak Hulu, Kampar, Riau. Kehadiran para petani ke LPSK didampingi Tim Advokasi Keadilan Agraria Setara Institute.
Hendardi mengatakan dugaan kriminalisasi terhadap petani Kopsa M atas laporan PTPN V dan proses tidak prosedural Polres Kampar menunjukkan bahwa cara-cara lama perusahaan BUMN berkolaborasi dengan penegak hukum belum berubah. "Praktik ini seharusnya menjadi masa lalu. Tetapi faktanya di lapangan mengapa justru masih banyak terjadi?," tanya Hendardi.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, Polres Kampar telah menetapkan dua petani sebagai tersangka. Kasus dengan nomor LP/434/IX/2021/SPKT/POLRES KAMPAR/POLDA RIAU, tanggal 1 September 2021 ini, telah menjerat Kiki Islami Parsha, pada 2 September 2021 dan Samsul Bahri pada 7 September 2021. "Penggunaan instrumen hukum untuk membungkam petani adalah tindakan indisipliner dan kesewenang-wenangan aparat yang tidak boleh dibiarkan," tegas Hendardi.
Tetapi masalah ini tetap diselesaikan hingga tuntas, apakah termasuk kebenaran akan terlibatnya sejumlah pejabat-pejabat yang ada di PTPN V Riau itu, "ini masih kami pelajari," sebutnya. (*)
Tags : Petani Sawit Mengadukan Penderitaanya, Petani di Riau, Sorotan, Petani Kopsa M Melapor ke Bareskrim Mabes Polri, Petani Kopsa M Laporkan Pejabat PTPN V,