LINGKUNGAN - Pada tanggal 23 Oktober 1944, pertempuran laut dashyat dimulai di Teluk Leyte, bagian dari Laut Filipina. Pertempuran laut ini adalah yang terbesar dalam sejarah manusia modern.
Selama tiga hari berikutnya, lebih dari 300 kapal perang Amerika Serikat berhadapan dengan sekitar 70 kapal Jepang.
AS mengerahkan setidaknya 34 kapal induk, jumlah yang hampir sama dengan total kapal induk aktif di seluruh dunia saat ini.
AS ketika itu juga menerbangkan sekitar 1.500 pesawat. Jumlah armada udara mereka melebihi lima banding satu Jepang.
Pertempuran itu memiliki dua dampak besar. Pertama, mencegah Jepang mengganggu invasi Amerika ke Filipina. Negara ini dikuasai Jepang hampir empat tahun sebelumnya.
Perang laut itu juga secara efektif menjatuhkan kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang selama sisa Perang Dunia II.
Hampir 30 kapal Jepang tenggelam dan sebagian besar sisanya rusak parah, termasuk termasuk kapal perang terbesar yang pernah dibangun, Yamato. Akibatnya, sebagian besar kapal hanya berlabuh di pelabuhan selama sisa perang.
Secara umum kekuatan AS memang melebihi jumlah armada Jepang, tapi ada satu yang berbeda. Sebuah pasukan kecil, Gugus Tugas 77 yang terdiri atas kapal perusak dan kapal induk tak bersenjata, berjuang melawan formasi Jepang yang jauh lebih besar.
Pertempuran terjadi di lepas pulau Samar. Kalah besar dalam jumlah, armada kecil AS bertempur melawan rintangan yang luar biasa, melawan kapal-kapal Jepang yang jauh lebih besar dan bersenjata lebih mumpuni.
Perlawanan AS begitu sengit sehingga mendorong komandan Jepang, Laksamana Madya Takeo Kurita, untuk mengubah armadanya. Dia mengira sedang menghadapi sebagian besar pasukan AS.
Kapal perusak kecil Amerika yang relatif tidak bersenjata datang sedekat mungkin dengan kapal perang Jepang, mencegah mereka menggunakan senjata jarak jauh yang kuat. Pasukan kecil AS mencegah potensi pembantaian, tetapi perlawanan mereka harus dibayar mahal. Lima dari 13 kapal AS tenggelam.
Salah satunya adalah kapal perusak bernama USS Johnston. Tepat setelah pukul 7 pagi, Johnston terkena peluru dari Yamato. USS Johnston bertempur selama dua jam lagi, menghujani kapal musuh yang jauh lebih besar dengan peluru dan menakut-nakuti armada kapal perusak Kekaisaran Jepang yang mencoba menyerang kapal induk Amerika yang bersenjata ringan.
Setelah dua jam pertempuran, setelah terkena lusinan peluru dan dengan orang-orang yang selamat berpegangan di bagian belakang kapal yang hancur, kapal itu akhirnya tenggelam. Dari 327 awaknya, 186 di antaranya terbawa hingga meninggal di bawah laut.
Sejumlah korban selamat menceritakan, salah satu kapten kapal perusak Jepang memberi hormat saat USS Johnston tenggelam ke dasar laut.
Tapi kisahnya belum berakhir
Sebagian besar bangkai kapal di dunia ditemukan di perairan pantai yang dangkal. Kapal mengikuti rute perdagangan ke pelabuhan. Perairan pesisir menawarkan perlindungan jika cuaca memburuk. Jadi, di kawasan inilah kebanyakan kapal karam dan tenggelam.
Tetapi perairan tempat Johnston tenggelam sangat berbeda. Kapal ini tenggelam ke kedalaman yang sangat dalam.
Pulau Samar terletak di tepi ngarai laut yang luas yang dikenal sebagai Palung Filipina, yang membentang sejauh sekitar 1.320 kilometer di sepanjang garis pantai Filipina dan Indonesia.
Palung ini mengitari sisi timur Pulau Samar, di sisi laut Teluk Leyte. Palung ini sangat, sangat dalam.
Jika Gunung Everest dijatuhkan di titik terdalam Palung Filipina yant bernama Kedalaman Galathea, puncaknya masih akan berada lebih dari 1,6 km di bawah air.
Tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan USS Johnston untuk mencapai dasar laut. Dia tenggelam melalui lapisan demi lapisan Laut Filipina. Dia menukik ke setiap lapisan yang semakin gelap dan dingin.
Pada kedalaman 100 meter, sinar matahari mulai memudar. Setelah 200 meter, Johnston memasuki zona senja, lapisan sedalam hampir satu kilometer yang menjadi akhir pancaran cahaya matahari di lautan.
Semakin jauh dia tenggelam, temperatur laut semakin turun. Pada kedalaman 1.000 meter, lambung Johnston yang pecah akan jatuh di air yang hanya beberapa derajat di atas titik beku, lalu masuk ke dalam apa yang oleh ahli kelautan disebut Zona Bathyal, juga dikenal sebagai zona tengah malam.
Tidak ada tanaman atau fitoplankton yang tumbuh di sini karena cahaya matahari tidak dapat menembus sejauh ini.
Airnya sangat dingin dan zona suram ini jarang dihuni oleh kehidupan. Hewan-hewan yang hidup di sini telah berevolusi untuk bertahan di tempat yang dingin dan gelap tanpa henti.
Mata tidak berguna, begitu juga serat otot penggerak yang di tempat lain dapat diandalkan untuk melarikan diri dari pemangsa, tak berguna di sini karena memakan terlalu banyak energi.
Ikan yang hidup di sini terlihat kecil seperti ikan yang berenang di dekat permukaan. Mereka lembut dan licin saat disentuh. Beberapa buta dan lainnya hampir transparan. Apa gunanya sisik kamuflase ketika pemangsa yang berkeliaran di kegelapan tidak memiliki mata?
Rata-rata kedalaman lautan di dunia adalah 3.688 meter. Di perairan sedalam inilah RMS Titanic tenggelam dalam pelayaran perdananya yang naas pada tahun 1912. Namun kapal USS Johnston jauh melampaui ini.
Kedalaman 4.000 meter merupakan Zona Abyssal, dengan suhu air tak jauh di atas titik beku. Oksigen yang terlarut hanya sekitar tiga perempat dari permukaan laut.
Tekanannya begitu kuat sehingga kebanyakan makhluk tidak bisa hidup di sini. Mereka yang hidup di sini sangat berbeda dalam hampir segala hal dari saudara-saudaranya yang hidup di air dangkal.
Ikan di sini memiliki antibeku dalam darah agar tetap mengalir dalam dingin yang intens, sementara sel-sel mereka mengandung protein khusus yang membantu melawan tekanan air kuat yang dapat menghancurkan mereka.
Tapi laut masih semakin dalam
Turun lebih jauh dan ada Zona Hadal, lapisan di bawah 6.000 meter dari permukaan.
Zona Hadal ada di palung laut terdalam, sebagian besar di Samudra Pasifik, di mana lempeng tektonik raksasa berada jauh di bawah gelombang.
Ahli kelautan Denmark Anton Frederik Bruun menciptakan istilah tersebut pada 1950-an, ketika teknologi sudah cukup maju untuk melakukan eksplorasi pertama ke jurang bawah laut ini.
Istilah hadal berasal dari Hades, dewa dunia bawah Yunani Kuno. Lapisan ini gelap total, suhu berkisar hampir beku, dan tekanannya sekitar 1.000 kali lipat dari permukaan laut.
Di sinilah dasar Palung Filipina. Banyak titik di sepanjang paling yang diukur sedalam sekitar 10.000 meter dan titik terdalamnya mencapai 10.540 meter di bawah permukaan laut.
Di suatu tempat di dalam parit bawah laut yang luas ini, USS Johnston akhirnya berhenti. Lokasi pastinya sangat sulit diprediksi. Permukaan laut sama sekali tidak punya ciri, dan anonimitasnya membuat pencarian lokasi yang tepat dari pertempuran laut menjadi tugas yang menantang.
Tidak ada penanda, tidak ada fitur topografi yang membantu identifikasi. Di bawah ombak, arus, dan pola pasang surut dapat menarik bangkai kapal jauh dari tempat tenggelamnya.
Baru 75 tahun kemudian manusia bisa melihat Johnston lagi. Yang pertama adalah Victor Vescovo.
Vescovo, 54, adalah mantan perwira intelijen Angkatan Laut AS yang belakangan menjadi manajer ekuitas swasta. Dia memiliki dengan hasrat untuk menjelajah dan pada bidang oseanografi. Dia mendaki Gunung Everest dan mengunjungi Kutub Utara dan Selatan.
"Saya telah menjadi pendaki gunung selama 20-25 tahun, dan ketika saya telah melakukan banyak hal yang ingin saya lakukan, saya mencari tantangan yang berbeda. Saya melihatnya sebagai hal simetris untuk ayo, pergi ke lautan dalam," katanya seperti dirilis BBC.
"Dan ternyata tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke dasar lima samudra dunia. Dasar empat samudra pun belum ada."
Dia menilai dirinya "berpikiran teknis", dan percaya tantangan yang ada bukan teknologi tetapi pendanaan. "Memang akan sangat mahal, tapi bisa dilakukan," katanya.
"Jadi saya menyiapkan dana, mengumpulkan tim, dan selama tiga tahun berikutnya kami merancang dan membangun kapal selam selam terdalam dalam sejarah yang mampu menyelam berulang kali, yang belum pernah ada sebelumnya, dan kemudian kami membawanya berkeliling dunia."
Vescovo menguji kapal selam barunya, yang disebut Limiting Factor, dengan menyelam sendirian ke dasar Palung Puerto Rico, titik terdalam di Samudra Atlantik dan dua pertiga kedalaman titik terdalam di dunia.
Awal tahun 2020, Vescovo ambil bagian dalam misi ilmiah bersama seorang ahli kelautan Filipina. Mereka menjadi orang pertama yang menyelam ke dasar Palung Filipina.
"Kebetulan, suatu hari perjalanan ke utara adalah medan perang di lepas Samar," katanya.
"Saya menjadi 'sejarawan militer' sejak kecil dan saya juga di Angkatan Laut AS selama 20 tahun, jadi saya tahu banyak tentang pertempuran itu. Saya pikir akan menjadi upaya yang menarik untuk mencoba dan menemukan bangkai kapal itu."
Upaya Vescovo bukanlah yang pertama. Kisah Johnston telah memikat banyak penjelajah dan ahli kelautan selama beberapa dekade.
"Organisasi Vulcan telah berkeliling dunia untuk menemukan bangkai kapal Perang Dunia II selama bertahun-tahun. Namun kemampuan mereka untuk menyelam terbatas pada 6.000 meter, karena mereka hanya menggunakan kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh.
"Jadi, mereka sebenarnya menemukan puing-puing Johnston dan mencoba menemukan bangkai kapal terdalam juga, tetapi hanya menemukan sebagian yang tidak dapat dikenali," kata Vescovo.
Menemukan Johnston menjadi lebih menantang karena kapal perusak serupa, USS Hoel, juga tenggelam dalam pertempuran yang sama. "Mereka tidak dapat benar-benar mengidentifikasi bahwa itu adalah Johnston," kata Vescovo.
"Dan mereka tidak bisa masuk lebih dalam. Batas kendaraan mereka adalah 6.000 meter. Mereka bisa melihat bahwa ada lebih banyak puing di bawah, jadi mereka mencoba menyelam 200 meter lebih dalam dengan risiko meledak, tetapi tidak dapat melihat sebagian besar puing-puingnya."
Misi Vulcan hampir membuktikan di mana Johnston berada, tetapi tekanan tinggi dari Samudra Pasifik yang dalam membuat mereka tidak dapat memastikan.
Vescovo percaya bahwa kapal selamnya mungkin bisa membuktikan itu. Meski tim Vulcan tidak membagikan lokasinya, Vescovo mengatakan "ada cukup petunjuk di sumber terbuka, sehingga saya menggunakan kemampuan perwira intelijen saya dan kami bisa mendapatkan perkiraan kemungkinan lokasinya".
Vescovo dan sejarawan angkatan laut Parks Stephenson berkelana di bawah laut dengan kapal selam, berharap bisa menemukan bangkai kapal itu.
"Dia belum pernah melakukan sub-diving sebelumnya," kata Vescovo.
"Saya mengatakan kepadanya bahwa hal-hal aneh terjadi di bawah sana' Visibilitas buruk, sangat membingungkan saat turun di bawah 500 atau 1.000 meter, apalagi 6.000 meter. Dan semuanya semakin sulit.
"Dia mengatakan, 'Tidak, tidak, saya '99% yakin kita akan menemukannya, ada di sini.' Benar saja, pada penyelaman pertama, kami berada di sana selama empat jam dan tidak menemukan apa pun," ujar Vescovo.
Penyelaman kedua juga gagal menemukan apa pun, jadi mereka pindah ke lokasi baru untuk penyelaman ketiga. Kali ini lebih berhasil, mereka menemukan kembali puing-puing yang sebelumnya ditemukan oleh kapal selam Vulcan.
"Dengan kapal selam saya, saya bisa mengikuti jejak di mana kapal meninggalkan tanda V di lereng bukit di bawah air, dan kami mengikutinya 500 meter ke bawah, dan saat itulah kami menemukan dua pertiga bagian depan kapal dalam keadaan baik, bentuknya utuh, dengan nomor [identifikasi angkatan laut] di sana, 557. Identifikasi positif."
Tempat peristirahatan terakhir Johnston berada di kedalaman lebih dari 6 kilometer. "Setengah kali lebih dalam dari tempat tenggelamnya Titanic, yaitu 4.000 meter," kata Vescovo.
"Yang menarik dari bangkai kapal ini, ukurannya sekitar seperdua puluh Titanic, jauh lebih kecil."
Upaya yang diperlukan untuk menemukan bangkai kapal di kedalaman seperti itu sangat besar dan melelahkan.
"Kami mencari 'jejak darah', yaitu mencari potongan puing, mencari potongan lain lagi, kemudian melokalisasinya," kata Vescovo. "Karena lautan sangat, sangat, sangat besar dan bangkai kapal sangat, sangat, sangat kecil."
Hanya ada sebagian kecil lautan dunia yang berada di bawah 6.000 meter, sehingga hanya ada sedikit dorongan untuk mendanai teknologi untuk menjelajahinya.
Vescovo punya ide lain. "Karena saya ingin masuk lebih dalam dan mencari hal-hal di dasarnya, saat ini kami sedang mengembangkan rangkaian sonar, sonar tampak samping yang benar-benar dapat beroperasi hingga 10.000 meter, yang belum pernah dikembangkan sebelumnya."
Rangkaian sonar baru ini, jika berhasil, akan memungkinkan kapal selam Vescovo memetakan dasar laut dalam petak selebar hingga 1,5 kilometer. "Jadi kami benar-benar dapat melakukan pencarian laut dalam untuk bangkai kapal atau apa pun yang ada di dasar lautan", kata dia.
Tes pertama menggunakan sonar baru ini akan berlangsung pada musim semi 2022, di lepas Pulau Samar.
"Kami akan menggunakan Johnston sebagai cara untuk memeriksa ulang sonar, untuk memastikannya berfungsi dengan baik, dan kemudian menjelajah lebih dalam lagi. Di tempat kapal Gambier Bay, Hoel, dan beberapa bangkai kapal Jepang berada, bahkan lebih dalam.
"Mereka bisa berada di kedalaman 8.000 meter, tidak ada yang tahu di mana mereka berada, kami berharap bisa menemukan mereka," ucapnya.
Jika Anda menjatuhkan kerikil di sisi perahu di atas Challenger Deep di Palung Mariana, tempat terdalam di lautan, kerikil itu akan perlu waktu lebih dari satu jam untuk mencapai dasar.
"Kami membutuhkan waktu empat setengah jam," kata Vescovo, "Dan kapal selam dirancang untuk naik dan turun dengan cepat! Ini sangat jauh, dan lingkungan di sana sangat keras.
"Perjalanan dari permukaan laut ke luar angkasa adalah perjalanan dari satu tekanan atmosfer ke nol, ruang hampa. Ketika Anda pergi ke dasar Palung Mariana, itu adalah perjalanan dari satu atmosfer ke 1.100, tenggelam dalam air asin yang sangat dingin. Inilah siksaan untuk apa pun yang bersifat fisik," ujarnya.
Salah satu tantangan terbesar Vescovo adalah memastikan segala sesuatu, mulai dari baterai hingga sistem propulsi di kapal selam, akan terus bekerja pada kedalaman yang menghancurkan, dari satu penyelaman ke penyelaman selanjutnya.
Misi Limiting Factor ke dunia rahasia yang tidak ramah ini, sedikit demi sedikit, membantu menumbuhkan klub sekelompok kecil manusia yang telah melihat titik terdalam lautan.
"Sebelum kami memulai upaya kami tiga tahun lalu, hanya tiga orang yang pernah ke dasar Palung Mariana dan sekitar 12 orang telah berjalan di permukaan Bulan," katanya.
"Kami sekarang telah mengubah itu. Saya telah membawa 15 orang ke dasar Challenger. Sekarang, ada lebih banyak orang yang pernah berada di luar angkasa daripada yang pernah ke dasar Challenger, tetapi kami mencoba untuk mengikuti," tuturnya.
Begitu kapal itu menyelam ke bawah permukaan air yang berombak, Vescovo menyebut ada rasa yang sangat damai.
"Di permukaan, Anda terombang-ambing. Tetapi begitu berada di bawah air keadaan menjadi sangat sunyi, hanya terdengar deru kipas angin, dan hari menjadi gelap dengan cukup cepat.
"Pada 500 meter tidak ada sinar matahari. Gerakan tidak terasa, kapal selam dapat berputar dengan lembut tanpa disadari. Para makhluk menjauh dari kapal selam, atau tidak terlihat karena portalnya sangat kecil, rasanya seperti dalam mesin waktu kecil, Anda hanya duduk di sana."
"Saya memantau semuanya, memastikan semuanya berjalan baik-baik saja, tetapi penumpang menunggu sampai kami tiba di dasar. Leluconnya adalah ketika turun, satu menit terasa seperti lima menit karena Anda ingin segera sampai ke sana dengan bersemangat.
"Saat mencapai dasar, satu menit terasa seperti satu detik karena ada begitu banyak hal yang terjadi, melihat ke luar, Anda bersemangat, dan kemudian satu menit naik seperti satu jam, karena Anda hanya ingin muncul ke permukaan."
"Orang-orang sedikit kecewa, mereka ingin monster besar yang menakutkan. Mereka menganggap semakin dalam masuk maka semakin besar dan menakutkan monster itu, seperti Godzilla.
"Sebenarnya sebaliknya. Semakin dalam, lingkungan semakin keras, dan hewan besar tidak bisa bertahan. Ikan tidak bisa bertahan hidup di kedalaman laut penuh. Tapi yang bisa bertahan adalah bakteri dan mikroba, yang tidak kalah pentingnya secara evolusioner dan biologis, dan makhluk yang sangat kecil seperti udang kecil. Beberapa dari mereka bisa menyerap aluminium ke dalam tubuhnya."
Misi Vescovo ke kapal perang yang telah lama hilang seperti Johnston ini mengikuti aturan yang sangat sederhana: boleh melihat, tapi dilarang memegang.
"Setiap bangkai kapal militer tetap menjadi milik negara asalnya, di mana pun mereka berada, jadi Anda tidak dapat mengambil apa pun kecuali sudah mendapat izin," kata Vecovo.
"Ini berlaku juga untuk Johnston. Jadi kami sangat menghormati, kami tidak menyentuh bangkai kapal itu, kami tidak mengambil apa pun. Tetapi orang-orang juga tidak menyadari, baik Titanic atau Johnston, bangkai kapal ini begitu dalam dan air asinnya sangat korosif sehingga tidak ada mayat, tidak ada pakaian, sudah hancur. Ini seperti makam kosong yang menjadi simbol orang-orang yang meninggal di sana."
Namun tidak semua keturunan korban ingin tempat peristirahatan terakhir kerabatnya terganggu. Bangkai kapal mungkin tidak terlihat, jauh di bawah permukaan laut, tetapi kerabat mereka yang meninggal terkadang memiliki perasaan yang kuat.
Sebelumnya, Vescovo menghadapi penolakan ketika berrencana memeriksa bangkai kapal lain, USS Indianapolis yang terkenal.
Dikirim dalam misi rahasia untuk mengirimkan bom atom pertama ke pangkalan pembom di Mariana Utara, Indianapolis ditorpedo oleh kapal selam Jepang. Sebanyak 900 awak yang selamat dibiarkan hanyut selama empat hari, dengan hampir 600 orang meninggal karena dehidrasi, paparan atau serangan hiu.
"Saya berpikir untuk menyelam ke USS Indianapolis tahun lalu, tetapi ada protes dari keluarga veteran, mengatakan mereka tidak ingin saya menyelam, saya berkata 'ok, baiklah saya tidak akan menyelam'," kata Vescovo.
"Mereka sangat vokal soal tidak ingin saya mengganggu bangkai kapal.
"Kelompok yang terkait dengan bangkai kapal tampaknya berbeda-beda. Misalnya, orang-orang sangat mendukung penyelaman saya ke Johnston, mungkin karena memang belum diidentifikasi, sementara Indianapolis telah diidentifikasi.
"Tapi kita hanya harus menghormati keinginan mereka, karena yang meninggal adalah anggota keluarga mereka. Saya tidak akan menjadi penyusup dan melakukan apa pun yang saya inginkan dan mengabaikan keinginan semua orang," ucapnya.
Misi Vescovo mengandalkan seperangkat keterampilan yang sangat khusus.
"Saya memiliki sertifikasi sebagai pilot uji kapal selam, yang menurut saya, bukan sesuatu yang Anda ingin punya, tetapi ketika kami mengembangkan dan membangunnya, ada beberapa situasi di mana elektronik gagal atau ada ledakan asap dalam kapsul.
"Jelas tidak baik, tetapi bahkan dalam kasus itu kami punya sistem cadangan dan rencana tindakan darurat. Saya tidak pernah merasa hidup saya dalam bahaya.
"Penyelaman paling berbahaya yang pernah saya lakukan adalah di Titanic, dan itu karena Titanic sangat, sangat besar, ada kabel dan ada tali. Bahaya terbesar bagi kapal selam sebenarnya adalah terjerat, itu bisa terjadi di sekitar bangkai kapal.
"Tidak seperti saat James Cameron menyelam di Titanic, dia menyelam dengan dua kapal selam, saya terjun sendirian di salah satunya. Jika saya terjerat, saya harus menggunakan sumber daya saya sendiri untuk keluar. Bisa jadi sedikit rumit. Dan tidak ada yang bisa datang menjemput kita," kata Vescovo.
Tanpa cahaya alami, bahaya hanya muncul saat berada dalam jangkauan lampu kapal selam.
"USS Johnston benar-benar memberi saya sedikit kejutan," kata Vescovo.
"Kami mengelilinginya, dan di bagian paling belakang, ada sepotong logam yang cukup besar dengan panjang sekitar 15 kaki, menonjol keluar di sudut kanan.
"Di kapal selam, kami tidak dapat melihatnya dengan baik. Kami berkeliling dan saya mengumpat. Seberapa tajam atau sudutnya tidak diketahui, dan mungkin saja itu bisa menjerat kapal selam.
"Saya yakin kami bisa keluar, ada banyak energi di kapal selam dan kami dapat melontarkan orang keluar, tetapi tidak ada yang ingin berada dalam situasi di mana Anda benar-benar harus mencari cara untuk keluar dari sesuatu dalam kapal selam saat berada 6.000 m di bawah laut."
Penemuan ini menunjukkan bahwa kondisi Johnston relatif utuh, meskipun dengan kerusakan besar yang ditimbulkan oleh senjata kapal perang Jepang.
"Johnston begitu dalam, lebih dalam dari Titanic, korosinya lebih sedikit, lebih sedikit kehidupan di atasnya, sehingga terlihat lebih murni daripada Titanic. Tidak ada stalaktit yang menggantung, karat.
"Bekas kerusakan akibat pertempuran bisa dilihat, lubang tempat peluru masuk, senjatanya masih diarahkan ke kanan, kapal itu masih tampak seperti sedang berperang," ujarnya.
Mengunjungi bangkai kapal di dasar laut seperti Johnston menawarkan lebih dari sekadar kebanggan. Kunjungan ini dapat membantu mengumpulkan informasi yang mungkin hilang dari panasnya pertempuran.
"Kami adalah sejarawan amatir, kami membaca sejarah. Orang-orang berpikir mereka tahu apa yang terjadi dalam pertempuran, tapi pertempuran sangat membingungkan. Ada istilah, baja tidak bohong," kata Vescovo.
Dengan benar-benar menyelidiki lubang bekas peluru, bahkan sudut pelurunya, kita dapat membuat bangkai kapal itu menceritakan kisah tentang apa yang terjadi. Ini adalah satu lagi sudut pandang pertempuran yang cukup tak terbantahkan dibandingkan dengan ingatan manusia, yang bisa sangat membingungkan. Dari bangkai kapal kami menemukan hal-hal tidak disadari tentang pertempuran itu."
Investigasi Vescovo, menurutnya, memberikan tambahan bukti pada dugaan bahwa Johnston telah ditabrak oleh Yamato, kapal perang terbesar yang pernah dibangun.
"Yamato yang benar-benar memberikan pukulan pembunuhan pertama padanya... Kenapa kita harus peduli? Ini adalah kapal perang terbesar yang pernah dibuat oleh manusia, dan dia dilawan oleh kapal perusak kecil Amerika. Seperti David dan Goliath. Dan Yamato benar-benar pergi, diusir oleh Johnston."
Pertempuran laut raksasa yang terjadi di lautan dunia pada abad ke-20 adalah dunia yang kaya untuk dijelajahi oleh para penjelajah seperti Vescovo.
"Saya ingin menemukan bangkai kapal Jepang dari Midway," katanya, mengacu pada empat kapal induk Jepang yang tenggelam dalam pertempuran laut penting pada tahun 1942.
"Akan sangat luar biasa untuk ditemukan karena itu adalah kapal ikonik angkatan laut Jepang, mereka sangat dibanggakan oleh orang Jepang, akan menyenangkan untuk mengidentifikasi mereka."
Ada kapal lain di daftar Vescovo, yaitu Yamato itu sendiri.
Pada bulan April 1945 kapal raksasa itu diperintahkan dalam misi satu arah untuk menganggu pendaratan Amerika di pulau Okinawa.
Komandannya diperintah untuk memarkir kapal dan menggunakannya untuk membombardir invasi Amerika. Dikejutkan oleh armada besar pesawat Amerika, Yamato tenggelam dengan korban lebih dari 3.000 nyawa.
"Yamato sebenarnya hanya terletak di sekitar 300 atau 350 meter di bawah permukaan air," kata Vescovo.
"Sudah dikunjungi, setidaknya oleh robot, tapi saya tidak tahu apakah pernah dikunjungi oleh manusia sebelumnya. Sekarang, saya akan sangat sensitif tentang itu, karena itu adalah bangkai kapal yang penting bagi orang Jepang. Saya tidak akan pernah mencoba menyelami tanpa persetujuan dan keterlibatan mereka."
Penjelajah laut Sylvia Earle telah menjadi advokat terkemuka untuk eksplorasi lebih lanjut dari dunia bawah laut kita yang tersembunyi, mengatakan kepada NPR pada tahun 2012 bahwa "kami belum melakukan investasi untuk memahami apa yang ada di sana. Hanya sekitar 5% yang pernah terlihat, apalagi dijelajahi".
Vescovo adalah penggemar yang sama, terutama untuk tempat-tempat yang sangat dalam yang tetap tersembunyi dari mata manusia.
"Implikasinya besar untuk biologi kelautan, virologi laut, tetapi juga geologi, melihat bebatuan dan lempeng tektonik dan semua itu," katanya.
"Dan kemudian pemetaan, karena 80% dari dasar laut samudera belum dipetakan. Kami ingin pergi dan berkeliling dan memetakannya hanya karena itu adalah sesuatu yang harus dilakukan."
"Keindahan laut adalah karena belum dijelajahi, seperti tragedi kekayaan. Ingin pergi ke mana sekarang? Ke mana pun Anda pergi akan menjadi hal baru. Mau mulai dari mana?". (*)
Tags : Amerika Serikat, Teknologi, Sejarah, Lingkungan,