JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan pengesahan RUU Pilkada setelah rapat paripurna DPR untuk pengesahan revisi undang-undang tersebut ditunda pada Kamis (22/08) karena jumlah anggota legislatif yang hadir tidak memenuhi batas minimum atau kuorum.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan pengesahan RUU Pilkada batal dilaksanakan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pilkada akan berlaku.
Dia memastikan pada saat pendaftaran calon kepala daerah untuk pilkada pada 27 Agustus 2024 bakal menerapkan putusan dari MK.
"Artinya, pada hari ini revisi undang-undang Pilkada batal dilaksanakan," ujar Sufmi Dasco dalam konferensi pers pada Kamis (22/08) petang.
Seusai dengan mekanisme yang berlaku, lanjutnya, apabila ada paripurna lagi harus melalui tahapan-tahapan yang diatur sesuai dengan tata tertib di DPR.
"Karena kita patuh dan taat dan tunduk pada aturan yang berlaku, bahwa pada saat pendaftaran nanti karena RUU Pilkada belum disahkan menjadi undang-undang, maka yang berlaku adalah hasil putusan Mahkamah Konstitusi judicial review yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora," jelas Sufmi kemudian.
Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa pembahasan akan dilanjutkan dalam sidang parlemen berikutnya, yang berarti perubahan tersebut tidak akan berlaku untuk pemilu tahun ini.
Pada Kamis 22 Agustus 2024 pagi, rapat paripurna DPR dibuka sekitar pukul 09.30 WIB.
Namun setelah 30 menit, batas minimum kehadiran anggota tidak terpenuhi. Tiga Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat itu, Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Paulus, dan Rachmat Gobel lantas menunda sidang hingga 30 menit.
Namun saat rapat dibuka kembali pada 10.00 WIB, rapat itu juga tidak memenuhi kuorum.
Kepada pers, Dasco menyebut tidak bisa menentukan sampai kapan rapat paripurna tersebut akan ditunda.
”Kami akan lihat mekanisme yang berlaku, apakah nanti mau diadakan rapat pimpinan dan Bamus. Itu ada aturannya,” kata Dasco.
“Saya belum bisa jawab, kami akan lihat lagi dalam beberapa saat ini,” tuturnya.
Pada Rabu (21/08), atau hanya berselang satu hari, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai “angin segar” bagi demokrasi “dibegal” melalui persetujuan revisi Undang-Undang Pilkada yang berlangsung kilat di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kata pengamat pemilu.
Delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat untuk hanya menerapkan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah pada rancangan perubahan UU Pilkada.
Keputusan yang diambil dalam rapat kerja di Badan Legislasi DPR itu dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” yang akan menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam pilkada 2024.
RUU Pilkada yang telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (22/08).
“Langkah-langkah DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi putusan MK tentu saja bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi,” kata dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
Kalau revisi UU itu disahkan, maka peta pencalonan Pilkada akan kembali dikondisikan sesuai kepentingan para elite yang bersatu di dalam koalisi gemuk, kata pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor.
Partai-partai di parlemen yang dikucilkan dari koalisi seperti PDI-Perjuangan terancam tak bisa mengusung calon mereka sendiri. Ini setidaknya terjadi di DKI Jakarta.
Sebaliknya, revisi UU Pilkada soal batas usia akan membuka kembali peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri.
Salah satu kesepakatan Baleg menyebut ambang batas parlemen dalam pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Artinya, partai dalam kategori ini dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan syarat yang tidak berkaitan dengan jumlah kursi mereka di DPRD. Ketentuan ini serupa dengan putusan MK yang diambil satu hari sebelumnya.
Meski begitu, Baleg tidak memasukkan dua putusan MK lain dalam RUU Pilkada.
Konsekuensinya, partai maupun koalisi partai yang memiliki kursi di DPRD harus memiliki setidaknya 20% kursi di dewan legislatif daerah atau 25% akumulasi suara di daerah tersebut untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.
Kedua, dalam rancangan perubahan UU Pilkada, batas usia paling rendah untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan.
Sementara batas usia terendah kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah 25 tahun pada saat pelantikan.
Syarat batas usia itu tidak sesuai dengan putusan MK. Sebaliknya, seluruh fraksi, kecuali PDIP, sepakat mengacu pada putusan Mahkamah Agung.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai DPR memilih putusan MK yang menguntungkan kepentingan tertentu.
“DPR jelas melakukan cherry picking,” kata Charles.
“DPR mengakui putusan MK jika itu menguntungkan mereka, dan pada titik lain tidak mengakui putusan MK lainnya yang merugikan mereka.
“Ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK,” tuturnya.
“Aturan awalnya hak itu hanya dinikmati partai politik yang ada di DPRD, tapi sekarang malah yang di DPRD yang tidak punya hak gara-gara tafsir sembarangan dan akal-akalan DPR,” kata Charles.
Charles berkata, putusan MK soal penghapusan ambang batas parlemen DPRD didasarkan pada upaya membentuk persaingan yang adil di antara partai politik.
Namun, kata Charles, persaingan yang adil itu justru dijegal DPR.
“Itu kan lari dari pertimbangan MK, sebuah penghormatan dan pengakuan terhadap suara rakyat yang sudah diberikan kepada partai politik tertentu, sehingga partai itu juga harus diberi hak mengajukan kandidat,” ujar Charles.
Polemik syarat mendaftarkan calon kepala daerah ini belakangan sangat dikaitkan dengan Pilkada DKI Jakarta.
Jika perubahan RUU Pilkada ini akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, PDIP berpotensi tak bisa mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Alasannya, mereka tak memenuhi syarat ambang batas parlemen di DPRD.
Meski begitu, Charles mendorong PDIP untuk tetap mendaftarkan kandidat mereka ke KPU.
Menurutnya, langkah itu bisa menjadi pintu masuk untuk mempersoalkan penyelenggaraan Pilkada Jakarta “yang tak sesuai putusan MK”.
“Kalau seandainya pendaftaran itu ditolak KPU, PDIP bisa memiliki dasar hukum untuk mengajukan sengketa hasil Pilkada DKI ke MK,” kata Charles.
“Jadi harus ada upaya konkret untuk tetap menggunakan keputusan MK dalam upaya mendaftarkan pasangan calon ke KPU. Mereka bisa gunakan itu untuk dasar menuju ke sengketa di MK,” ujarnya.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, berencana mengumumkan 169 calon kepala daerah yang akan mereka usung pada Pilkada 2024, Kamis (22/08)
Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, kepada pers di Jakarta, tidak menjawab tegas apakah salah satu calon kepala daerah itu termasuk yang mereka usung pada Pilkada DKI.
Yang jelas, kata Hasto, partainya akan mendasarkan pencalonan itu pada putusan MK terkait UU Pilkada.
“Detail nama bakal pasangan calon dan wilayahnya akan disampaikan besok,” kata Hasto.
Hal senada diutarakan anggota DPR sekaligus politikus PDIP Masinton Pasaribu.
“Ya kami tetap menggunakan putusan MK dengan mempertimbangkan putusan MK itu sebagai dasar mendaftar ke KPU,” kata Masinton, Rabu (21/08).
“Bernegara ini kan berkonstitusi, ya kami mengikuti putusan MK. Waktu putusan MK nomor 90 [yang mengakomodasi Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai cawapres] enggak ada revisi undang-undangnya tuh, digunakan untuk mendaftar kok,” sambung dia.
Soal siapa calon yang akan mereka usung, Masinton mengatakan bahwa partainya belum memutuskan. Namun Masinton membuka opsi partainya akan mencalonkan Anies Baswedan.
"Jadi nanti, biar tanggal 27 [Agustus] ya. Jika PDI Perjuangan mencalonkan Pak Anies Baswedan, kita kawal beramai-ramai ke KPU Jakarta," kata Masinton.
Pada rapat kerja di Baleg DPR, perwakilan PDIP, Muhammad Nurdin, menyebut MK telah memaparkan “secara rinci dan jelas” pertimbangan konstitusional ambang batas parlemen DPRD dan batas usia calon kepala daerah.
Putusan MK itu, menurut Nurdin, bersifat final dan mengikat dan semestinya diterapkan dalam proses pengubahan UU Pilkada.
Masinton Pasaribu juga turut bersuara dan menyebut putusan MK sebagai “upaya menyelamatkan demokrasi”.
Proses perubahan UU Pilkada yang berlangsung di Baleg, kata Masinton, “menyiasati putusan konstitusional MK” tersebut.
“Kita bisa mengakalinya dengan membuat peraturan, tapi kita tidak bisa membutakan kebenaran itu sendiri Pak Menteri,” kata Masinton.
Dua menteri yang menghadiri rapat kerja di Baleg itu adalah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian serta Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Atgas.
Bagaimana sikap KPU?
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, menyebut lembaganya telah menjajaki komunikasi dengan DPR terkait putusan MK soal ambang batas parlemen dan batas minimum umur calon kepala daerah.
Afifuddin berkata, KPU telah mengirim surat kepada DPR pada Rabu (21/08).
Isinya, kata dia, KPU ingin berkonsultasi dengan DPR.
Langkah yang diambil KPU ini, menurut Afifudin, merupakan upaya mencegah kesalahan yang mereka lakukan pada tahapan pemilihan presiden lalu.
Pada Februari 2024 lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada KPU yang menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
DKPP menyatakan, KPU keliru karena tidak mengubah peraturan KPU terkait syarat usia capres-cawapres pascaputusan MK.
KPU saat itu justru langsung mengeluarkan pedoman teknis untuk mematuhi putusan MK itu dan oleh karenanya menerima pendaftaran Gibran.
“Kami punya pengalaman putusan MK saat Pilpres. Kami menindaklanjuti, tapi konsultasi tidak sempat dilakukan karena satu dan lain hal,” kata Afifuddin kepada pers di Jakarta.
“Karena yang sekarang kami tempuh ini sama, prosedur yang saat itu tidak terlaksana, kini sedang kami tempuh,” ujarnya.
Putusan MK terkait ambang batas parlemen DPRD ditujukan untuk mencegah partai politik berkongkalikong mengusung kandidat tertentu demi kepentingan segelintir kelompok.
Pendapat ini dikatakan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Aisah Putri Budiarti.
Tanpa ambang batas parlemen itu, kata Putri, akan muncul pemilihan kepala daerah dengan kompetitif.
Lebih dari itu, pilkada juga akan terhindar dari kompetisi melawan kotak kosong maupun “calon-calon boneka”.
“Yang dilakukan DPR hari ini merugikan kepentingan publik, bukan hanya tentang apakah PDIP bisa mencalonkan Anies atau tidak. Dampaknya bisa lebih luas daripada itu gitu,” kata Putri.
“DPR membatasi pemilih untuk memiliki banyak kandidat berkapasitas."
“Ini akan berdampak sangat luas dan pada akhirnya akan ada efek domino, misalnya semakin menguatnya politik dinasti dan oligarki politik,” tutur Putri.
Meski partai yang tak memiliki kursi di DPRD berhak mengajukan kandidat, Putri ragu mereka mampu berkompetisi melawan calon-calon dari partai besar yang berada di dewan legislatif daerah.
Dengan peluang menang yang tipis, Putri tak yakin keberadaan partai-partai kecil itu akan menghasilkan kompetisi yang seimbang.
“Partai politik mau berkompetisi di pemilu atau pilkada kan pasti untuk menang. Tapi ketika peluang untuk menangnya itu sangat tipis, mereka akan cendurungan tidak mengambil resiko.
“Jadi menurut saya pada akhirnya RUU Pilkada ini memang hanya akan menciptakan demokrasi palsu. Pemilunya kosong, hanya seremonial saja,” kata Putri.
Apa dampaknya bagi peta politik Pilkada?
Firman Noor dari BRIN mengatakan bahwa revisi UU Pilkada secara praktis dapat menjegal PDIP untuk bisa mengusung calonnya sendiri di DKI Jakarta.
Itu karena Baleg DPR hanya menyetujui penurunan ambang batas untuk partai nonparlemen.
Artinya PDIP, sebagai partai di parlemen, perlu berkoalisi untuk memenuhi syarat ambang batas yang disepakati.
Sedangkan di Jakarta, 10 dari 11 partai yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta telah berkoalisi mendukung Ridwan Kamil-Suswono.
Kondisi itu, kata Firman, secara langsung juga menutup kans Anies Baswedan untuk maju.
Anies disebut sebagai figur potensial yang populer di Pilkada DKI Jakarta. Namun setelah dia ditinggalkan oleh partai-partai yang sempat mendukungnya seperti PKS dan Nasdem, Anies menjadi tak bisa mencalonkan diri.
Peluang Anies sempat sedikit terbuka melalui PDIP. Namun keduanya sama-sama terancam dijegal kalau revisi UU Pilkada itu disahkan.
“Padahal kalau dilihat, hasil survei Anies sangat tinggi, itu sebenarnya aspirasi rakyat yang perlu dipertimbangkan oleh partai politik ketika mengambil keputusan,” tutur Firman.
"Dengan diabaikannya aspirasi rakyat ini, jadi aspirasi siapa sih sebenarnya? Partai punya pilihan sendiri yang berdasar pada kepentingan eksklusif mereka," sambungnya.
Tapi Firman mengatakan yang menjadi persoalan dalam dinamika ini bukan semata perkara bagaimana PDIP atau Anies terjegal maju, melainkan bagaimana rakyat tidak diberi pilihan-pilihan yang mewakili aspirasi mereka.
"Apa yang dilakukan MK adalah menghidupkan asa agar masyarakat punya alternatif pilihan ke depan, ketimbang dari satu kelompok saja. Dari alternatif itu, masyarakat akhirnya bisa menghitung, mana yang bisa sesuai dengan aspirasi mereka," kata Firman.
Saat ini, pemilih seolah dikondisikan untuk memilih calon yang menguntungkan koalisi yang dominan.
Sejauh ini, Partai Buruh menjadi satu-satunya yang telah menyatakan sikap mendukung Anies untuk maju di Pilkada DKI Jakarta.
Namun dukungan Partai Buruh itu tidak serta merta bisa menjadi kendaraan politik Anies untuk maju. Pasalnya, Partai Buruh hanya memiliki 1,15% suara di DKI.
Putusan MK mewajibkan partai nonparlemen di Jakarta memiliki minimal 7,5% suara untuk bisa mengusung calonnya.
"Partai kan boleh bersikap, sikap Partai Buruh adalah mengusung Pak Anies, tetapi akan gugur dengan sendirinya kalau tidak memenuhi 7,5%," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal.
"Itulah makanya kami berharap PDIP konsisten untuk mendukung Pak Anies sebagai cagub dan cawagubnya dari PDIP," sebuynya.
Perihal PDIP yang terancam dijegal lewat revisi UU Pilkada, Said berkeyakinan bahwa mereka tetap akan bisa mengacu pada putusan MK.
"Minimal PDIP kan pasti akan melawan yang terjadi di Baleg," ujar Said Iqbal.
Dia mengaku Partai Buruh belum berkomunikasi secara langsung dengan partai-partai nonparlemen maupun partai parlemen lainnya untuk menggalang kekuatan mengusung Anies.
"Di Jakarta kami belum berkomunikasi dengan siapa pun karena ini sikap Partai Buruh," kata Said Iqbal.
"Mudah-mudahan PDIP konsisten mendukung Pak Anies, wakilnya dari PDIP. Dengan demikian sudah cukup kan Partai Buruh dengan PDIP saja, atau ditambah Hanura mungkin, cuma belum ada komunikasi," kata Said Iqbal.
Revisi UU Pilkada juga akan membuka jalan bagi Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri.
Itu karena Baleg menyepakati bahwa batas usia calon kepala daerah harus sudah 30 tahun saat pelantikan, bukan saat pendaftaran.
Kaesang, yang lahir pada 25 Desember 1994, belum genap berusia 30 tahun saat masa pendaftaran maupun saat pilkada serentak digelar.
Namun dengan revisi UU Pilkada itu, Kaesang sudah berusia lebih dari 30 tahun ketika pelantikan kepala daerah terpilih yang dijadwalkan pada Februari 2025.
Sejauh ini, sudah ada Partai Nasdem yang mengusung Kaesang menjadi calon wakil gubernur Jawa Tengah mendampingi Ahmad Luthfi sebagai calon gubernurnya.
Di luar dinamika politiknya, apa yang terjadi di Baleg juga dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan penyelenggaran Pilkada, terutama perihal kepastian hukumnya.
"Di Pilkada 2024 ini undang-undang apa yang dipakai? Yang disahkan oleh Baleg DPR atau putusan MK? Ini menimbulkan kebingungan yang serius," kata pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno.
Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum UI, juga berpendapat serupa. Menurutnya, putusan MK tak perlu ditindaklanjuti dengan perubahan UU, melainkan cukup dengan perubahan peraturan teknis di Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja.
Sikap DPR merevisi UU Pilkada dalam waktu singkat justru dinilai memicu ketidakpastian hukum.
Apalagi tahapan pilkada sudah mulai berjalan, dan pendaftaran calon pasangan calon akan dibuka pada 27-29 Agustus 2024.
"Kalau sampai undang-undang itu disahkan, pasti undang-undang itu akan langsung diuji ke MK dan bisa dipastikan juga akan dibatalkan kembali oleh MK. Kalau sudah demikian, bagaimana kepastian hukum penyelenggaraan Pilkada 2024?"
Bagaimana kronologi keluarnya putusan MK?
Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan gugatan mereka ke MK dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Sidang perdana pengujian materiil UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) berlangsung pada tanggal 11 Juli 2024.
Baik Partai Buruh yang didirikan pada Oktober 2021 dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia [Gelora] - didirikan pada Oktober 2019 dan diketuai mantan presiden PKS Anis Matta - sama-sama tidak mempunyai kursi di DPRD Jakarta.
Di tingkat nasional pun kedua partai sama-sama tidak memperoleh kursi dari total 580 kursi. Partai Buruh memperoleh 972.910 kursi atau 0.64%, sementara Partai Gelora 1.281.991 atau 0.84%.
Kepada MK, kedua partai menyatakan berhak mencalonkan kepala daerah baik secara individual maupun bergabung ke parpol lain karena telah memperoleh suara sah dalam Pemilu DPRD Tahun 2024.
Kuasa Hukum Said Salahudin mengatakan ketentuan UU Pilkada tentang ambang batas membuat kedua partai “kehilangan hak konstitusional dan kesempatan yang sama untuk mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah”.
Kapan putusan MK dikeluarkan dan bagaimana bunyi putusan?
Putusan MK keluar pada Selasa (20/08).
Seperti dikutip laman resmi MK, Ketua MK Suhartoyo dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyebut rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau koalisi untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.
Untuk Jakarta, yang menurut Badan Pusat Statistik [BPS] jumlah penduduknya mencapai 10,68 juta jiwa, parpol atau koalisi parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5%.
Dengan begitu, kini terbuka lebar kesempatan bagi partai-partai untuk mengajukan calon nominasi mereka.
PDIP, misalnya, sebagai partai yang tidak tergabung dalam KIM Plus, bahkan bisa mengajukan calon sendiri karena persentase suara sahnya 14.01% pada pemilu DPRD 2024.
Hanya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion.
Suhartoyo menyatakan pendapat berbeda menyebut pasal yang digugat sudah konstitusional dan Mahkamah seharusnya menolak permohonan.
Mengapa putusan MK ini merupakan sebuah kejutan?
Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyambut baik putusan MK.
Walaupun dirinya mengetahui adanya pengujian materi UU Pilkada oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, dia tidak menduga putusan ini akan keluar.
“Ini kejutan luar biasa,” ujar Titi, Rabu (21/08).
“Saya sejak lama berpendapat bahwa mestinya semua partai yang punya kursi di DPRD bisa mengusulkan pasangan calon di Pilkada.”
Mahkamah Konstitusi, sambung Titi rupanya menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan perlakuan antara calon perseorangan dan calon dari jalur partai atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Titi Anggraini sebelumnya menyebut Anies Baswedan membutuhkan dukungan partai untuk bisa maju ke Pilkada Jakarta 2024.
Di sisi lain, dia juga menyayangkan KPU DKI Jakarta yang menurutnya terburu-buru dalam menetapkan pencalonan Dharma-Kun.
“Mestinya KPU tidak terburu-buru menerbitkan keputusan di tengah masifnya spekulasi soal kredibilitas dan integritas pencalonan Dharma-Kun,” ujarnya.
Selain ambang batas suara, MK juga menegaskan aturan batas usia untuk calon kepala daerah dalam Pilkada.
Dilansir Antara, Mahkamah menekankan syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon peserta Pilkada oleh KPU dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada Selasa (20/08).
Dilansir Tempo, putusan MK menutup jalan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada 2024. Sebelumnya, dia disebut-sebut akan maju dalam Pilkada Jawa Tengah.
Kaesang yang juga Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Sementara penetapan pasangan calon KPU adalah 22 September.
Apakah putusan MK ini bisa segera berlangsung berlaku pada Pilkada 2024?
Menurut Titi, Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 berlaku untuk Pilkada 2024 mengingat putusan tersebut tidak menyebut penundaan pemberlakuan putusan pada Pilkada mendatang – seperti halnya putusan mengenai ambang batas parlemen yakni Putusan No.116/PUU-XXI/2023, di mana berlakunya setelah 2024, yakni di Pemilu 2029
“Putusan MK soal ambang batas pencalonan Pilkada ini serupa dengan Putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang memberi tiket pencalonan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada Pilpres 2024 yang lalu,” ujarnya.
Titi merujuk ke putusan MK pada 16 Oktober 2023 yang menyatakan seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan itu melanggengkan Gibran Rakabuming Raka - anak sulung Presiden Joko 'Jokowi' Widodo - untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2024.
Gibran saat ini berumur 36 tahun - tetapi dia menjabat sebagai Walikota Surakarta ketika akan mencalonkan diri.
Dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.
Meskipun begitu, Badan Legislasi [Baleg] Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] menggelar rapat kerja dengan pemerintah terkait rencana perubahan UU Pilkada di Senayan, Jakarta, Rabu (21/08).
Ditanya apakah DPR dapat membatalkan putusan MK melalui perubahan UU Pilkada ini, Titi mengatakan putusan MK jelas final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak.
"Istilahnya erga omnes. Kalau sampai disimpangi maka telah terjadi pembangkangan konstitusi dan bila terus dibiarkan berlanjut maka Pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan," tegasnya.
Berdasarkan pengamatan dilapangan, dari total 90 anggota Baleg, hanya 28 orang yang menghadiri rapat tersebut.
Meski begitu, Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi dari Partai Persatuan Pembangunan [PPP] selaku pimpinan rapat menyebut forum itu telah dihadiri seluruh fraksi yang ada di DPR.
Dalam rapat ini, Baidowi menyebut DPR berharap pembahasan perubahan UU Pilkada dapat selesai “dalam waktu yang tidak terlalu lama”.
Targetnya, UU Pilkada terbaru akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR September mendatang.
Baidowi berkata, pembahasan revisi UU Pilkada yang berlangsung saat ini tidak berkaitan dengan putusan MK.
Dia membuat klaim, proses perubahan beleid yang diusulkan oleh DPR itu telah dimulai sejak 23 Oktober 2023.
“Jadi bukan baru kemarin, tapi RUU ini sudah diusulkan DPR tahun lalu, dan sudah disahkan jadi RUU usul inisiatif DPR pada 21 November 2023,” ujarnya.
“Tapi karena menghadapi pemilu, tahu sama tahu, kemudian tertunda. Semakin tertunda karena ada putusan MK mengenai penjadwalan pilkada yang tidak ditunda lagi.
“Surpres dari pemerintah sudah lama dan kemarin kami dapat penugasan dari pimpinan DPR untuk melakukan pembahasan tingkat satu.
Jadi ini bukan RUU yang baru diusulkan, tapi kelanjutan usul DPR yang dalam hal ini pembahasan tingkat satu,” tuturnya.
Perwakilan dari pemerintah yakni Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan hal serupa dalam rapat kerja itu.
Dia menyebut pemerintah telah menerima surat Ketua DPR bernomor B/14052/2023 yang bertanggal 21 November.
Presiden Joko Widodo pun, kata Tito, sudah mengeluarkan surat presiden bernomor R.02PRESIDEN012024 bertanggal 24 Januari 2024.
Surat itu berisi penunjukan wakil pemerintah untuk membahas perubahan UU Pilkada bersama DPR.
Dalam materi presentasinya, Tito menyebut telah berlangsung enam rapat terkait penyusunan daftar inventaris masalah dan perubahan substansi pada RUU Pilkada.
Rapat itu digelar pada 21, 28, dan 29 Desember 2023 serta pada 4, 5, dan 8 Januari 2024.
Rapat kerja DPR-pemerintah ini ditutup dengan kesepakatan bahwa RUU Pilkada akan dibahas di tingkat teknis oleh panitia kerja.
Saat Ahmad Baidowi mengetuk palu tanda berakhirnya rapat, anggota Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, sempat meminta waktu untuk menyampaikan pendapat.
“Kami mau menyampaikan dulu, Pak Ketua,” ujarnya Ateria. Namun Baidowi segera meninggalkan bangkunya dan tak membuka lagi rapat untuk Arteria.
Bagaimana peta kompetisi Pilkada DKI?
Dalam konteks Pilkada Gubernur Jakarta 2024, putusan MK ini berpotensi mengubah percaturan parpol-parpol dalam mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta tahun ini.
Sebelumnya, tidak ada parpol yang bisa mencalonkan pasangan tanpa berkoalisi di Pilkada Jakarta.
Hal ini dikarenakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada – yang dianulir MK – menyebut partai politik baru dapat mengusulkan calon apabila memenangkan setidaknya 20% dari total kursi di DPRD pada pemilu legislatif atau memenuhi 25% akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD.
Berdasarkan aturan yang kini dibatalkan MK ini, sebelumnya dibutuhkan setidaknya total 22 kursi dari total 106 kursi bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon di Pilkada Jakarta.
Sekalipun menjadi pemenang pemilu legislatif Jakarta 2024, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ‘hanya’ memperoleh 16.68% alias 18 kursi dari 106 kursi – naik dua kursi dari pemilu sebelumnya.
Adapun PDIP menempati urutan nomor dua dalam pemilihan legislatif Jakarta 2024 dengan memenangkan 15 dari 106 kursi di DPRD Jakarta alias 14.01%-turun 10 kursi dari sebelumnya.
PKS yang sebelumnya mengusung mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta dengan didampingi kadernya, Mohamad Sohibul Iman, mengalihkan dukungannya terhadap mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Ridwan akan didampingi mantan Menteri Pertanian yang juga politikus PKS, Suswono, sebagai bakal calon gubernur.
Langkah PKS disinyalir diambil setelah Anies disebut tidak kunjung mengokohkan koalisi dengan partai lain untuk memantapkan pencalonannya.
Kans Anies Baswedan sebelumnya dinilai tertutup setelah dua partai pengusungnya selain PKS, yakni Partai Nasdem dan PKB, bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang mendukung Ridwan Kamil-Susono dalam deklarasi pada Senin (19/08).
Selain Ridwan Kamil-Suswono, calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta lainnya adalah pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana yang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta ditetapkan sebagai calon independen pada Senin (19/08) malam.
Penetapan itu dilakukan di tengah dugaan pencatutan sejumlah KTP warga.
Namun, putusan MK mengubah segalanya mengingat kini partai-partai lain – termasuk PDIP yang tidak tergabung dalam KIM Plus – kini bisa mengajukan calonnya sendiri tanpa perlu berkoalisi.
Penutupan pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah tanggal 29 Agustus 2024 – sembilan hari lagi. (*)
Tags : Joko Widodo, Politik, Prabowo Subianto, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024,