POLITIK - Gelaran demokrasi melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak mestinya mampu memberikan kesempatan yang lebih luas bagi setiap orang. Melalui pemilu, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mengakses jabatan publik baik sebagai gubernur, bupati maupun wali kota.
Namun agaknya, pilkada serentak justru menumbuhsuburkan dinasti politik di daerah. Kepemimpinan daerah didominasi keluarga inti dan sanak saudara. Muncul kecenderungan, pencalonan kepala daerah diisi oleh kerabat penguasa. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode, akan menyiapkan 'putra mahkota' untuk menggantikannya.
Anak dan istri bisa menggantikan bapak, ketika jabatan telah habis dan tidak memungkinkan maju kembali. Anak menantu, adik, kakak, dan keponakan bisa menjadi alternatif ketika keluarga inti tidak bisa diharapkan menggantikan. Pokoknya, kekuasaan tetap berada di seputaran keluarga. Kondisi ini memang cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan. Namun ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik.
Alih-alih berkompetisi secara adil dan terbuka, proses pencalonan hingga pemenangan justru menggunakan beragam cara asal keluarga berkuasa. Tidak jarang pula, dinasti politik melahirkan korupsi yang melibatkan keluarga.
Dinasti politik dan korupsi
Beberapa kasus korupsi yang mengemuka justru terkait dengan dinasti politik, misalnya dugaan suap yang melibatkan bapak dan anak, yakni Asrun sebagai calon gubernur Sulawesi Tenggara dan putranya, Adriatma Dwi Putra selaku wali kota Kendari.
Setelah sang ayah menyelesaikan tugasnya sebagai wali kota dan kembali maju sebagai calon gubernur, sang anak mengisi jabatan yang ditinggalkan ayahnya. Di Provinsi Banten, kasus Ratu Atut Chosiyah yang melibatkan adiknya, menunjukkan betapa kentalnya kekuasaan dinasti politik di Banten.
Ada pula dinasti Kutai Kartanegara. Beberapa waktu lalu, Bupati Kutai, Rita Widyasari, tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara - Syaukani Hassan Rais yang terlebih dulu tersandung kasus serupa. Di Cimahi, Jawa Barat, Wali kota Cimahi (2012-2017) Atty Suharty bersama suaminya menjadi tersangka kasus penerimaan suap proyek pasar Cimahi. Sang suami, Itoc Tochija, merupakan wali kota Cimahi selama dua periode.
Kemudian di Klaten, Jawa Tengah, Bupati Sri Hartini (2016-2021), terkena operasi tangkap tangan KPK karena diduga melakukan jual beli jabatan. Kepemimpinan Sri ini juga tidak lepas dinasti politik yang dibangun suaminya, mantan bupati Haryanto Wibowo (2000-2005).
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan rentannya dinasti politik terhadap kasus korupsi. Pengambilan kebijakan dalam lingkaran kekuasaan lebih banyak dipengaruhi relasi kekeluargaan, daripada berjalannya sistem. Adapun sistem yang dibangun terabaikan oleh kepentingan keluarga dalam pengumpulan pundi pundi ekonomi.
Namun, selain itu, perlu juga dilihat relasi antara sistem pemilihan dengan biaya politik yang menyebabkan dinasti politik tumbuh subur dan kaitannya dengan biaya politik pemilihan.
Politik = bisnis?
Memang politik bukan bisnis, ketika setiap pengeluaran (modal) akan dihitung sebagai pengali keuntungan yang akan diperoleh. Masalahnya, biaya politik yang sudah digunakan tentu akan dihitung sebagai modal yang harus kembali beserta laba dari setiap pengambilan kebijakan. Di sinilah awal korupsi muncul.
Dinasti politik tumbuh subur dan cenderung tidak adil, juga dipengaruhi sistem pemilihan yang tidak adil pula. Untuk mencalonkan kepala daerah, mesti didukung minimal partai politik yang memperoleh 20% kursi DPRD atau 25% suara. Apalagi dengan terbukanya ruang untuk borong dukungan, setiap calon kepala daerah berlomba mendapat seluruh dukungan partai dengan harapan akan lebih mudah memenangkan pemilihan karena hanya melawan kotak kosong.
Besarnya syarat dukungan ini menjadikan "harga" setiap kursi menjadi mahal. Di sini, mahar politik bermain dalam pencalonan. Pasti bukan uang yang sedikit untuk mendapatkan dukungan itu, meskipun dalam beberapa kasus khusus justru diberikan secara cuma-cuma.
Akibatnya, selain politik menjadi berbiaya tinggi, proses pemilihan kepala daerah hanya akan bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal uang mumpuni. Kemungkinan besar, partai tidak akan gampang memberikan dukungan. Sokongan diberikan asalkan ada duit sehingga partai berorientasi uang dan, tentu, kekuasaan.
Besaran uang yang digunakan bagi seorang kandidat untuk bersaing dalam pemilihan amat tergantung pada elektabilitas. Semakin tinggi elektabilitas maka dibutuhkan modal yang lebih ringan, Begitu pula sebaliknya, jika tidak memiliki elektabilitas mesti menyiapkan modal lebih.
Upaya meyakinkan pemilih untuk mendongkrak suara, akan bermuara pada praktek politik uang. Apalagi petahana yang mencalonkan kembali atau mengusung keluarga dalam pemilihan, sering tidak mau tinggal diam untuk mencampuri proses. Segala sumber daya dikerahkan demi memenangkan keluarga.
Akibatnya, selain kemunculan politik uang, timbul pula politisasi terhadap aparatur sipil negara (ASN) dan penggunaan fasilitas negara demi kemenangan petahana. Paling tidak fakta itulah yang terjadi dan muncul dari hasil riset terhadap putusan Mahkamah Konstitusi 2008-2011 (Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi bukan Mahkamah Kalkulator).
Dalam penelitian itu, terlihat bahwa hampir seluruh Putusan MK yang memerintahkan pilkada ulang/pemungutan suara ulang dilatarbelakangi kasus politisasi terhadap aparat birokrasi dan penggunaan fasilitas negara.
Menghambat laju
Kekhawatiran akan maraknya dinasti politik ini sudah pernah ditindaklanjuti melalui perekayasaan hukum. DPR dan pemerintah pernah mengatur pembatasan pencalonan bagi keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah pada jeda waktu tertentu. Namun sayang, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan pelarangan keluarga petahana mencalonkan kepala daerah.
Melalui putusannya, MK menganggap aturan itu mengebiri hak konstitusional warga negara untuk maju sebagai calon kepala daerah. Selain itu, hukuman atas penyimpangan yang dilakukan kepala daerah hendaknya tidak dibebankan kepada keluarga petahana.
Setelah pelarangan keluarga petahana mencalonkan kepala daerah dibatalkan MK, perlu upaya lebih untuk membatasi ekses munculnya dinasti politik. Memang sulit untuk membatasi hak setiap orang untuk berpolitik, karena konstitusi telah menjamin seluas-luasnya. Karena itu, pembatasan mesti dilakukan secara sistematis, tidak hanya dengan memberlakukan pelarangan.
Pertama, sistem pemilihan mesti didisain agar lebih ramah dan benar benar membuka ruang secara adil bagi siapapun untuk mencalonkan diri. Ambang batas pencalonan tidak lagi relevan untuk terus diberlakukan. Kedua, penegakan hukum terhadap kasus suap dalam pencalonan (mahar politik) mesti menjadi perhatian penegak hukum sehingga biaya politik untuk pencalonan bisa ditekan. Begitu juga dengan penyimpangan dalam birokrasi dan pengambilan kebijakan yang sering digunakan sebagai ajian pamungkas pemenangan.
Ketiga, peran partai politik jauh lebih besar untuk menghambat laju dinasti. Jika proses rekrutmen kandidat dilakukan secara terbuka, dengan sistem yang baik tanpa tendensi ekonomi, tentu tidak hanya bisa menghambat laju dinasti politik, namun akan lahir orang-orang terbaik yang akan memimpin daerah. (*)
Tags : Pilkada Serentak, Pilkada2020, Politik Dinasti,