"Pinjaman Online [Pinjol] diduga sudah teror nasabah karena terlambat bayar cicilan yang sepertinya kayak senjata penghancur massal"
toritas Jasa Keuangan (OJK) didesak mencabut izin perusahaan pinjaman online (pinjol) yang kedapatan melakukan pelanggaran dalam hal penagihan hingga skema pembayaran utang.
Pasalnya, kata Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana bahwa, praktik semacam itu terjadi di hampir semua pinjaman online, baik legal maupun ilegal.
Desakan tersebut mengemuka setelah viral cerita seorang pengguna pinjol AdaKami yang diduga bunuh diri akibat diteror penagih utang.
Direktur HMPB Satya Wicaksana mengatakan proses investigasi belum berlangsung karena keterbatasan informasi menyangkut pengguna.
Dalam keterangan resmi, dia berjanji akan mengusut tuntas kasus ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap OJK.
Sejumlah warga bercerita bagaimana mereka mengalami teror dari penagih utang yang terafiliasi dengan perusahaan pinjol.
"Kata-kata penagih utang itu kasar banget, saya dibilang anak haram, orangtua saya dimaki dengan kasar," ujar salah satu dari mereka.
Menanggapi persoalan ini, OJK mengimbau lembaga jasa keuangan termasuk pinjaman online untuk mematuhi aturan terkait perlindungan konsumen.
OJK juga mengimbau masyarakat agar menggunakan layanan pinjol sesuai kebutuhan dan kemampuan bayar.
Pinjol ramai diperbincangkan warganet
Desakan agar pinjaman online alias pinjol ditiadakan kembali mengemuka setelah viral cerita seorang pengguna pinjol AdaKami yang diduga bunuh diri akibat diteror penagih utang.
Akun X—sebelumnya bernama Twitter— @rakyatvspinjol membagikan kisah itu pada Minggu 17 September 2023 lalu.
Dalam utas itu tertulis bahwa korban merupakan ayah dengan satu anak berusia tiga tahun.
Dia disebut meminjam uang ke aplikasi AdaKami sebesar Rp9,4 juta. Tapi yang tak disangka, ia harus mengembalikan uang pinjaman sebesar Rp18 juta - Rp19 juta, atau dua kali lipat dari pinjaman semula.
Karena tak sanggup membayar, korban disebut diteror oleh penagih utang yang terafiliasi dengan AdaKami.
Penagih itu disebut membombardir telepon kantor korban yang bekerja sebagai pegawai honorer di salah satu instansi pemerintah.
Teror itu dikatakan menjadi pemicu pemecatan korban.
Kepada keluarganya, korban disebut tak menutupi pemecatan itu dengan alasan tak diperpanjang kontraknya.
Namun teror dari penagih utang makin menjadi berupa order fiktif.
Setiap hari dia didatangi oleh lima bahkan enam pengemudi ojol berbeda yang mengantar makanan dan minuman.
Hingga akhirnya korban memutuskan bunuh diri pada Mei 2023.
Utas tersebut dikomentari 700 pengguna dan disukai 11.000 lebih akun.
Beberapa komentar meminta agar aplikasi pinjol sebaiknya ditutup karena skema pinjamannya mencekik dan penagihannya juga menjurus ke ancaman.
Ada juga yang mempertanyakan pengawasan OJK terhadap pinjol legal lantaran cara penagihan mereka melanggar aturan perlindungan konsumen.
'Saya dibilang anak haram, orangtua dimaki dengan kasar'
Salah satu korban pinjol AdaKami, Rifal, bercerita mengalami teror dari penagih utang yang terafiliasi dengan aplikasi AdaKami.
Dia mengaku pernah beberapa kali meminjam uang dari yang nominalnya kecil sekitar Rp2 juta sampai terbesar Rp7 juta.
Saat awal meminjam pada bulan Februari 2023 sebesar Rp2 juta, pria yang bekerja sebagai buruh di salah satu restoran di Jakarta ini mengaku berhasil melunasi tepat waktu.
Kemudian jelang hari raya Idulfitri, dia kembali meminjam Rp7 juta untuk keperluan sehari-hari dan mengirim sebagian ke orangtuanya di Sumatra Utara.
Waktu meminjam, Rifal berkata tak membaca secara detail syarat dan ketentuan pinjaman karena terlalu panjang.
Tapi dia tahu ada syarat soal bunga dan biaya layanan dalam skema pembayaran.
Hanya saja, yang tak disangka total tagihan yang harus dikembalikan dari pinjaman Rp7 juta itu hampir dua kali lipat.
"Total tagihan Rp14 juta, jadi bunganya hampir 100%. Itu saya kaget, kok segini?" ungkap Rifal.
"Bahkan cicilan perbulan itu, melebihi gaji saya," sambungnya.
Rifal harus mencicil utangnya itu sebanyak enam kali.
Cicilan pertama, katanya, beres. Tapi cicilan kedua tak terbayar karena tak ada uang.
Sejak itulah teror dari penagih utang atau debt collector dimulai.
Dia dikirimi pesan yang isinya ancaman bahwa data pribadinya akan disebar. Begitu pula dengan akun media sosialnya.
Bahkan temannya ada yang kena teror.
"Kata-kata penagih utang itu kasar banget, saya dibilang anak haram, orangtua saya dimaki dengan kasar."
"Saya bahkan dikirimin 100 lebih pesan di WhasApp dari debt collector setiap hari. WhatsApp saya sampai penuh pakai kata-kata makian."
"Mereka juga kirim foto yang ngakunya dalam perjalanan ke rumah orang tua saya."
Semua teror itu berlangsung selama tiga bulan, tanpa jeda sehingga membuatnya kalut.
Setiap hari yang dirasakan ketakutan kalau-kalau didatangi ke kantor dan membuat keributan.
"Pernah saya sampai berhari-hari enggak makan karena bingung, down rasanya..."
Rifal berkata sebelum meminjam ke AdaKami, dia pernah pinjam uang di dua pinjol berbeda. Tapi dua aplikasi itu bunganya tak sampai 100% seperti AdaKami.
Selain itu, katanya, cara menagihnya juga terbilang sopan.
Namun demikian, Rifal mengatakan tetap ingin melunasi utangnya di AdaKami, hanya saja syarat yang diminta terlalu berat.
Sebab dia harus membayar pokok pinjaman secara tunai alias tak boleh dicicil.
Yang pasti sejak kejadian terakhir, dia mengaku kapok meminjam ke pinjol.
Terjebak pinjol 'gali lubang tutup lubang'
Teror serupa juga dialami Ningrum, bukan nama sebenarnya.
Dia menjadi korban penagihan debt collector dengan cara menyebarkan data pribadinya ke semua kontak yang dia miliki.
Kasusnya bermula pada tahun 2021.
Ibu rumah tangga ini punya tagihan pinjol hingga Rp80 juta, meski sebenarnya dia hanya melakukan transaksi pinjaman tak sampai Rp20 juta.
"Saya pinjam dari beberapa aplikasi dan enggak semua ingat. Pinjamannya mulai dari Rp300 ribu sampai Rp5 juta. Itu banyak karena saya gali lubang tutup lubang untuk nutupin pinjaman yang lain," ungkapnya kepada wartawan.
Di saat cicilan pinjamannya mengalami keterlambatan, perlakuan kasar dialami.
Paling parah, katanya, para penagih utang itu mengirimkan konten pornografi.
"Sampai foto saya diedit sama cewek telanjang. Ibu saya enggak berhenti ditelepon, diancam mau dibunuh saya."
'Pinjol legal dan ilegal sama'
Data (fintech) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan generasi muda yang terdiri dari generasi Y dan generasi Z semakin gemar menggunakan layanan keuangan pinjaman online (pinjol).
Mayoritas penerima pinjaman online (pinjol) di Indonesia merupakan anak muda. Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah rekening penerima pinjol aktif berusia 19-34 tahun mencapai 10,91 juta penerima dengan nilai pinjaman sebesar Rp26,87 triliun pada Juni 2023.
Kalau dilihat tren ke belakang, jumlah penerima pinjol ini meningkat 2,6% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/m-to-m) yang sebanyak 6,32 juta penerima. Jumlahnya juga naik 25,9% dibandingkan setahun sebelumnya (year on year/yoy) yang sebanyak 8,67 juta penerima.
Kemudian, di urutan kedua, disusul peminjam berusia 35-54 tahun dengan 6,49 juta dan pinjaman sebesar Rp17,98 triliun pada Juni 2023. Jumlah itu meningkat 2,7% secara bulanan (m-to-m) dan 43,5% secara tahunan (yoy).
Selanjutnya, jumlah penerima pinjol yang berusia di atas 54 tahun sebanyak 686.354 dengan penyaluran sebesar Rp2 triliun. Jumlahnya meningkat 3,2% dibandingkan pada Mei 2023 (m-to-m), tapi merosot 54,3% secara tahunan (yoy).
Adapun, penerima pinjol berusia di bawah 19 tahun sebanyak 72.142 dengan penyaluran sebesar Rp168,87 miliar per Juni 2023. Jumlah penerimanya lebih tinggi 12,5% secara bulanan (m-t-m), tapi anjlok 86,5% secara tahunan (yoy).
Tetapi Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana menilai, praktik penagihan dengan ancaman hampir terjadi di semua aplikasi pinjaman online yang ilegal dan legal.
Mulai dari mengeluarkan kata-kata sumpah serapah, tidak kenal waktu, dan berlangsung secara intens.
Para pinjol ini juga, katanya berlaku culas dengan menerapkan skema pembayaran tidak masuk akal.
Padahal kalau merujuk pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menurut Larshen, utang yang harus dikembalikan maksimal 100% dari total pinjaman.
"Jadi tidak boleh utang Rp5 juta tapi bayarnya Rp11 juta," ujarnya menjelaskan.
Larshen menilai OJK harus memperbaiki pengawasan mereka.
Proses penagihan juga, menurutnya sebaiknya disamakan dengan model penagihan kartu kredit yang diterbitkan Bank Indonesia.
Begitupun Pengamat ekonomi dari Center of Economi and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sependapat.
Dia bahkan mendesak OJK menindak tegas perusahaan pinjol yang melanggar aturan dengan dicabut izinnya.
"Jadi ada aturan yang dilanggar sehingga OJK harus berikan sanksi kalau pinjolnya legal, harus ada semacam pencabutan izin kalau perlu."
"Kalau sampai mengancam keselamatan maka harus dilaporkan secara pidana."
Bhima juga menjelaskan, OJK harus kencang menyebarkan edukasi kepada masyarakat agar tidak sembarang menggunakan pinjol untuk kebutuhan konsumtif.
Selain itu juga, masyarakat diminta membaca secara rinci syarat dan ketentuan dari tiap-tiap pinjol.
"Dan publik harus tahu mengadu ke siapa kalau ada penyimpangan yang dilakukan pihak platform. Ini edukasinya kurang."
Mengapa sampai terjadi gagal bayar?
Pengamat ekonomi digital dari Indef, Nailul Huda, menyebut ada dua hal yang menyebabkan kasus gagal bayar terjadi hingga sampai merenggut nyawa.
Pertama, dari sisi informasi mengenai pinjaman online yang belum sempurna. Misalnya, terkait bunga.
Pada survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), faktor paling penting bagi pertimbangan peminjam adalah suku bunga yang rendah.
Sementara diketahui bahwa bunga di pinjol sangat tinggi.
"Akan tetapi iklan pinjol hanya menampilkan besaran bunga yang rendah seperti 0,1% hingga 0,4% tanpa menampilkan itu harian, mingguan, atau bulanan," jelas Nailul Huda.
Kalau bunga perhari 0,4% maka satu bulan mencapai 12%.
Kedua, tidak adanya credit scoring atau penilaian yang dijadikan dasar pertimbangan menyalurkan dana pinjaman dari pinjol.
Menurut dia, penilaian itu penting untuk melihat kemampuan bayar calon peminjam.
"Ini bisa dilihat sebenarnya dari tingkat gagal bayar yang semakin meningkat. Bahkan ada pinjol resmi yang tingkat bayarnya sampai 77%. Artinya dari sistem assesmennya harus ada perbaikan."
Apa tanggapan AdaKami dan OJK?
Usai viral kasus dugaan bunuh diri peminjam aplikasi pinjol AdaKami, OJK memanggil petinggi aplikasi tersebut.
Direktur Utama AdaKami, Bernardino Moningka Vega Jr, mengatakan proses investigasi belum berlangsung karena keterbatasan informasi menyangkut pengguna.
Lewat keterangan resmi AdaKami, dia berjanji akan mengusut tuntas kasus ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap OJK.
"Data pribadi ini menjadi kunci keberlangsungan investigasi yang menyeluruh, dan untuk memastikan setiap aktivitas yang terjadi di platform AdaKami sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku," ujar tulis Bernardino.
"Data pribadi pengguna itu menjadi kunci keberlangsungan investigasi yang menyeluruh dan untuk memastikan setiap aktivitas yang terjadi di platforom AdaKami sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku," ucapnya.
Pengecekan sementara, sambungnya, nomor penagih utang yang beredar di media sosial tidak terdaftar dalam sistem AdaKami.
Namun jika terbukti ada pelanggaran akan ditindak sesuai hukum.
Adapun OJK telah mewajibkan seluruh perusahaan pinjol untuk menyampaikan informasi biaya layanan dan bunga secara jelas kepada konsumen.
Dan melakukan penagihan dengan cara yang baik sesuai dengan peraturan OJK.
"OJK juga memerintahkan AdaKami melakukan investigasi lebih lanjut terkait order fiktif," demikian pernyataan tertulis pihak OJK.
"OJK akan bertindak tegas jika dari hasil pemeriksaan menemukan adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen."
Adapun masyarakat yang ingin menggunakan layanan pinjol untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan bayar, serta memahami syarat, ketentuan, termasuk bunga, denda, dan rincian biaya yang dikenakan.
'Senjata penghancur massal'
Kembali disebutkan Larshen Yunus yang juga Wakil Sekretaris Jenderal [Wasekjend] Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Pusat Jakarta ini menilai nasabah menerima panggilan suara dari seseorang yang tidak dikenal, yang berisi kata-kata kasar dan mendiskreditkan seseorang patut dapat diduga bahwa nomor kontak selular TemanKeu terdapat pada database kontak selular orang dimaksud.
"Data itu telah diakses serta digunakan tanpa seizin pemiliknya oleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan debt collector dari penyedia jasa pinjaman permodalan secara digital (online), yang memberikan layanan peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol)," sebutnya.
Menurutnya, di zaman teknologi seperti saat ini semua hal terasa serba mudah. Begitu pun dengan permodalan, jika dulu masyarakat Indonesia sangat sulit mendapatkan pinjaman kini untuk mendapatkan pinjaman uang begitu mudah. Salah satu yang memudahkan ialah adanya platform penyedia jasa pinjaman secara digital atau biasa disebut pinjaman online (pinjol) ini.
Dua tahun terakhir, banyak orang membicarakan fintech. Terlebih tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan paling tidak 75 persen dari populasi orang dewasa di Indonesia bisa mengakses layanan institusi finansial, dan masyarakat pun semakin beramai-ramai memanfaatkan jasa fintech untuk mencapai tujuan finansialnya.
Otoritas Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan sebutan OJK, kata dia merupakan salah satu lembaga pemerintah di Indonesia, yang dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat: 1)terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.
OJK sendiri mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB.
Jadi istilah fintech ini adalah bentuk usaha yang bertujuan menyediakan layanan finansial dengan menggunakan perangkat lunak dan teknologi modern.
"Tujuan mereka jelas, untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan dan menyederhanakan proses transaksi," sebutnya.
Namun, kata Larshen lagi, tak sedikit masyarakat yang menganggap fintech adalah saingan perbankan karena keseluruhan sektornya hampir mirip dengan bank.
Padahal bila ditelisik lebih jauh, platform fintech justru mampu menjadi strategi penting untuk meningkatkan dan mengakeselerasi perbankan melalui kolaborasi dan kemitraan.
Fintech dan platform digital menawarkan model bisnis dan alternatif solusi yang dapat membantu pemerintah dan institusi finansial lainnya untuk memperluas jangkauan pemberian layanan finansial yang memadai.
Kehadiran industri fintech dalam menawarkan produk keuangan berbasis digital seakan membuka pintu baru bagi masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman.
Berbanding terbalik dengan layanan pinjaman konvensional yang ditawarkan bank atau koperasi, berbagai fintech menawarkan produk pinjaman peer to peer lending (P2P Lending) atau pinjaman online yang dapat diajukan dengan sangat mudah dan tanpa persyaratan yang rumit.
"Karena kemudahan dan kecepatannya itulah, fintech menjadi sangat populer di kalangan generasi milenial dan diprediksi akan terus berkembang," katanya.
Dengan cukup menunjukkan dokumen pribadi, seperti, KTP, KK, NPWP, dan slip gaji, siapa saja dapat menjadi pengguna pinjaman online untuk tuntaskan berbagai problema keuangan.
Bahkan, sejak awal diajukan hingga dana sampai ke tangan nasabah, fintech hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 24 jam. Kelebihan inilah yang membuat produk keuangan begitu cepat meraih popularitas dan semakin gandrung dimanfaatkan oleh masyarakat berbagai kalangan.
Sayangnya, di balik kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkannya, tak sedikit orang yang memanfaatkan produk pinjaman online ini dengan tidak bijak.
"Padahal, jika dibandingkan dengan pinjaman konvensional, pinjaman online memiliki tingkat suku bunga yang cenderung lebih tinggi dan tenor cicilan yang lebih ringkas," ungkapnya.
Pada pinjaman online, biaya administrasi tidak transparan. Alhasil para nasabah berisiko harus membayar hutang lebih besar dari kesepakatan diawal. Selain itu, nasabah juga harus membayar biaya denda keterlambatan dan denda lainnya yang notabene tidak masuk akal.
Keberadaan pinjaman online ini menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia.
Hal ini tentu berisiko membuat debitur pinjaman online untuk terjebak jeratan utang yang terlalu berat hingga tak mampu membayar cicilannya.
"Berbagai ancaman mengintai kalau sampai tidak mampu melunasi cicilan pinjaman online. Bahkan, muncul trending topic Linduginasabahfintech yang berisi tentang pengalaman buruk meminjam uang lewat online," ceritanya.
"Kasus pinjaman online ilegal masih marak terjadi di Indonesia."
"Tetapi pemberian data diri pada pinjaman online membuat nasabah mudah dikejar-kejar tentang utangnya. Debt collector menebar ancaman mulai dari masuk pengadilan, ke penjara, sampai siap dipecat dari pekerjaan," sebutnya.
Jadi tak hanya itu, beberapa warganet lain memang menyoroti Fintech pinjaman online yang bisa membaca data-data di ponsel nasabah.
"Sebaiknya dan lebih baik tidak melakukan pinjaman online. Pasalnya, pengajuan pinjaman belum tentu diterima, tetapi data-data nasabah sudah didapatkan. Selain itu, pinjaman online juga dinilai sangat merugikan konsumen. Misalnya, pengajuan pinjaman cuma Rp1 juta sampai Rp2 juta, tetapi sang penyedia pinjaman online bisa mendapatkan seluruh data nasabah yang nilainya bisa lebih dari itu," jelasnya.
Jikapun ada yang sampai korban bunuh diri dan stres karena terlibat dalam pinjaman peer to peer lending (P2P Lending).
Salah satu korban bunuh diri adalah kasus driver ojek online yang meninggal karena stres ditagih oleh debt collector pinjaman online di fintech.
Akibat pemberitaan itu, ada yang menyarankan agar fintech pinjaman online yang menyebabkan konsumen bunuh diri harus ditutup segera. Pasalnya, tekanan penagihan oleh debt collector-nya memicu stres konsumen.
"Fakta-fakta lainnya tentang pinjaman online adalah banyak orang yang dihubungi fintech sebagai kontak darurat nasabahnya. Padahal, orang itu tidak mengetahui kalau dirinya dijadikan kontak darurat. Belakangan, kontak darurat ini akan menjadi “repot” karena akan dihubungi secara terus menerus oleh petugas penagih utang dari fintech, dan hal ini tentunya dirasakan sangat mengganggu," saran Larshen.
Ia minta OJK kembali melaporkan data terbaru fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online yang terdaftar atau berizin.
Sementara laporan dari pihak OJK menyampaikan hingga 10 Juni 2021, total terdapat 125 pinjol yang terdaftar di OJK, atau berkurang 6 fintech dari yang terakhir kali dilaporkan pada akhir Mei 2021.
OJK menyatakan, ke-6 pemain fintech tersebut harus mengembalikan tanda terdaftarnya yang diakibatkan beberapa sebab seperti tidak memenuhi persyaratan perizinan sesuai POJK dan tidak bisa melanjutkan kegiatan operasional. Pembatalan diberikan karena fintech dimaksud belum menyampaikan pemenuhan persyaratan perizinan sehingga penyelenggara tidak memenuhi ketentuan, tulis OJK yang juga mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggara fintech lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK. (*)
Tags : pinjaman online, pinjol, teror nasabah karena terlambat bayar cicilan, direktur HMPB nilai pinjol kayak senjata penghancur massal,