INTERNASIONAL - Naftali Bennett kini menjadi pemimpin Israel pertama yang mengunjungi Uni Emirat Arab (UEA), dalam upaya mempererat hubungan kedua negara itu di tengah meningkatnya ketegangan atas Iran.
Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed, pemimpin de facto UEA, mengadakan pembicaraan dengan Bennett pada Senin (13/12) atau setahun setelah kedua negara menormalkan hubungan diplomatik.
Perdana menteri Israel itu mengatakan dia ingin meningkatkan hubungan ekonomi dan komersial dengan UEA.
Dia juga diperkirakan akan mendesak UEA untuk mengambil sikap yang lebih keras dalam menanggapi program nuklir Iran.
UEA pun berbagi keprihatinan dengan Israel tentang potensi ancaman senjata nuklir dari Iran, tetapi negara Arab itu juga berusaha membangun hubungan yang lebih baik dengan Teheran.
UEA menjadi negara Arab ketiga yang sepenuhnya mengakui Israel tahun lalu, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai Kesepakatan Abraham yang dipelopori AS.
Negara-negara peserta kesepakatan tersebut sejak itu telah saling mengirim duta besar dan menyetujui kesepakatan perdagangan senilai ratusan juta dolar, termasuk perjanjian tentang pertahanan dan pengembangan senjata.
Bennett disambut oleh menteri luar negeri UEA dan pengawal kehormatan ketika tiba di Abu Dhabi pada Minggu malam.
Pada hari Senin, dia difoto berjabat tangan dengan Sheikh Mohammed sebelum mereka menggelar pertemuan, yang digambarkan kantor perdana menteri Israel sebagai momen "bersejarah".
Sheikh Mohammed menyatakan harapan bahwa kunjungan Bennett ini akan "memajukan hubungan kerja sama menuju langkah-langkah yang lebih positif demi kepentingan rakyat kedua negara dan kawasan", kantor berita resmi Wam melaporkan.
Sebelum meninggalkan Israel, Bennett mengatakan bahwa dia "akan membahas cara-cara untuk memajukan kerja sama kami di sejumlah bidang, terutama memperkuat hubungan ekonomi dan komersial kami".
Tapi surat kabar Haaretz di Israel melaporkan bahwa Bennett juga telah mengatakan bahwa fokusnya adalah Iran, dan bahwa ada kekhawatiran di Israel tentang kontak baru-baru ini antara pejabat Emirat dan Iran.
Pekan lalu, penasihat keamanan nasional UEA, Sheikh Tahnoon bin Zayed, saudara Sheikh Mohammed, bertemu dengan Presiden Iran, Ebrahim Raisi, dalam kunjungan ke Teheran. Sheikh Tahnoon mengatakan dia berharap kunjungan itu akan menjadi "titik balik" bagi hubungan antar negara.
UEA sebelumnya telah mengambil sikap keras terhadap Iran dan, bersama dengan Israel, mendukung keputusan Presiden AS Donald Trump pada 2018 untuk meninggalkan kesepakatan penting yang membatasi kegiatan nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Iran telah membalas sanksi yang diberlakukan kembali oleh Trump dengan secara bertahap melanggar komitmen utama berdasarkan perjanjian nuklir.
Negara itu pun menegaskan program nuklirnya untuk tujuan damai, tetapi sekarang mengolah uranium hingga di bawah level yang dibutuhkan untuk membuat bom.
Bennett menuduh musuh bebuyutan Israel itu melakukan "pemerasan nuklir" sebagai taktik dalam negosiasi dengan negara-negara utama di Wina yang bertujuan untuk menyelamatkan kesepakatan awal dengan membawa Iran dan AS kembali pada kepatuhan.
Dia ingin Presiden AS, Joe Biden, mengakhiri pembicaraan itu dan mengambil tindakan terhadap Iran, termasuk menjatuhkan sanksi yang lebih ketat dan mempersiapkan kemungkinan serangan militer.
UEA telah menyatakan penentangan terhadap langkah-langkah tersebut dan berusaha untuk mengurangi ketegangan.
"Kita perlu menghindari konflik besar yang akan melibatkan Amerika Serikat atau bahkan negara-negara di kawasan," kata penasihat presiden Anwar Gargash di forum Arab Gulf States Institute yang berbasis di AS Kamis pekan lalu.
"Kepentingan kami adalah berupaya mencegah [konflik] itu semaksimal mungkin". (*)
Tags : Uni Emirat Arab, Dunia Arab, Israel,