Linkungan   2024/11/02 7:28 WIB

Polemik Kelebihan Lahan HGU di PT TPP Sudah Puluhan Tahun, SALAMBA: 'Tak Perlu Dikembalikan, Tapi Bayar Denda Administrasi Rp 1 Triliun Lebih'

Polemik Kelebihan Lahan HGU di PT TPP Sudah Puluhan Tahun, SALAMBA: 'Tak Perlu Dikembalikan, Tapi Bayar Denda Administrasi Rp 1 Triliun Lebih'
Diduga garap lahan ilegal, PT TPP Inhu menuai kritik

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pembicaraan mengenai adanya kelebihan lahan Hak Guna Usaha [HGU] di perusahaan perkebunan masih menjadi sorotan para aktivis lingkungan  di Riau.

Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] menyatakan hingga dekade ini masih ada kebun sawit beroperasi di Riau menggunakan kawasan hutan. Bahkan saat ini ada juga perusahaan perkebunan yang memperluas kebun sawit diluar batasan Hak Guna Usaha [HGU] tanpa izin.

"Sudah kita lakukan pemantauan dilapangan ada perkebunan sawit masih menguasai kawasan hutan dengan mengabaikan peraturan yang melarang kawasan hutan untuk perkebunan," kata Ketua Yayasan SALAMBA, Ir Marganda Simamora M.Si, Jumat (1/11).

Hasil Pansus Monitoring Perizinan Lahan Perkebunan di DPRD Riau sebelumnya bahkan juga menemukan terdapat puluhan ribu hektar hutan yang digarap secara ilegal dalam kawasan hutan oleh 33 perusahaan perkebunan sawit.

Selain itu ditemukan pula perusahaan yang membuka areal kebun di luar batas Hak Guna Usaha (HGU).

"Kita juga melihat hasil penertiban kebun sawit ilegal yang sudah menjadi komitmen Pemprov Riau sepertinya jalan ditempat," sebut Ganda Mora (sebutan nama seharinya).

Sedikitnya ada 60% dari luas wilayah Provinsi Riau merupakan kawasan hutan.

"Tidak menutup kemungkinan luas kawasan hutan di provinsi Riau akan terus berkurang karena perambahan hutan di Riau masih terus berlangsung hingga sekarang." 

"Kita melihat fungsi kawasan hutan setelah diterbitkannya SK 673/Menhut-II/2014 dan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, maka terbitlah SK 878/2014. Dilihat dari luas masing-masing fungsi kawasan hutan sesuai SK 878/2014 hampir keseluruhan mengakomodir SK 673/2014, antara lain Hutan Lindung seluas 234.015 ha, KSA/KPA seluas 633.420 ha, HPT seluas 1.031.600 ha, HP seluas 2.331.891 ha dan HPK seluas 1.268.767 ha," sebutnya.

Dia meminta persoalan HGU tak menjadi dagangan politik yang terjadi di Riau. 

Ia mencontohkan, lahan  HPK di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) seluas 10.385,59 Ha yang di kuasai oleh PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP) merupakan konsesi hutan produksi konversi (HPK) sampai saat ini diperkirakan umur kelapa sawit mencapai 20 tahun atau masa produktif selama 15 tahun.

Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2021 tertang denda administrasi berdasarkan perhitungan adalah 10.385,59 x 15 (tahun produktif) x 22 Juta (penghasilan bersih/ha/pertahun) dengan 40% tutupan lahan citra land sedang, atau sebesar lebih kurang Rp 91.393,192 x 15 tahun produktif x 10.385,59 (luas lahan), kata dia.

Menurutnya, perusahaan itu cukup membayar denda administrasi yang harus dibayarkan oleh PT.TPP adalah Rp. 1.139.006.665.000.

"Kalau berdasarkan UU CK No 11 Tahun 2020 pihak pihak perusahaan group PT Astra tersebut tidak perlu mengembalikan lahan kawasan kepada negara, sepanjang pihak PTP TPP dapat melakukan prosedur pinjam pakai sebagaimana diatur dalam UU CK Nomor 11 Tahun 2020 pasal 110 B dengan persyaratan yang telah di tentukan," terangnya.

"Maka perlu dilaksanakan pelaksanaan pembayaran denda admistrasi tersebut kepada negara dan diperbolehkan menguasai lahan kawasan hutan tersebut sepanjang satu periode," kata dia.

"Yang harus dilakukan oleh pihak perusahaan adalah melaksanakan amanah Undang-undang Cipta Kerja dan melakukan pembayaran denda administrasi tersebut, sebab kalau tidak dilakukan bisa jadi berujung ke persolan hukum terkait kerugian negara atas pajak yang ditimbulkan oleh penguasaan hutan negara," tambahnya.

Sisi lainnya SALAMBA mengaku setuju dengan adanya keterbukaan informasi HGU di Riau, seperti penyelesaian konflik sosial, tumpang-tindih perizinan, dan deforestasi, malah terabaikan.

Ia juga mendukung pengungkapan informasi HGU.

Dia juga mendesak pemerintah membuka semua informasi soal HGU. Tujuannya, agar masyarakat bisa mengetahui siapa saja yang memiliki keistimewaan penguasaan lahan.

Tetapi berdasarkan catatan KPK, ada 1,2 juta hektare kebun sawit di Riau tanpa memiliki izin, dan masuk dalam kawasan hutan. Pemprov Riau diminta untuk menertibkan perkebunan sawit ilegal tersebut.

Selain masyarakat, paling besar lahan tersebut dikuasai perusahaan tanpa izin, dan ditanami kebun kelapa sawit.

Bahkan banyak perusahaan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) selama menguasai hutan. KPK juga mendorong Pemprov Riau untuk menertibkan perkebunan sawit ilegal di Riau.

"Dalam catatan kami ada 1,2 juta hektare perkebunan sawit mengokupasi areal hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain dikuasai masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin," kata Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata.

Penguasaan lahan tanpa izin atau ada indikasi memperluas lahan HGU sebagian yang ditemukan terindikasi berada dalam kawasan hutan produksi konversi (HPK) yang dituding kepada PT Tunggal Perkasa Plantation di Kecamatan Pasir Penyu Kabupaten Indragiri Hulu [Inhu], Riau terindikasi memiliki lahan diluar HGU seluas 10.385,59 ha, tanpa izin pelepasan kawasan kehutanan dari KLHK, dibantah Humas PT Tunggal Perkasa Plantation, Hadi Sukoco soal kabar itu.

Kepada media, Hadi mengatakan jumlah luas hak guna usaha mereka totalnya 14.000 hektare.

Dia mengklaim, tidak ada kelebihan HGU di lahan mereka.

"Luas total 14.000 ha. HGU-nya sudah ada sejak tahun 1913 sebelum sawit. Sudah beberapa kali perpanjangan (HGU)," kata Hadi menambahkan soal lahan seluas 10.385,59 ha di antara lahan HGU, soal itu yang ngerti bagian legal perusahaan jelasnya yang sebelumnya juga dikonfirmasi melalui WhatsAppnya (WA), belum lama ini. (*)

 

Tags : pt tunggal perkasa plantation, polemik kelebihan lahan, hak guna usaha, hgu pt tpp, air molek, inhu, riau, lingkungan, alam,