Nusantara   2023/09/27 15:37 WIB

Polusi Udara PLTU Suralaya Banten jadi Buat Ribuan Nyawa Melayang, kata Riset CREA

 Polusi Udara PLTU Suralaya Banten jadi Buat Ribuan Nyawa Melayang, kata Riset CREA
Rumah-rumah warga di sekitar PLTU Suralaya, Banten. 

BANTEN - Polusi udara yang ditimbulkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Provinsi Banten disebut berkontribusi pada ribuan angka kematian dan kerugian kesehatan hingga belasan triliun rupiah.

Dalam riset terbaru yang dikeluarkan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), polusi PLTU batu bara itu menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun dan menimbulkan kerugian kesehatan hingga Rp14,2 triliun.

Selain berdampak buruk bagi masyarakat di sekitar lokasi - yang mencakup separuh bagian utara Provinsi Banten, termasuk Serang dan Cilegon yang berpenduduk 13 juta jiwa - PLTU itu juga disebut menjadi salah satu penyumbang utama polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

Seorang warga yang rumahnya berjarak sekitar satu kilometer dari PLTU Suralaya mengungkapkan bahwa anaknya menderita penyakit paru-paru, yang diduga akibat dari polusi yang dihasilkan oleh PLTU.

Untuk itulah, organisasi yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia, Trend Asia, mendorong pemerintah Indonesia untuk menutup seluruh unit PLTU Suralaya dan menggantinya dengan sumber energi terbaharukan. 

Namun, temuan itu dibantah oleh PLN Indonesia Power, selalu pengelola delapan unit pembangkit di PLTU Suralaya.

"Sama sekali tidak benar... Klaim tanpa dasar ilmiah," kata Sekretaris Perusahaan PLN Indonesia Power, Agung Siswanto.

Menteri BUMN Erick Thohir, sebelumnya mengaku telah mematikan empat unit pembangkit listrik di PLTU Suralaya.

Menanggapi hal itu, Novita Indri dari Trend Asia menampik pernyataan Erick Thohir. Menurutnya, hingga kini unit-unit yang dinonaktifkan masih terus beroperasi dan menambah tingkat polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

Dari depan rumahnya, Edi Suriana, 44 tahun, menunjuk lima cerobong asap milik PLTU Suralaya yang terlihat jelas menjulang tinggi.

Rumah Edi berada di Kampung Kotak Malang, Kelurahan Suralaya, Cilegon, yang kira-kira berjarak kurang dari dua kilometer dari kompleks PLTU.

Bertepatan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Cilegon, pada Selasa 12 September 2023 kemarin, cerobong itu terlihat tidak mengeluarkan asap.

Duduk di teras rumahnya, Edi lalu menunjukkan beberapa video yang dia rekam beberapa hari lalu. Dalam video itu terlihat dua dari lima cerobong mengeluarkan asap tebal berwarna putih.

“Sekarang ini usia warga tidak kayak orang dulu yang sampai 80 hingga 100 tahun. Sekarang di usia 60-an saja sudah bengek, dan segala macam,” kata Edi pada media, Selasa (12/09).

Dampak dari polusi PLTU Suralaya, disebut Edi, juga diduga dialami oleh anak perempuannya, yang menderita penyakit paru-paru.

Edi mengetahui penyakit itu pada tahun 2019 ketika anaknya yang masih berusia tiga tahun menjalani imunisasi dan memunculkan alergi.

Lalu, kata Edi, petugas posyandu merujuk anaknya ke puskesmas dan kembali dirujuk lagi ke rumah sakit daerah Cilegon.

Mendapat bantuan dari Trend Asia, Edi membawa anaknya juga ke Rumah Sakit Universitas Indonesia.

“Hasilnya, anak saya menderita penyakit paru, disuruh mengkonsumsi obat paru selama enam bulan. Karena debu fly ash [batu bara] ini ternyata komplikasi penyakitnya, bahkan kalau sempat tidak tertolong ujung-ujungnya kematian,” ujarnya.

Edi juga mengetahui setidaknya ada beberapa orang remaja di dekat rumahnya yang mengalami nasib sama dengan anaknya, “Ada empat orang yang mengonsumsi obat seperti anak saya. Ada yang enam bulan bahkan sampai satu tahun,” tambahnya.

Selain penyakit paru, Edi juga mengatakan bahwa tumbuh kembang anaknya itu juga mengalami gangguan.

“Memang debu batu bara ini, kalau masih [berusia] kecil kekebalan tubuh kita masih bagus, nanti kenanya di atas 15 tahun baru terasa,” ujarnya.

Edi juga bercerita adik iparnya yang baru saja menikah meninggal dunia di usia 19 tahun tahun 2010 lalu.

“Saat dirontgen, ternyata gosong paru-parunya. Dia tinggal di bawah [rumah] sini. Saya mau menyalahkan siapa, karena memang di sini cuma ada ini satu-satunya, PLTU Suralaya,” kata Edi.

Edi berharap, jangan sampai keberadaan industri PLTU itu membunuh perlahan masyarakat Suralaya akibat polusi yang ditimbulkan.

“Tidak memberikan manfaat bagi warga sekitar, tapi malah membunuh kami,” tutup Edi.

Edi menyebut di kampungnya terdapat sekitar 3.000 kepala keluarga.

Sejumlah warganet yang berprofesi sebagai dokter kemudian berkomentar bahwa penyakit yang diderita oleh anak Edi adalah penyakit tuberculosis (TBC) yang disebabkan oleh bakteri, bukannya polusi udara.

Dari Edi, didapat bukti keterangan berupa kertas kuning berjudul ‘Kartu Identitas Pasien TBC’ yang memuat nama anaknya yang saat itu berusia dua tahun.

Dalam surat itu, putri Edi disebut mulai berobat dari tanggal 22 Oktober 2019, dan berdasarkan klasifikasi lokasi anatomis adalah paru.

Tuberkulosis atau TBC adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri yang umumnya menyerang paru-paru, dan dapat juga organ tubuh lain.

Dalam surat kuning itu, terlihat catatan tanggal pemeriksaan sebanyak 13 kali dari 22 Oktober 2019 hingga Juni 2020.

Namun, karena merasa tidak menunjukkan pemulihan setelah menjalani pengobatan itu, Edi mengaku lalu membawa putrinya menjalani pemeriksaan kesehatan lebih lanjut di Rumah Sakit Universitas Indonesia.

Rekam medis hasil pemeriksaan di RS UI itu, seperti yang dikutip dari Tempo.co yang merujuk laporan radiologi, menunjukkan indikasi bronkitis.

Bronkitis adalah peradangan pada dinding saluran bronkus, yaitu di pipa yang menyalurkan udara dari tenggorokan menuju paru-paru. Penyebabnya melalui virus, bakteri hingga polusi udara yang kotor. 

Pihak yang mendampingi Edi melakukan pemeriksaan di RS UI mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa tidak ada indikasi TBC pada anak Edi yang disampaikan dokter saat itu, melainkan ke arah indikasi bronkitis.

Kemudian, Edi juga mengaku bahwa dia dan anggota keluarganya yang lain telah menjalani tes kesehatan dan dinyatakan negatif TBC.

Untuk mendapatkan penjelasan terkait apa yang dialami oleh putri Edi, BBC News Indonesia mewawancarai profesor spesialis paru-paru dari Universitas Indonesia Faisal Yunus.

Ketua Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Indonesia itu mengatakan, anak usia di bawah lima tahun, orang lanjut usia, dan mereka yang memiliki penyakit kronis adalah kelompok yang sangat rentan terhadap beragam jenis polusi udara, termasuk asap polusi yang dihasilkan oleh PLTU batu bara.

Mengapa? karena polusi udara mengandung gas kimia berbahaya seperti di antaranya nitrogen monoksida (NO), Nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), dan lainnya, juga partikel-partikel kecil padat seperti PM2.5, Faisal mencontohkan.

“Jika polusi itu dihirup maka akan menurunkan daya tahan saluran pernafasan, terlebih lagi kepada orang dengan imunitas rendah seperti anak-anak, lansia, dan yang memiliki penyakit bawaan,” kata Faisal.

“Lalu, jika dihirup dalam waktu lama, fungsi pernafasan akan terganggu, sel-selnya akan berubah. Sudah terbukti bahwa [menghirup] PM2.5 dalam waktu lama bisa menyebabkan bronkitis hingga kanker saluran nafas.”

Apakah polusi batu bara bisa memicu TBC hingga paru-paru hitam?

Guru Besar Fakultas Kedokteran UI itu menjelaskan, orang-orang yang menghirup polusi dalam jumlah yang besar memiliki potensi terpapar TBC lebih tinggi.

Kenapa? karena sel pertahanan di saluran pernafasan - bernama fagosit - fungsinya telah melemah. Faisal mengatakan, fagosit berkerja ekstra melawan kuman hingga zat berbahaya dari polusi yang dihirup.

“Begitu bakteri TBC masuk, tidak cukup fagositnya untuk melawan. Jadi lebih mudah terinfeksi TBC. Di wilayah yang polusinya tinggi pasti TBC-nya tinggi. Karena kuman TBC itu memang sudah ada, tapi dengan gangguan [polusi] ini, kuman itu cepat lebih mudah berkembang di tubuh seseorang karena daya tahan berkurang,” kata Faisal.

Lalu, apakah mungkin paru-paru menjadi gosong atau menghitam karena polusi udara, khususnya yang ditimbulkan oleh limbah batu bara?

Faisal menjawab, debu batu bara bisa menyebabkan penyakit paru-paru yang bernama pneumoconiosis, yaitu penyakit akibat penumpukan partikel debu (zat-zat logam) dalam paru-paru. 

Untuk debu dari batu baru dikenal dengan coal worker pneumoconiosis. Penyakit ini bisa menjadi sangat berbahaya atau menyebabkan komplikasi, bahkan menimbulkan kematian, jika debu batu bara mengandung silika atau silicon dioksida (Si02).

Selain itu, debu batu bara sangat berbahaya jika dihirup oleh orang yang memiliki infeksi penyakit paru seperti TBC, sehingga dapat menimbulkan komplikasi.

“Ketiga jika kadar debut batu bara demikian tinggi. Keempat, kalau daya tahan tubuh yang menghirup rendah, seperti balita, lansia dan orang dengan penyakit kronis seperti diabetes, HIV, gagal ginjal dan lainnya,” kata Faisal Yunus.

“Tanda-tandanya dilihat dari dahak hitam hingga paru-parunya menghitam karena batu bara warnanya hitam. Jadi orang-orang yang terkomplikasi itu menimbulkan gejala dahak hitam, batuk-batuk, nafas pendek, gagal nafas dan bisa berakhir dengan kematian,” tambahnya. 

Sebelumnya Dinas Kesehatan Kota Cilegon mencatat ada 17.382 warga di wilayahnya yang mengalami infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dari Januari 2023-Juni 2023, di mana salah satu lokasi terbanyak berada di Puskesmas Pulomerak sebanyak 3.274 kasus, tempat putri Edi sempat dirawat.

"Yang pneumoniae di bawah lima tahun ada 1.671 orang dan di atas lima tahun ada 2.207, sementara yang bukan pneumoniae di bawah lima tahun ada 8.475 orang, dan di atas lima tahun ada 5.029 orang," kata Kepala Bidang Pemenuhan Upaya Kesehatan Perorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kota Cilegon, dr. Febri Naldo, Rabu (23/08), dikutip dari Tribunnews.com.

Terkait tingginya angka ISPA itu, Faisal mengatakan, dia dan timnya yang disponsori oleh WHO pernah melakukan penelitian di tiga provinsi, yaitu Banten, Jakarta dan Lampung terkait dengan jumlah ISPA yang begitu banyak.

“Jadi kami ambil data dari puskesmas di tiga provinsi itu, ternyata hasilnya ISPA-nya banyak, hanya sedikit yang asma, TBC, PPOK, dan penyakit lainnya. Kemudian dokternya kami latih. Setelah itu saat dievaluasi angka ISPA-nya menurun, dan ternyata jumlah penyakit lain meningkat,” kata Faisal.

“Jadi ISPA itu seperti keranjang sampah… Karena tidak mengerti, dokter terbatas, sarana kurang, pasien banyak akhirnya gampangnya ISPA saja, padahal penyakit lain,” tambahnya.

Riset CREA: Apa dampak buruk polusi PLTU Suralaya?

Dalam penelitian CREA terbaru disebutkan bahwa kawasan PLTU Suralaya di Banten merupakan daerah yang sangat tercemar.

Dengan menggunakan metode Base Scenario (mengukur konsentrasi gas buang polutan untuk unit yang ada- existing), rata-rata konsentrasi partikulat PM2.5 dari hasil pembakaran batu bara di PLTU Suralaya sebesar 1,0 μg m-3.

Particulate Matter (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer).

Pencemaran udara yang ditimbulkan PLTU itu disebut membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat dan juga perekonomian di separuh bagian utara Provinsi Banten, meliputi Serang dan Cilegon yang berpenduduk 13 juta jiwa.

“Termasuk hilangnya 1.470 nyawa setiap tahunnya dan kerugian kesehatan yang menelan biaya hingga Rp14,2 triliun,” dikutip dari laporan CREA.

Angka kematian dan kerugian akan semakin meningkat menjadi 1.640 jiwa dan Rp15,8 triliun jika seluruh PLTU itu menyeburkan gas polutan secara maksimal (diukur dengan metode Base_Max). 

Selain dampak buruk yang diciptakan, CREA juga mengukur upaya pengendalian polusi udara yang bisa dilakukan.

Salah satunya adalah penggunaan teknologi terbaik yang tersedia (Best Available Technologies - BAT) yang dipasang untuk mereduksi polusi udara di kompleks PLTU di Suralaya.

Hasilnya, CREA menemukan bahwa pembangkit listrik ini dapat menurunkan rata-rata konsentrasi PM2.5 menjadi kurang dari 0,2 μg m-3.

“Dapat menyelamatkan hingga 1.527 nyawa setiap tahunnya. Penerapan BAT juga dapat mencegah hingga 1.642-1.792 kunjungan ke unit gawat darurat, 932-1.164 kasus asma baru pada anak, 853-942 kelahiran prematur, 561-615 kelahiran dengan berat badan lahir kurang.”

“Dan, 680.000-746.000 ketidakhadiran kerja setiap tahunnya. Semua ini dapat berarti adanya potensi keuntungan ekonomi sebesar Rp14,7 triliun,” tulis dalam siaran pers CREA.

Pembakaran batu bara pada PLTU batu bara seperti di kompleks PLTU Suralaya menimbulkan polusi udara yang terdiri dari partikel halus (PM2.5), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozon (O3), yang kesemuanya dapat menyebar dalam jarak jauh dan menyebabkan penyakit pada manusia.

Apakah polusi PLTU Suralaya mencemari Jakarta dan sekitarnya?

Hasil penelitian CREA juga menunjukkan bahwa polusi yang ditimbulkan PLTU Suralaya tidak hanya mencemari sebagian wilayah Banten, tapi juga berdampak ke provinsi tetangganya.

PLTU berkapasitas enam gigawatt ini disebut berkontribusi menghasilkan konsentrasi PM2.5 sebesar 0,2 sampai 0,4 μg m-3 (rata-rata tahunan) di wilayah Jakarta.

Novita Indri dari Trend Asia mengatakan, temuan CREA ini semakin menegaskan bahwa PLTU Suralaya memiliki korelasi kuat sebagai salah satu sumber utama polusi di Jakarta dan sekitarnya, selain yang disumbang dari internal Jakarta itu sendiri.

“Polusi udara itu lintas batas dan jarak Jakarta dan Suralaya sekitar 80-an kilometer. Ketika ada arah angin bisa menyapu polusi PLTU itu ke wilayah Jabodetabek,” kata Novita.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan, sumber polusi udara di Jakarta dan sekitarnya terbesar berasal dari kendaraan yaitu 44%, lalu diikuti PLTU sebesar 34%, dan sumber lainnya.

Salah satu pembangkit terbesar dan berada dekat dengan Jakarta adalah PLTU Suralaya. Di sana terdapat delapan unit, dan dua kini disebut tengah dalam pembangunan.

PLTU Suralaya pertama kali dibangun sekitar tahun 1984, dan jumlahnya terus bertambah hingga saat ini.

PLN Indonesia Power selaku pengelola delapan unit pembangkit di PLTU Suralaya membantah temuan dari CREA itu.

"Sama sekali tidak benar... Klaim tanpa dasar ilmiah," kata Sekretaris Perusahaan PLN Indonesia Power Agung Siswanto.

Agung merujuk pada sebuah temuan yang dilakukan oleh Guru Besar Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Puji Lestari, mengenai kajian dampak kegiatan PLTU PT PLN Indonesia Power terhadap potensi polutan lintas batas dengan model dispersi pada tanggal 1-22 Agustus 2023.

Hasilnya, disebut bahwa PLTU Suralaya sudah memenuhi aturan yang ditetapkan pemerintah, terutama dalam mengelola emisi yang dihasilkan.

"Kesimpulan yang kami dapat dalam kajian tersebut antara lain, terdapat transboundary Air Polutant (polutan Lintas Batas) terutama pada musim penghujan namun pada konsentrasi yang relatif kecil pada Jakarta, dimana pada musim kemarau tidak terjadi transboundary ke arah Jakarta, konsentrasi polutan pada bulan Agustus 2023 cenderung kecil dan tidak terjadi transboundary ke arah Jakarta baik untuk polutan PM2.5; NOx dan SO2," jelas Puji dikutip dari situs Kementerian ESDM.

Agung kembali melanjutkan, Indonesia Power telah menggunakan peralatan yang disebut canggih. Di antaranya seperti sistem electrostatic precipitators (ESP), yaitu pengendalian abu hasil proses pembakaran dengan metode memberi muatan listrik.

Kemudian adalah teknologi continuous emission monitoring system (CEMS), teknologi yang digunakan untuk memantau emisi pembangkit secara terus menerus.

"Semua data real time. Dipastikan baku mutu emisi jauh di bawah ambang persyaratan dan tidak merusak lingkungan," kata Agung.
Pemerintah menutup empat unit PLTU Suralaya - ‘Itu tidak ada’

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk mematikan unit I hingga IV PLTU Suralaya, sebagai upaya untuk menekan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

Namun, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, penutupan unit yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 400 megawatt dan dioperasikan oleh anak usaha PT PLN itu tidak mengurangi polusi di Jakarta

"Okelah PLTU sekarang disalahkan, kita matikan Suralaya, I, II, III, IV. Tetapi di data terakhir, tidak mengurangi polusi ternyata. Tapi tetap kita matikan, karena ini komitmen bersama untuk menjaga polusi," kata Erick, saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (31/08).

Namun, hingga kini, menurut pantauan Trend Asia, seperti diungkapkan oleh Novita, unit-unit itu masih terus beroperasi.

“Itu tidak ada, sampai sekarang kalau ke Suralaya, unit-unit itu masih aktif. Jadi apa yang disampaikan perlu dipertanyakan, nonaktif dari sisi mananya? PLTU itu masih ngebul-ngebul kok,” kata Novita.

Apa solusinya? 

Dalam laporannya, CREA menyampaikan beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi polusi udara dari PLTU batu bara, seperti di Suralaya.

Pertama adalah mengganti PLTU batu bara dengan sumber energi terbarukan.

Upaya selanjutnya dengan mewajibkan penerapan langkah-langkah pengendalian polusi udara dan menetapkan batas yang ambisius pada konsentrasi gas buang polutan, serta memastikan penerapannya.

Terakhir yaitu mewajibkan publikasi emisi industri dengan dokumentasi dan metodologi yang transparan.

"Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang lebih serius untuk mengatasi emisi dari PLTU batu bara. Sangat penting untuk menegakkan kepatuhan terhadap standar, menerapkan teknologi terbaik yang tersedia (BAT), dan pada akhirnya menggantinya dengan sumber energi terbarukan sesegera mungkin," kata Jamie Kelly, Analis Mutu Udara di CREA.

Senada, Novita mengatakan, pemerintah harus segera menganti PLTU Suralaya dan juga pembangkit batu bara lainnya dengan sumber energi terbarukan.

“PLTU-PLTU batu bara itu harus ditutup. Bukan hanya usia sudah tua, tapi juga karena dampak kerusakan yang ditimbulkan, apalagi pemerintah terus menggembar-gemborkan net zero emisi,” katanya. (*)

Tags : Energi terbarukan, Polusi, Energi, Indonesia, Polusi udara, Kesehatan, Lingkungan,