"PPN naik jadi 12% mulai 2025 membuat akan berdampak pada daya beli masyarakat"
engototan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan memberlakukan pengampunan pajak pada 2025 memperlihatkan bahwa "pemerintah sedang putus asa mengejar penerimaan negara dan melihat kelas pekerja sebagai warga yang masih bisa dibikin menderita" demi membiayai visi-misi Presiden Prabowo Subianto, kata ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.
Sebelumnya Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengeklaim adanya kemungkinan penundaan kenaikan PPN tahun depan.
Tapi belakangan klaim itu dibantah Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang mengatakan belum ada pembahasan soal penundaan penerapan PPN 12%.
Di media sosial, petisi berisi desakan kepada pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut telah menembus 15.000 lebih tanda tangan.
Di sisi lain, ajakan boikot PPN dengan menerapkan gaya hidup hemat alias frugal living mulai diterapkan beberapa orang.
Apakah gerakan boikot ini bakal berpengaruh? Adakah cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara selain menaikkan PPN?
'Saya tidak perlu berkontribusi ke pemerintah'
Ajakan untuk memboikot bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan mengurangi belanja atau bahkan tidak berbelanja di pasar modern atau pusat perbelanjaan menggema di media sosial X sejak bulan lalu.
Seruan itu dilontarkan sebagai bentuk protes atas rencana pemerintah yang akan memberlakukan kenaikan PPN jadi 12% pada awal tahun depan.
Sejumlah warganet menyatakan setuju dengan ajakan itu dan menyatakan bakal berbelanja di pasar tradisional agar tak kena pajak.
Herita, seorang warga Jakarta, adalah salah satunya.
Dia terang-terangan bilang "merasa dongkol karena selalu membayar pajak tapi tidak merasakan hasilnya".
"Berita pejabat korupsi selalu ada kan? Jadi saya kecewa, marah dan memilih sebisa mungkin enggak perlu berkontribusi ke pemerintah," tuturnya pada wartawan, Kamis (29/11).
Perempuan 40 tahun ini mengaku akan berkomitmen untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung-warung kecil dekat rumahnya ketimbang pergi ke supermarket.
Toh, katanya, soal barang-barang yang ada di warung tradisional sama lengkapnya dan harganya tak jauh berbeda.
"Saya juga bukan orang yang banding-bandingin harga, makanya saya enggak mau kasih duit ke pemerintah... Mendingan kasih ke UMKM dibandingkan bayar pajak."
Untuk menerapkan gaya hidup hemat atau frugal living seperti yang diserukan warganet di media sosial belakangan ini, menurut dia tak terlalu berat.
Karena hampir separuh hidupnya sudah menjalani itu.
Ia mengaku telah terbiasa membeli pakaian jika bajunya sudah kelihatan lusuh atau baru akan nongkrong kalau diajak teman.
"Saya dari dulu memang bukan orang yang selalu ikuti tren, saya beli sesuatu karena butuh."
"Tapi karena ditambah ada isu PPN naik, ya makin semangat bergaya hidup seperti ini."
"Apalagi selalu ada berita korupsi, yang akhirnya jadi mikir uang pajak kita sebenarnya untuk apa sih?"
Seperti banyak disuarakan warganet, Herita juga tidak setuju dengan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan.
Menurutnya, pemerintah seperti tidak peka pada kondisi ekonomi orang sepertinya dan warga kelas menengah lain.
Katanya, kalau pemerintah ngotot menaikkan pajak, maka dia sebagai warga negara juga "masih punya pilihan untuk menolak kesewenang-wenangan pemerintah" dengan cara menolak membayar PPN.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan pada dasarnya "sangat sulit" bagi masyarakat untuk menghindari produk-produk yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ini karena PPN dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi barang-barang yang sehari-hari dikonsumsi.
"Jadi walaupun belanja di warung tradisional atau UMKM terbebas dari PPN, tapi banyak dari sistem penyangganya tidak lepas dari PPN," ujar Andri, Kamis (28/11).
"Hampir pasti seluruh produk yang kita konsumsi sulit terlepas dari PPN."
Namun demikian, katanya, gerakan boikot yang kian kencang diserukan masyarakat tidak bisa dianggap hal remeh.
Sebab kalau hal itu dijalankan dan masyarakat tidak berbelanja di pasar ritel sehingga penjualan turun antara 5% - 10%, pendapatan negara sudah berkurang sangat signifikan.
"Menaikkan [pajak] 1% tetapi aktivitas ekonomi turun 10%, jadi lebih rugi dibandingkan menaikkan yang 1% tadi."
Mengapa pemerintah menaikkan PPN?
Warga memilih pakaian saat berbelanja di Mall Blok M Square
Pada berbagai kesempatan, pemerintah beralasan menaikkan PPN menjadi 12% tahun depan demi menambah pemasukan negara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bilang PPN punya peran vital dalam mendanai berbagai program Presiden Prabowo Subianto dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Hitungannya, kata Andri Perdana, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% memiliki potensi menambah penerimaan negara sekitar Rp75 triliun.
Kalau berdasarkan pengamatan Bright Institute, realisasi penerimaan negara hingga Oktober 2024 terdapat indikasi penerimaan PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) tidak mencapai target.
Lembaga riset ekonomi tersebut memperkirakan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tahun ini hanya di Rp1.060 triliun atau 93% dari target APBN 2024.
Sedangkan untuk PPN dan PpnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) diperkirakan hanya mencapai Rp763 triliun atau 94% dari target.
"Oleh karena itu kami memprediksi penerimaan pajak untuk tahun 2024 hanya akan naik 1,33% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini lebih rendah dari target pemerintah di 3,0% dari outlook Nota Keuangan 2025 dan target awal APBN 2024 yang mencapai 9,0%," jelas Andri Perdana.
Rendahnya penerimaan pajak itu membuat pemerintah perlu mencapai peningkatan penerimaan perpajakan setidaknya 11,48% di tahun depan demi mencapai target APBN 2025.
Itu kenapa, menurut dia, pemerintah bersikukuh menaikkan PPN dan kembali menerapkan tax amnesty jilid III.
Untuk menggolkan rencana itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty sudah masuk daftar prioritas prolegnas dan besar kemungkinan lolos sehingga bisa berlaku pada 2025.
Tax amnesty merupakan pengampunan pajak yang ditawarkan pemerintah kepada wajib pajak perorangan dan badan yang mengemplang pajak dengan cara membayar uang tebusan.
"Walaupun tax amnesty tidak pernah mencapai target, tapi lumayan bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan defisit ke depan."
Bright Institute memperkirakan dari program ini pemerintah berpotensi menambah penerimaan sekitar Rp80 triliun.
Ia menyebut dengan pemerintah memakai instrumen tax amnesty dan PPN untuk menggenjot penerimaan negara, itu artinya negara sedang dalam kondisi "putus asa" lantaran "dua kebijakan tersebut sangatlah kontroversial".
Di satu sisi pemerintah memeras "keringat" orang-orang kelas pekerja, tapi di lain sisi malah mengampuni orang kaya yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak.
"Desperate [putus asa] pemerintah juga kelihatan ketika Sri Mulyani memangkas 50% anggaran perjalanan dinas, itu tanda-tanda negara mencoba mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk tahun depan," imbuhnya.
Memajaki orang kaya?
Pengunjung berbelanja di pusat perbelanjaan di Jakarta, Jumat (22/11/2024). Pemerintah menjamin daya beli masyarakat tak akan terdampak oleh kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen menjadi 12 persen yang akan dimulai 1 Januari 2025.
Andri Perdana mengatakan sebetulnya ada cara lain yang lebih bijaksana untuk menambah pendapatan negara, selain "memajaki masyarakat kelas pekerja yang kondisinya saat ini pas-pasan".
Yakni memajaki orang kaya dengan mekanisme pajak kekayaan.
Negara, katanya, bisa menerapkan skema tarif progresif 1% - 2%, semakin besar nilai kekayaan bersih yang dimiliki seseorang, semakin tinggi tarif pajaknya.
"[Pemerintah] cukup ambil 1% aja per tahun untuk 50 orang terkaya Indonesia bisa kok dapat Rp80 triliun per tahun dan itu lebih tinggi dari kenaikan PPN," jelasnya.
Untuk diketahui, pasca-pandemi Covid-19, saat orang miskin bertambah banyak dan kelas menengah kian terjepit, orang-orang kaya di Indonesia semakin kaya.
Majalah bisnis Forbes bahkan mencatat Indonesia menempati urutan ke-20 dengan jumlah miliarder terbanyak di dunia pada 2023.
Total kekayaan bersih kolektif para taipan yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia mencatatkan rekor kenaikan sebesar 40% pada 2023.
Jika digabung, total nilai kekayaan bersih mereka kini menyentuh Rp3.924 triliun atau melampaui total nilai APBN Indonesia tahun 2024 yang sebesar Rp3.325,1 triliun.
Tapi, kata Andri Perdana, pemerintah sampai sekarang belum berani memajaki orang kaya.
"Karena pemerintah tidak memiliki bargaining power [daya tawar] politik terhadap mereka yang punya modal sangat banyak dan tidak ada approach [mendekati] untuk memajaki mereka."
Selain pakai pajak kekayaan, pemerintah juga sebetulnya masih bisa mengkaji ulang proyek-proyek yang memakan anggaran besar, misalnya Ibu Kota Nusantara (IKN) atau makan bergizi gratis.
Hal lain meniadakan insensif-insentif fiskal yang selama ini diberikan kepada industri yang masuk dalam proyek strategis nasional.
"Mereka selama ini sangat banyak mendapatkan tax holiday dan insentif fiskal lainnya, padahal kalau kita lihat proyek smelter nikel sangat sedikit dampaknya pada penyerapan tenaa kerja dibandingkan dengan biaya kerusakan lingkungan."
"Percuma pemerintah bangga-banggakan ekspor tinggi, kalau kita tidak dapat satu rupiah pun dari sana."
"Jadi intinya, kenapa pemerintah tidak bisa melihat sumber-sumber perpajakan dari mereka yang paling banyak memiliki uang?"
Apa jadinya kalau PPN tetap diberlakukan?
"Tentu saja mereka yang pendapatannya pas-pasan makin sulit meningkatkan kesejahteraannya," kata Andri Perdana.
Ia menjelaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memang terlihat proporsional lantaran semua orang dikenakan besaran pajak yang sama.
Tetapi, sesungguhnya tidak demikian.
Orang kelas pekerja yang pendapatannya pas-pasan bakal lebih berat kondisinya karena pengeluaran dan pendapatannya tak lagi berimbang.
Untuk bertahan hidup, pilihan mereka bisa jadi menambah utang.
"Tapi bandingkan dengan mereka yang pendapatannya Rp100 juta, pengeluaran mereka kan tidak akan sebesar itu juga, ada selisih yang bisa ditabung," imbuhnya.
"Itu kenapa PPN yang terlihat proporsional, tapi sebenarnya sangat regresif bagi masyarakat kelas pekerja."
Terhadap industri padat karya, dampak yang terjadi ketika daya beli rendah, penjualan menurun, dan produksi berkurang, maka bakal terjadi penutupan pabrik yang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja pegawai.
"PHK sangat-sangat bisa terjadi, terutama bagi penjualan yang menargetkan masyarakat kelas pekerja yang pendapatan pas-pasan."
Kalau situasi demikian yang terjadi maka pertumbuhan ekonomi bakal stagnan bahkan menurut sejumlah pengamat ekonomi justru bisa turun di angka 2% seperti saat pandemi 2020-2021.
Sementara Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi di masanya bisa mencapai 8%.
Apa keputusan final pemerintah soal PPN 12%?
Pada Rabu (27/11), Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengeklaim kebijakan PPN menjadi 12% akan diundur dari rencana awalnya berlaku pada 1 Januari 2025.
Penundaan pemberlakuan PPN 12% dilakukan karena pemerintah, katanya, ingin memberikan bantuan sosial atau stimulus terlebih dahulu kepada masyarakat kelas menengah dan bawah.
"Ya hampir pasti diundur, biar dahulu jalan tadi yang ini [stimulus]. Ya kira-kira begitulah," ucap Luhut usai mencoblos Pilkada Jakarta di Jakarta Selatan pada Rabu (27/11), seperti dilansir detik.com.
Pengamat ekonomi, Andri Perdana, mengaku ragu pernyataan Luhut itu sebagai keputusan final pemerintah.
Menurutnya omongan itu hanya menunjukkan bahwa pemerintah sudah menangkap keresahan masyarakat dan kalangan industri yang protes jika kebijakan itu diterapkan.
"Tapi apa yang dikatakan Pak Luhut belum bisa jadi jaminan saat ini," sebut Andri Perdana.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, bilang "belum bisa memberikan tanggapan."
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, menyebut "pihaknya senantiasa akan mengikuti keputusan pemerintah."
Terbaru, Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan belum ada pembahasan soal penundaan penerapan PPN 12%.
"Belum. Belum, belum dibahas," jawab Airlangga ketika dikonfirmasi langsung di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/11) seperti dilansir detik.com.
Dan saat dikonfirmasi lebih lanjut apakah akan ada rapat khusus dengan Presiden Prabowo Subianto membahas masalah kenaikan PPN 12%, Airlangga juga mengatakan sejauh ini memang belum ada agenda tersebut.
"Belum dibahas," jawabnya singkat.
Apa dampaknya pada daya beli masyarakat?
Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 memicu reaksi negatif di media sosial.
Sejumlah warga menilai kenaikan PPN akan mempengaruhi daya beli dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan.
Saat mengumumkan kepastian kenaikan PPN dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan keputusan ini sudah dipertimbangkan “demi APBN” dan “bukan membabi buta”.
Meski begitu, sejumlah ekonom mengkhawatirkan “efek turunan” dari rencana pemerintah itu di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun.
Adapun pengamat pajak menilai reaksi negatif publik menandai “masyarakat tidak percaya” kepada pemerintah kalau uang pajak yang mereka bayarkan “akan kembali ke masyarakat” dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
Apa reaksi warga soal kenaikan PPN?
Augie Reyandha Giuliano, 33 tahun, seorang pengusaha penyelenggara acara alias event organizer, menjadi salah satu warganet yang terlibat perbincangan soal kenaikan PPN di jejaring X (sebelumnya Twitter).
Pemilik Reynur Event Organizer yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, itu menyebut kenaikan PPN dapat berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan—yang akhirnya bisa berujung ke gaji karyawan.
“[Misalnya] anggaran per acara itu Rp2 miliar dan sudah termasuk pajak. Lalu acara diselenggarakan per akhir pekan alias empat kali sebulan. PPN jadi 12% itu membuat selisih pendapatan dalam satu bulan mencapai Rp 64 juta,” ujar Augie, Jumat (15/11).
Uang sebesar itu, kata Augie, bisa untuk menggaji delapan sampai 12 orang karyawan.
Perhitungan kasar Augie itu padahal belum mempertimbangkan kemungkinan kenaikan biaya produksi per acara.
Walaupun bidang jasa untuk seni dan hiburan termasuk yang dikecualikan dari PPN, Augie menyebut klien event organizer-nya seringkali berasal dari instansi pemerintah.
“[Sehingga] kalau transaksi sama mereka, harus PKP [Pengusaha Kena Pajak]. Jadi, kena PPN dan PPh [Pajak penghasilan]. PPh artis juga besar buat acara, dan [kadang dibebankan] event organizer,” ujarnya.
Augie mengakui perspektifnya ini berasal dari kacamata pebisnis.
Dia menyebut menurunnya pendapatan kantor akan berimbas ke banyak hal, termasuk penurunan fasilitas dan tunjangan atau bonus para karyawan.
“Bahkan bisa jadi saya memilih memutuskan hubungan kerja agar karyawan yang bertahan tidak perlu turun pendapatannya,” tutur Augie.
Di Kerobokan, Bali, penyedia jasa makanan sehat Nimas Utama juga khawatir akan kenaikan PPN. Dia yakin usahanya akan terkena dampak, meski bisnisnya termasuk yang dikecualikan dari skema pajak itu.
“Pada akhirnya [kenaikan PPN] akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Setelah pandemi Covid pun, kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli sesuatu sudah jauh menurun. Pastinya itu akan merambah ke kemampuan kita untuk menjual barang,” tutur Nimas secara terpisah.
Apa itu PPN dan bagaimana cara menghitungnya?
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan jenis pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Meskipun beban pajak secara langsung ditanggung oleh konsumen akhir, namun kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tetap berada di pundak PKP.
Dalam sistem PPN, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berkewajiban memungut PPN dari konsumen, menyetorkannya ke negara, dan melaporkan jumlah PPN yang telah dipungut.
Cara menghitung PPN adalah mengalikan harga barang atau jasa dengan tarif PPN yang berlaku.
Saat ini, tarif PPN di Indonesia adalah 11%.
Apabila konsumen membeli pulsa atau kartu perdana di minimarket dengan harga Rp100.000, maka PPN yang harus dibayarkan konsumen itu adalah Rp100.000 x 11% = Rp11.000.
Harga pulsa atau kartu perdana itu pun menjadi Rp111.000 setelah PPN.
Apakah semua barang dan jasa dikenai PPN?
Barang kebutuhan pokok seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, tidak dikenai PPN.
Tidak semua barang atau jasa dikenai PPN.
Menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), berikut adalah barang dan jasa yang tidak dikenai PPN:
Patut dicatat bahwa sebagian barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini masih tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.
Kenapa PPN naik di Januari 2025?
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar 10%.
Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum 5% dan maksimum 10%.
Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun Undang-Undang tersebut mengalami revisi pada tahun 2009.
Ketika menjabat presiden, Joko Widodo melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya, pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%.
Ketika PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, sambutan negatif dari masyarakat juga muncul.
Para pengamat ekonomi menyebut kenaikan PPN menjadi 11% itu tidak tepat di tengah tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Pemerintah, pada saat itu, lalu memberikan bantuan sosial untuk pengusaha kecil untuk merespons kenaikan tersebut.
Galih Pambudi, 39 tahun, adalah pedagang kecil asal Yogyakarta yang sempat menerima bantuan sosial dua tahun lalu. Menghadapi kenaikan PPN lagi tahun depan, Galih mengaku dilema.
“Belakangan dagangan mulai sepi, tidak bisa membayangkan kalau awal tahun PPN jadi naik, semua juga akan ikut naik [harganya],” ujarnya.
Meski muncul kritik dari analis dan pengusaha, pemerintah tak goyah menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025, seperti yang ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (14/11) lalu.
Dilansir kantor berita Antara, Sri Mulyani menyatakan rencana kenaikan PPN bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kebijakan PPN 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Menkeu menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, sekaligus mampu merespons berbagai krisis.
“Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN,” ujarnya.
Di sisi lain, Sri Mulyani menambahkan Kementerian Keuangan akan memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait PPN ini.
“Kami perlu menyiapkan agar [PPN 12%] bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” ungkapnya.
Rencana tarif PPN naik menjadi 12% per 2025 sebelumnya sudah diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Maret 2024.
Dilansir Antara, Airlangga yang saat itu menjadi Menteri Koordinator pada pemerintahan Presiden Jokowi, menyebut untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.
Airlangga kembali menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di kabinet Presiden Prabowo Subianto.
Efek turunan kenaikan PPN ‘hanya 1%’
Kerisauan yang melanda Augie di Bandung, Nimas di Bali, dan Galih di Yogyakarta mengilustrasikan bagaimana kenaikan PPN sebesar “cuma 1%” dapat memiliki dampak yang lebih besar.
“Walaupun 1% tampak sederhana, dampaknya cukup signifikan ketika dilihat dari berbagai sisi, seperti dunia usaha, kelas menengah, dan potensi efek berantai pada kebijakan pajak lainnya,” ujar Ariyo DP Irhamna, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Jumat (15/11).
Ariyo mengatakan perusahaan bisa saja melakukan pengurangan biaya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK). Opsi ini sama seperti yang disebutkan oleh Augie, pemilik usaha event organizer di Bandung.
“Kenaikan harga produk akibat peningkatan PPN akan meningkatkan biaya perusahaan serta menurunkan daya beli masyarakat, sehingga dari sisi penawaran dan permintaan akan berkurang, yang pada akhirnya berdampak pada penjualan dan profitabilitas perusahaan,” ujar Ariyo.
Sementara Luhur Bima, peneliti dari lembaga pengkajian ekonomi SMERU, mengingatkan kenaikan PPN ini tentu akan ditanggung salah satu pihak dalam sebuah transaksi usaha.
“Jika yang menanggung [PPN] penjual atau pengusaha. maka akan mengurangi margin profit mereka dan dapat berdampak ke karyawan-karyawannya,” ujar Luhur.
“Sementara jika ditanggung oleh pembeli, maka akan terjadi inflasi. Harga-harga barang dan jasa meningkat dan tentunya menyebabkan biaya hidup masyarakat meningkat.”
Pada awal Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024.
Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Inflasi bulan Oktober 2024—seiring pergantian pemerintahan—sebesar 0,08% mengakhiri tren deflasi yang terjadi sejak Mei 2024, menurut data BPS.
Luhur berpendapat bahwa masyarakat—khususnya kelas menengah—berpotensi merasakan dampak negatif dari kenaikan harga-harga barang yang merupakan efek turunan dari kenaikan PPN ini.
“Masyarakat menengah merupakan kelompok paling rentan terdampak karena umumnya bantuan-bantuan pemerintah akan memprioritaskan kelompok miskin,” ujar Luhur.
“Sejauh ini belum banyak instrumen pemerintah dalam menopang kesejahteraan kelompok menengah yang sangat rentan jatuh menjadi kelompok miskin ketika harga barang-barang meningkat akibat kenaikan PPN ini.”
Ariyo menilai masyarakat kemungkinan akan lebih selektif dalam membeli barang dan jasa, khususnya barang-barang non-esensial.
“Padahal, deflasi yang berturut terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang anjlok,” ujarnya.
Mengapa muncul kerisauan dari masyarakat akan kenaikan PPN?
Fajry Akbar, pengamat pajak sekaligus manajer riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menilai reaksi negatif dari masyarakat muncul akibat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
“Masyarakat kita tidak percaya kalau uang pajak yang mereka bayarkan akan kembali ke mereka,” ujar Fajry, Jumat (15/11).
Padahal, menurut dia, kenaikan tarif PPN ke 12% juga dapat meningkatkan penerimaan negara yang dapat disalurkan untuk program masyarakat menengah-bawah, baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
“Saya yakin masyarakat akan menerima kalau adanya kenaikan tarif ini selaras dengan perbaikan pelayanan publik, alias kembali ke masyarakat,” tuturnya.
Fajry sendiri menilai dampak dari kenaikan PPN ini tidak sepenuhnya negatif. Akan tetapi, banyak ketakutan yang tidak berdasar dari masyarakat yang memunculkan dampak negatif tersebut.
Dia menjelaskan hasil studi dari kenaikan PPN menjadi 11% di tahun 2022 hanya berpengaruh terhadap kenaikan harga barang dan jasa sebesar 0,4% secara umum.
Dengan kata lain, papar Fajry, pemerintah berhasil mengelola dampak kenaikan tarif meski di tengah kenaikan harga komoditas.
“Ini disebabkan terdapat beberapa kebijakan yang dapat meredam kenaikan harga agar tidak setinggi kenaikan PPN yang diterapkan,” jelas Fajry.
“Di sistem PPN kita masih banyak ‘lubangnya’, baik itu fasilitas pengecualian atau pembebasan PPN maupun PKP PPN,” ujarnya.
Salah satunya, Fajry mencontohkan, pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun tidak dikenakan PPN sesuai dengan ambang batas PPN.
Akan tetapi, ketakutan-ketakutan dari masyarakat membuat orang menjadi menahan konsumsi, sementara pengusaha menahan ekspansi usaha mereka.
“[Ketakutan] ini yang berbahaya,” ujar Fajry.
“Masyarakat tidak percaya, kalau tambahan penerimaan yang dihasilkan akan kembali ke mereka. Ada kecurigaan kalau itu cuma dinikmati pejabat dan sebagainya.”
Daya beli masyarakat Indonesia telah menurun dan belum pulih sejak Covid-19.
Di sisi lain, Fajry menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga atau inflasi sebagai imbas dari naiknya PPN.
Dia mencontohkan bagaimana pada tahun 2022, terdapat koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia dalam meredam dampak kenaikan PPN terhadap inflasi.
“Kalau kenaikan harga, secara historis bisa pemerintah kelola,” ujarnya.
Selain itu, Fajry menekankan bahwa pemerintah perlu memperbaiki dari sisi pengeluaran publik.
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pastinya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang besar. Dari tambahan penerimaan tersebut, pemerintah perlu memastikan itu disalurkan ke masyarakat kelas menengah-bawah,” kata Fajry,
“Baik itu dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.”
Fajry juga menegaskan peran pemerintah untuk mengelola dampak dari kenaikan PPN.
“Tujuannya agar dampak dari kenaikan PPN terhadap inflasi tidak terlalu tinggi, agar dia tidak terlalu membebani masyarakat,” paparnya.
Bagaimana tanggapan Ditjen Pajak?
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Dwi Astuti, mengatakan bahwa penyesuaian tarif PPN “berdiri sendiri” dan “tidak terkait dengan penyesuaian tarif pajak lainnya”.
Dwi Astuti juga menekankan pemerintah dan DPR sudah mengkaji dampak dari PPN 12% ini.
“Sebagai sebuah produk perundang-undangan, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% merupakan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR yang tentu saja telah melalui kajian yang mendalam,” ujar Dwi pada media, Jumat (15/11) petang.
Direktorat Jenderal Pajak, imbuhnya, telah dan terus melaksanakan sosialisasi kepada wajib pajak terkait PPN 12% melalui berbagai kanal – antara lain melalui sosialisasi seminar dan media sosial. (*)
Tags : Keuangan pribadi, Ekonomi, Politik, Prabowo Subianto, Indonesia, Kemiskinan, Pengangguran, Biaya hidup, Bisnis,