LINGKUNGAN - Masalah legalitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan perlu segera dituntaskan.
Saat ini, dari 3,3 juta hektar luas tutupan sawit di kawasan hutan, 2,2 juta hektar belum memiliki SK pelepasan kawasan hutan.
Pemerintah menargetkan persoalan legalitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan bisa segera diselesaikan.
Industri kelapa sawit diminta menyelesaikan syarat administrasi yang dibutuhkan. Upaya ini diharapkan dapat mendukung tata kelola sawit yang berkelanjutan.
Berdasarkan Peta Kawasan Hutan 2021, luas tutupan sawit di kawasan hutan adalah 3,3 juta hektar.
Dari luasan tersebut, 237.000 hektar sudah memiliki surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan sekitar 913.000 hektar masih dalam proses penetapan SK. Namun, 2,2 juta hektar belum memiliki SK dan belum berproses untuk mendapatkan SK pelepasan kawasan hutan tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono dalam kegiatan Sosialisasi Penyelesaian Sawit dalam Kawasan Hutan, mengatakan, banyak permasalahan yang masih ditemui pada industri sawit.
Berbagai upaya pun harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, mulai dari hulu hingga ke hilir.
”Untuk saat ini, satgas (satuan tugas) sawit memiliki prioritas untuk menyelesaikan permasalahan perizinan dari sisi hulu. Hal ini juga akan fokus untuk menyelesaikan masalah lahan sawit dalam kawasan hutan sesuai amanat Undang-Undang Cipta Kerja,” tuturnya di Jakarta, Senin (17/7).
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang disebutkan, penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan dibagi menjadi dua kluster tipologi sesuai dengan Pasal 110A dan Pasal 110B.
Dalam pasal tersebut telah ditentukan pula syarat perizinan usaha perkebunan kelapa sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan.
Seluruh industri perkebunan kelapa sawit diwajibkan untuk melakukan laporan mandiri (self reporting) dengan menyerahkan sejumlah data, antara lain izin usaha perkebunan (IUP), izin lokasi, hak guna usaha (HGU), dan peta areal kebun.
Selain itu, persetujuan pelepasan kawasan hutan akan diberikan setelah persyaratan komitmen serta persyaratan administrasi dan teknis telah diselesaikan oleh industri sawit.
Persyaratan tersebut harus diselesaikan selambatnya pada 2 November 2023.
Persetujuan pelepasan kawasan hutan akan diberikan setelah persyaratan komitmen serta persyaratan administrasi dan teknis telah diselesaikan oleh industri sawit.
”Kami harap pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang kini berada dalam kawasan hutan bisa segera memenuhi seluruh syarat yang telah diatur agar seluruh aspek perizinan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit menjadi tuntas secara menyeluruh,” kata Bambang.
Sementera Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyampaikan, sesuai UU Cipta Kerja, penyelesaian perkebunan kelapa sawit akan dilakukan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) serta ultimum remedium yang mengedepankan sanksi administratif.
Namun, apabila dalam tenggat yang ditentukan sanksi administratif tidak dapat dipenuhi, sanksi penegakan hukum berikutnya akan diberlakukan.
Sanksi itu dapat berupa pencabutan izin serta paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan.
Denda administratif akan dihitung berdasarkan luas perkebunan di kawasan hutan, jangka waktu pelanggaran, seta tarif denda.
Tarif denda akan dihitung sesuai keuntungan bersih per tahun yang didapatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan persentase tarif denda tutupan lahan.
Pada perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan produksi, persetujuan penggunaan kawasan hutan akan dilakukan satu daur 25 tahun sejak masa tanam sawit.
Akan tetapi, perkebunan yang berada di kawasan hutan lindung ataupun konservasi diwajibkan untuk mengembalikan kawasan hutan kepada negara kecuali pada kegiatan strategis dan tidak terelakkan di kawasan hutan lindung dan konservasi.
Merujuk pada data sawit hasil rekonsiliasi nasional 2019, luas kebun sawit dalam kawasan hutan konservasi sebesar 91.074 hektar dan luas kebun sawit di kawasan hutan lindung sebesar 115.119 hektar.
Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Agustina Arumsari menuturkan, industri kelapa sawit diharapkan menyerahkan data yang benar terkait perkebunan sawit di kawasan hutan.
Verifikasi akan dilakukan atas data yang telah diberikan. Batas waktu penyerahan syarat pun tidak boleh melebihi waktu yang ditentukan, yakni 2 November 2023.
”Kami harapkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit ini benar-benar memanfaatkan waktu yang sudah sangat sempit ini untuk memenuhi ketentuan hukum dan konsekuensi yang harus dipatuhi. Kita dorong pertumbuhan ekonomi, namun jangan lupa untuk menjaga lingkungan hidup,” ujarnya.
Praktik buruk tata kelola sawit
Berbagai kebijakan disusun untuk memuluskan aktivitas ilegal menjadi legal hingga tampak seperti menyokong kejahatan lingkungan.
"Praktik buruk pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya perkebunan sawit, semakin nyata. Berbagai kebijakan disusun untuk memuluskan serangkaian aktivitas yang ilegal menjadi legal hingga tampak seperti menyokong kejahatan lingkungan," kata Policy Brief menyimpulkan dalam rilinya "Fakta di Balik Pemutihan Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan” hasil kerja bersama Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Pantau Gambut, dan Greenpeace Indonesia dalam rilisnya pada Rabu (25/10).
Dalam policy brief tersebut dipaparkan bahwa agenda pemutihan kebun kelapa sawit, yang terlanjur ditanam di dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare (ha) di seluruh Indonesia, menunjukkan betapa minimnya komitmen negara untuk “melindungi lingkungan hidup, memberantas kejahatan lingkungan hidup, memberantas korupsi, dan menempatkan keberpihakannya kepada rakyat.”
Kebijakan tersebut bahkan, tulis mereka, melindungi kejahatan lingkungan berulang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Menurut Greenpeace dan TheTreeMap (2019) terdapat total luas sekitar 3.118.804 ha kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan di Indonesia.
Setengahnya merupakan milik lebih dari 600 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang masing-masing mengusahakan lebih dari 10 ha di dalam kawasan hutan.
Sawit tersebut ditanam di atas hutan yang berfungsi sebagai hutan konservasi dan lindung dengan luas masing-masing 90.200 ha dan 146.871 ha.
Data tersebut turut mengidentifikasi 25 besar grup anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan.
Sepuluh grup teratas yang menanam sawit di kawasan hutan adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.
“Perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah –termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi– karena buruknya tata kelola oleh pemerintah, tidak adanya transparansi, dan lemahnya penegakan hukum,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
“Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan. Kebijakan yang menurutnya jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan,” sambung Fitra.
Memperparah kebakaran hutan
Pada konteks ekologi, menurut tim peneliti, agenda pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) akan semakin memperparah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) beserta dampak ekologis yang menyertainya.
Pantau Gambut mengidentifikasi bahwa dari total 3,3 juta ha luas perkebunan sawit yang hendak diputihkan pemerintah, sebesar 407.267,537 ha berada di area KHG.
Sementara 72% perkebunan sawit di KHG yang akan diputihkan itu berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk) dan 27% berkategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).
Lebih jauh, 91,64% pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya, tidak melakukan restorasi yang diwajibkan itu.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, menyatakan bahwa dari 32 perusahaan sawit yang beroperasi di area KHG, hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya, sedangkan 27 lainnya juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
“Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko Karhutla, khususnya pada ekosistem gambut,” kata Wahyu.
Masalah lainnya, Pantau Gambut menemukan 11 korporasi dalam skema pemutihan yang area usahanya pernah mengalami kebakaran (burn area) saat terjadi karhutla 2015-2020. Best Agro Plantation adalah yang terluas dengan burn area mencapai 3.605,876 ha, disusul Soechi (2.085,382 ha), dan Citra Borneo (1.704,521 ha).
TuK Indonesia mengidentifikasi 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektare di Indonesia.
Beberapa penguasa lahan besar adalah Sinar Mas (14%), Salim (8%), Jardine Matheson (7%), Wilmar (6%), dan Surya Dumai Grup (5%).
Grup-grup tersebut, disokong oleh pembiayaan besar dari lembaga jasa keuangan. Sinar Mas mendapat corporate loan dari Banco de Sabadell dan ABN AMRO sebesar AS$17,5 juta (Rp247,9 miliar). Selain itu, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Sinar Mas turut membiayai Sinar Mas.
Grup lainnya, Wilmar, dibiayai oleh OCBC melalui skema revolving credit facility sebesar AS$24,6 juta (Rp348,5 miliar) pada 2018.
Bahkan lembaga jasa keuangan penyedia dana pensiun di Malaysia, Employees Provident Fund, membiayai Genting Grup, yang turut diuntungkan dalam agenda pemutihan, hingga sebesar AAS$110,1 juta (Rp1,7 triliun).
TuK Indonesia juga mengidentifikasi beberapa perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pemutihan adalah mereka yang berulangkali terlibat dalam kejahatan lingkungan berupa kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi: PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro); PT Globalindo Agung Lestari (Genting Group); PT Karya Luhur Sejati (Best Agro); PT Rezeki Alam Semesta Raya (Soechi Group); dan PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro).
Sialnya, menurut TuK Indonesia, realisasi penerimaan pajak dari sektor sawit yang legal justru jauh di bawah potensi penerimaannya.
Mereka memberi contoh realisasi pajak Kalimantan Tengah yang mencapai Rp2,3 triliun, jauh dari potensi sebesar Rp6,4 triliun.
Klaim pemerintah bahwa pemutihan akan meningkatkan penerimaan daerah, menurut TuK Indonesia, menjadi tidak relevan dan hanya memfasilitasi keberlanjutan kejahatan lingkungan.
“Pemutihan ini, jelas, adalah bentuk kejahatan oleh negara. Ini seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan, dan penting untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang bahkan terlibat dalam kejahatan lingkungan (karhutla),” kata Abdul Haris, Pengkampanye TuK Indonesia.
“Adanya temuan bahwa perusahaan-perusahaan yang menanam sawit dalam kawasan hutan pun merupakan grup perusahaan anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) mendukung statement kami sebelumnya bahwa memang, sertifikasi RSPO tidak kredibel”. (*)
Tags : gambut, Greenpeace Indonesia, Pantau Gambut, sawitTuK Indonesia, perkebunan kelapa sawit, kawasan hutan, aktual, sawit dalam kawsan hutan,