News   2025/09/19 9:32 WIB

Praktisi Hukum Larshen Yunus Nilai Hasil Audit Berstatus WTP dari BPK Rentan Terjadi Suap

Praktisi Hukum Larshen Yunus Nilai Hasil Audit Berstatus WTP dari BPK Rentan Terjadi Suap
Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana

PEKANBARU - Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana menyoroti soal hasil audit berstatus wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Transparansi pihak BPK dalam menetapkan hasil audit berstatus WTP masih dipertanyakan."

"Kami melihat selama ini audit oleh BPK itu sifatnya acak dan hanya melihat kesesuaian perencanaan keuangan dengan laporan yang sifatnya administratif. Sementara kita tahu korupsi itu selalu di luar yang administratif. Kalau sampai administratif itu korup, itu disebut penipuan. Itu biasanya terdeteksi," kata Ketum Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) ini, Kamis (18/9).

Menurutnya yang terjadi selama ini yang ada di Perwakilan BPK RI di Riau seringkali terlihat, lalu untuk apa adanya BPKP Provinsi, "sepertinya kinerja dua badan itu jadi mubajir," sebutnya.

HMPP Satya Wicaksana menilai untuk memperoleh hasil audit berstatus WTP dari Perwakilan BPK RI yang ada di Riau itu seringkali terjadi suap oleh bersama dengan kepala daerah, kepala instansi tertentu atau sekretariat kantor tertentu.

Menurut pantauannya selama ini, kepala daerah, kepala instansi tertentu atau sekretariat kantor tertentu seringkali menyuap untuk memperoleh hasil audit berstatus WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Ia mencontohkan, penahanan seorang kepala daerah dalam kasus dugaan suap terhadap pegawai BPK. dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena adanya dugaan perintah kepada anak buah untuk menyuap pegawai BPK untuk memperoleh hasil audit laporan keuangan berpredikat WTP.

"Jadi praktik suap agar mendapat hasil pemeriksaan berstatus WTP dari BPK memang tidak wajar, tetapi Kepala daerah atau kepala instansi yang menyuap meyakini opini WTP yang mereka terima akan mendapat simpati dari masyarakat," kata dia.

Menurut Larshen BPK sendiri sudah menyatakan hasil audit berstatus WTP tidak ada kaitannya dengan suatu daerah atau instansi bebas dari kasus korupsi.

Undang-undang BPK sudah mengamanatkan jika terjadi kelebihan atau kekurangan bayar, kepala daerah punya waktu 2x30 hari untuk menyelesaikan laporan keuangannya.

"Jadi ini bukan korupsi, tapi hanya administratif saja. Ketika terjadi penyimpangan atau suap, barulah itu disebut korupsi," sebutnya.

Sementara, kepala daerah atau kepala instansi berambisi mendapatkan hasil audit berstatus WTP dari BPK untuk memperoleh insentif dari Kementerian Keuangan bagi daerah atau instansi yang mereka pimpin.

"Besaran insentif ini dalam persentase dari dana alokasi khusus. Dana insentif ini biasanya digunakan oleh kepala daerah untuk memoles citranya dengan membangun hal-hal di luar perencanaan atau untuk tambahan tunjangan pegawai."

"Tetapi agar praktik suap terhadap pegawai atau pimpinan BPK tidak marak terjadi, perlu menjaga integritas dan menegakkan kode etik internal. Selain itu, perlu pengawasan publik terhadap kinerja BPK. Juga perlu menjaga integritas kepada daerah dan memperkuat fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap kinerja kepala daerah," terangnya.

Dia meminta BPK tidak sekadar mengaudit laporan keuangan saja, tapi juga mengaudit kinerja daerah atau instansi untuk melihat apakah laporan keuangan mereka sesuai atau tidak dengan kinerjanya itu.

Larshen menyarankan agar Kementerian Keuangan tidak asal mentransfer dana insentif bagi daerah yang memperoleh hasil audit berstatus wajar dari BPK.

Dia mengatakan perlu sebuah forum melibatkan kementerian terkait untuk mengevaluasi apakah hasil audit itu memang sesuai dengan fakta di lapangan.

Larshen menilai sertifikat auditor BPK, terutama Sertifikasi CSFA, bukanlah "ajang bisnis" melainkan alat untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pemeriksa keuangan negara serta meningkatkan kualitas tata kelola keuangan negara melalui peningkatan mutu pemeriksaan.

"Sertifikasi itu diperlukan agar pemeriksa memiliki kemampuan teknis dan pemahaman yang memadai, serta untuk memberi jaminan atas kompetensi dalam melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara."

"Itu untuk menilai dan memastikan kemampuan teknis serta subtansi pemeriksa terhadap pemahaman keuangan negara, proses bisnis, dan sistem pengendalian internal pada entitas yang diperiksa," katanya. 

Sebelumnya, dalam jumpa pers, Ketua KPK Firli Bahuri membenarkan praktik suap seperti itu dilakukan agar kepala daerah kembali mendapat laporan keuangan berpredikat WTP dari BPK.

Pihak KPK turut prihatin karena sampai hari ini masih ada penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. KPK telah melakukan berbagai upaya, baik dilakukan dengan upaya pendidikan masyarakat, supaya sadar untuk tidak melakukan korupsi.

Firli menegaskan KPK tidak pernah berhenti untuk melakukan perbaikan sistem untuk menghilangkan celah dan peluang korupsi.

Meski begitu, KPK akan terus menindak karena upaya pendidikan terhadap masyarakat dan upaya pencegahan tidak akan bisa menghilangkan praktik-praktik korupsi sampai seratus persen.

Dia mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk terus membantu KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. (*)

Tags : badan pemeriksa keuangan, bpk, hasil audit berstatus wtp, kantor hukum mediator pendampingan publik satya wicaksana, larshen yunus, direktur hmpp, praktisi hukum sorot hasil audit berstatus wtp, News ,