JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyerukan semua negara mendapat "akses yang setara" terhadap vaksin Covid-19 dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada Rabu (23/09).
Dalam pidato perdananya pada sidang Majelis Umum PBB sejak menjabat sebagai presiden pada 2014, Jokowi mengatakan vaksin akan menjadi "game changer" dalam perang melawan pandemi. "Kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa semua negara mendapatkan akses setara terhadap vaksin yang aman dan dengan harga terjangkau," ujarnya dalam pidato yang berlangsung secara virtual. "No country should be left behind," katanya dalam bahasa Inggris dirilis BBC News Indonesia.
Ucapan Presiden Jokowi tersebut klop dengan pandangan pakar hubungan internasional yang menilai sidang Majelis Umum PBB merupakan momentum Indonesia untuk menyerukan keadilan distribusi vaksin Covid-19, saat negara-negara miskin sedang dilanda kekhawatiran tak mendapat jatah vaksin tersebut. Sementara, negara maju seperti Inggris bersama WHO dan lembaga internasional lainnya sedang menggodok rencana akses berkeadilan terhadap vaksin.
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi?
Selain menyerukan akses setara terhadap vaksin, Presiden Jokowi menyoroti rivalitas antarnegara saat pandemi. "Di saat seharusnya kita semua bersatu padu, bekerja sama melawan pandemi, yang justru kita lihat adalah masih terjadinya perpecahan dan rivalitas yang semakin menajam. Kita seharusnya bersatu padu, selalu menggunakan pendekatan win-win pada hubungan antarnegara yang saling menguntungkan," kata Jokowi.
Sebelumnya, dalam forum yang sama, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyalahkan China atas penyebaran virus corona. "Kita harus meminta pertanggungjawaban negara yang melepaskan wabah ini ke dunia - China," cetus Trump.
Di sisi lain, Presiden China, Xi Jinping, mengatakan negaranya "tidak punya niat memulai Perang Dingin dengan negara manapun". Lebih lanjut, Presiden Jokowi mengutarakan kekhawatirannya jika rivalitas antarnegara terus terjadi saat pandemi masih melanda. "Jika perpecahan dan rivalitas terus terjadi, maka saya khawatir pijakan bagi stabilitas dan perdamaian yang lestari akan goyah atau bahkan akan sirna."
Indonesia, menurutnya, akan memainkan peran sebagai "bridge builder" dan bagian dari solusi. Sebelum Presiden Jokowi berpidato, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, Indonesia akan menyampaikan pesan penting, antara lain mengenai "memajukan kerja sama internasional dan solidaritas global bagi penanganan pandemi, baik di sektor kesehatan maupun dampak sosial-ekonomi dari pandemi tersebut".
"Mendorong peningkatan kinerja, serta peran PBB kemudian menyerukan pentingnya seluruh negara terus memperkuat PBB dan multilateralisme," sebut Menlu Retno dalam keterangan kepada media.
Retno menambahkan, pertemuan internasional yang dihelat 22-29 September 2020 akan menghasilkan deklarasi peringatan 75 tahun PBB.
Mengapa Presiden Jokowi baru muncul di sidang PBB?
Sejak terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia pada 2014 lalu, Jokowi selalu mendelegasikan sidang majelis umum PBB kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Melalui keterangan kepada media, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat momentum sidang umum PBB 2019 mengatakan agenda Presiden Jokowi sangat padat. Dia mengatakan, pekerjaan presiden cukup menyita waktu, "jadi menugaskan Wapres," katanya.
Apa yang menjadi kekhawatiran negara-negara di tengah pandemi?
Pengamat Hubungan Internasional, Prof Dewi Fortuna Anwar, mengatakan kekhawatiran seluruh negara di tengah pandemi adalah mengamankan dosis vaksin untuk kebutuhan dalam negeri. "Mengingat keperluan yang begitu besar, dan barang kali antara supply dan demand itu belum bisa terimbangi dengan baik, ada kekhawatiran negara-negara miskin tidak kebagian," katanya, Selasa (22/09).
Seberapa penting keberadaan Presiden Jokowi dalam diplomasi vaksin Covid-19?
Menurut Prof Dewi, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan distribusi vaksin yang adil. Secara historis, Indonesia dianggap sebagai negara 'middle-power' yang bisa merangkul negara-negara dengan ekonomi rendah di Asia dan Afrika untuk menyerukan keadilan vaksin. "Ini Indonesia memiliki tanggung jawab moral, dari dulu Indonesia sudah menempatkan dirinya sebagai penyambung lidah negara-negara berkembang," katanya.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, Dinna Prapto Raharja, mengatakan jangkauan keadilan vaksin juga perlu dilakukan dengan kerja sama pemerintahan negara dengan perusahaan. "Di sini artinya, kita, perlu ada beberapa aspek tambahan, bahwa agenda tersebut bisa didengar oleh pengusaha itu sendiri, karena pemilik lisensi itu di perusahaan," katanya.
Bagaimana negara-negara maju merencanakan keadilan vaksin?
Saat ini dunia sedang berlomba untuk menemukan vaksin Covid-19. Rusia mengklaim uji coba vaksin Sputnik-V memicu tanda-tanda respons imun pada tubuh relawan, dan berencana menggelar vaksinasi massal Oktober mendatang. China menyebut telah membuat vaksin yang efektif. Mereka menentukan, pengguna awal produksi vaksin itu adalah personel angkatan bersenjata China.
Namun, tidak satu pun dari dua vaksin tadi masuk daftar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang vaksin yang sudah melampui tiga uji coba klinis. Tahap itu merupakan uji coba luas terhadap manusia. Sementara itu, produsen obat asal Inggris, AstraZeneca, pemegang lisensi untuk vaksin yang dikembangkan Oxford University, menggenjot kapasitas produksi.
Mereka juga sepakat memasok 100 juta dosis vaksin untuk Inggris dan sekitar dua miliar dosis untuk orang di seluruh dunia. Saat kunjungannya ke Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, mengatakan, "Inggris akan menjadi tuan rumah acara vaksin virtual bersama dengan PBB, WHO, dan Afrika Selatan," katanya melalui siaran pers.
Kegiatan ini sebagai kelanjutan dari kesuksesan KTT Vaksin Global yang diselenggarakan oleh Inggris pada bulan Juni. "Saat kami secara kolektif berhasil mengumpulkan US$8,8 miliar, acara ini akan menyatukan negara-negara dan para mitra internasional untuk berkomitmen dalam memastikan akses global yang adil terhadap vaksin, perawatan, dan pengujian COVID-19 baru," kata Dominic Raab.
Saat ini WHO bekerja sama dengan kelompok penanggulangan pandemi, Cepi, dan perkumpulan negara untuk isu vaksin, yaitu Gavi. Target koalisi itu adalah menyeimbangkan kekuatan di tengah perebutan vaksin. Setidaknya 80 negara kaya, termasuk Inggris telah menggagas rencana vaksin global yang mereka beri nama Covax. Tujuan program itu adalah mengumpulkan Rp29 triliun sebelum tahun 2021. "Kami percaya cara terbaik untuk mengatasi corona adalah dengan bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional," kata juru bicara Kepala Bidang Komunikasi Kedutaan Inggris, John Nickell.
Uang itu diklaim akan digunakan untuk membeli dan mendistribusikan obat-obatan secara adil. Dengan mengumpulkan sumber daya di Covax, anggota koalisi berharap mampu menjamin 92 negara berekonomi rendah di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan, untuk mendapatkan akses terhadap vaksin virus corona. (*)
Tags : Presiden Joko Widodo, Pidato Perdana, Sidang Majelis Umum PBB,