
JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar kepala daerah tak lagi dipilih oleh rakyat melainkan oleh legislatif, sebab pilkada serentak diklaim menguras anggaran, mencapai Rp37 triliun pada Pilkada 2024 lalu. Namun, sejumlah pengamat menolak usul ini karena dianggap berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Mengapa kekhawatiran ini muncul?
Pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, memandang pemilihan kepala daerah (pilkada) tak langsung akan menjadi langkah mundur dan berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
"Ini membuat rakyat menjadi tidak berdaya, tidak punya hak pilih. Mengerikan sekali, hak rakyat dikebiri, tidak lagi bisa cawe-cawe," kata Firman Noor pada media, Senin (16/12).
Senada, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, mengatakan bahwa pilkada tak langsung tak serta merta menghilangkan politik uang, namun "justru bergeser ke politik transaksional".
"Yang dulu kepala daerah berhadapan dengan rakyat di daerahnya. Tapi sekarang mereka fokus anggota dewan," katanya.
Ketimbang mengubah sistem itu, pengajar pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai yang perlu dilakukan adalah memperbaiki permasalahan yang terjadi dengan cara "memberantas politik uangnya dan menghemat pengeluaran pilkada. Tak perlu ada lagi pemborosan."
Pilkada langsung mulai diberlaku pada 2005. Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Sulawesi Utara menjadi pelopornya.
Sebelumnya, di era Orde Baru hingga masa awal reformasi, pilkada dilakukan secara tak langsung. Masing-masing kepala daerah dipilih oleh dewan perwakilan daerah (DPRD).
Bagaimana pendapat masyarakat yang merasakan dua sistem pemilu ini?
Kami menjumpai Agus Derajat, 58 tahun, yang sedang menonton tayangan ulang saat Presiden Prabowo menggulirkan wacana pilkada kembali dipilih DPRD di HUT ke-60 Partai Golkar, di Sentul, Jawa Barat.
Agus tidak setuju dengan usulan itu. Alasannya, karena Agus dan warga lain tak akan mengenal lagi calon pemimpin di daerahnya.
"Demokrasi juga akan mundur, terus pembangunan hanya berpihak terhadap orang-orang yang wakil dewannya banyak, kan mereka yang memilih," ungkap Agus, seorang petani yang tinggal di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Senin (16/12).
"Kalau daerah yang tidak ada wakil rakyatnya bagaimana?" lanjutnya.
Agus mengenang saat proses pemilihan Bupati Bandung melalui proses pilkada tidak langsung.
Saat itu, warga, termasuk dirinya, tidak mengenal siapa yang bakal jadi kepala daerah, bahkan dari pemilihan hingga proses pergantian kepemimpinan pun, warga tidak tahu.
"Tidak tahu kapan pergantiannya, siapa, dari partai mana, bagaimana profil kepala daerah tersebut."
"Kami miskin informasi karena tidak dilibatkan dalam proses demokrasinya," tutur petani kopi itu.
Dampaknya, saat pembangunan di daerahnya tidak berjalan, imbuh Agus, warga tidak tahu harus protes ke siapa lantaran tidak mengenal pemimpinnya.
Berbeda ketika proses pemilihan bupati menggunakan sistem pilkada langsung.
"Kalau pilkada langsung, masyarakat bisa bertemu di waktu mereka kampanye di daerah," beber Agus.
"Kalau zaman dulu, mana ada orang kecil seperti saya sebagai petani tahu nomor telepon bupati atau ring satu bupati," lanjutnya.
Dalam pembuatan kebijakan, tambah Agus, pilkada langsung juga disebut lebih transparan karena diawasi oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa
Menurut Agus, rakyat bisa menagih langsung realisasi program kerja calon kepala daerah saat terpilih.
"Kelihatan pembangunan pun maju pesat karena janji mereka ditagih langsung oleh rakyat," ujar Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Tarumajaya ini.
"Dulu pembangunan melempem di Kertasari, tapi setelah ada pilkada langsung itu signifikan perubahannya, baik infrastruktur, jalan, dan sekolah."
"Jadi kalau menurut saya, lebih baik pilkada langsung aja. Warga juga jadi belajar politik," pungkasnya.
Di level provinsi, pilkada langsung pertama kali diterapkan di Jawa Barat pada 2008, yang diikuti tiga pasangan calon.
Di level Kota Bandung, pilkada langsung dimulai pada 2018, menempatkan Ridwan Kamil yang bukan kader partai politik menduduki kursi Bandung Satu.
"Figur-figur yang tidak berasal dari elite partai, bukan petahana, tapi kalau punya kemampuan individual, tawaran visi, misi, program yang baik, itu kemudian bisa terpilih menjadi kepala daerah," kata pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan, Senin (16/12).
Kondisi itu, imbuh Firman, akan sulit terjadi bila pilkada dipilih oleh DPRD di mana hampir bisa dipastikan proses pilkada hanya akan menjadi hajatan para elit, sedangkan warga hanya jadi penonton.
Menurut Firman, pilkada langsung sesuai dengan karakter masyarakat Jawa Barat yang heterogen. Dengan 27 kabupaten kota dan jumlah pemilih hampir 36 juta, Jawa Barat memiliki karakter pemilih perkotaan dan pedesaan.
Di Priangan Barat dan Timur menunjukkan karakter warga pemilih Muslim. Di wilayah Bandung Raya, terdapat pemilih dengan karater perkotaan, sementara Cirebon dan Karawang punya karakter tersendiri.
Berbeda dengan Agus, seorang warga Makassar, Sulawesi Selatan, Nasruddin, menyambut baik usulan Prabowo itu.
"Saya kira lebih bagus [pemilu tidak langsung] zaman Soeharto, aman juga, tidak terlalu banyak anggaran keluar," kata pria berusia 59 tahun ini, Senin (16/12).
Nasruddin pun mengenang saat proses pilkada zaman Soeharto, dia melihat tidak ada orang mempermasalahkan hasilnya, bahkan proses pemilihan pun tidak menimbulkan gangguan keamanan.
"Kalau begini [sekarang] yang tidak terima [kalah] suaranya bagaimana, maksudnya ada juga yang tidak merasa puas, kalah dia ribut."
"Saya kira bagus begitu [pemilu tak langsung] kayaknya," imbuhnya.
Selain itu, menurutnya, para calon kepala daerah kini lebih banyak janji-janji sewaktu berkampanye, namun setelah terpilih mereka hilang.
Ditambah lagi, dia menemukan politik uang yang terang-terangan terjadi dalam pilkada belakangan. Padahal. pada era Soeharto, dia tidak menemukan hal itu.
"Itu saya bilang, negara tidak akan makmur karena orang dipilih begitu karena uangnya banyak keluar. Saat jadi kepala daerah dia cari uangnya lagi untuk kembali," tambah Nasruddin.
Senada, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto memandang pilkada langsung menyebabkan politik uang masif terjadi.
"Penelitian terakhir saya membandingkan itu, ternyata daerah-daerah yang politik uangnya tinggi itu tingkat partisipasinya juga ikut tinggi," ungkap Ali.
"Di daerah-daerah yang serangan fajar kurang, politik uangnya kurang, tingkat partisipasinya kurang, di Makassar karena politik uangnya tertarget misalnya," ungkap Ali.
Terlepas dari dua pandangan warga yang berbeda itu, pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, memandang usulan pilkada tak langsung merupakan langkah mundur dan berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
"Ini membuat rakyat menjadi tidak berdaya, tidak punya hak pilih. Mengerikan sekali, hak rakyat dikebiri, tidak lagi bisa cawe-cawe," ujar Firman.
"Fenomena misalnya di Bali dan Jakarta [koalisi besar kalah] itu tidak akan terjadi ketika rakyat ingin melawan penguasa," ujarnya.
Menurutnya, hasil Pilkada Jakarta dan Bali pada 2024 lalu menunjukkan calon yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang gemuk gagal memenangkan calonnya.
Selain itu, Firman menunjukkan adanya fenomena split ticket voting, yaitu pilihan politik pemilih yang berbeda dalam satu waktu, seperti di pilpres, pileg, maupun pilkada.
"Belum tentu hasil pilihan DPRD itu sejalan dengan kepentingan masyarakat."
Salah satu kritik yang utama oleh Firman adalah logika para pengusung perubahan sistem pilkada itu sebagai hal yang "kocak dan salah alamat".
Alasan perubahan karena masifnya politik uang, kata Firman, adalah omong kosong.
"Politik uang masalahnya dimana? Di perilakunya kan. Obatnya itu kerahkan aparat untuk basmi politik uang, bukan malah jadi ke DPRD, tidak nyambung, salah alamat," tegas Firman.
Demikian halnya, lanjut Firman, persoalan banjir di Jakarta yang dijawab dengan pindah ibu kota disebutnya sebagai "omong kosong dan dicari-cari".
Jika biaya pilkada begitu besar, menurutnya, yang perlu dilakukan adalah dengan penghematan dan efisiensi.
"Jangan boros. Selain itu, ini adalah pilihan dari mengikut sertakan rakyat dalam proses politik, kalau mau murah meriah otoriter saja," katanya.
Firman melihat jika pilkada tak langsung direalisasikan maka demokrasi Indonesia akan menuju semi otoriter dan politik hanya milik kelompok elit berkuasa.
Namun, Menteri Hukum yang juga kader Gerindra, Supratman Andi Agtas, membantah pilkada tak langsung sebagai kemunduran demokrasi, karena menurutnya hal itu tergantung pada kebutuhan.
"Sekali lagi bahwa pilkada kita kan bukan pilkada yang kita harapkan yang prosedural semata, tetapi substansinya," kata Supratman, Jumat (13/12).
"Kalau kemudian ternyata itu menimbulkan efek atau gejolak di masyarakat, kemudian terjadi inefisiensi, uang negara habis dan ternyata juga hasilnya tidak maksimal, tentu perlu kajian yang lebih dalam," ujarnya kemudian.
Selain itu, menurut Supratman, wacana pilkada tak langsung juga terkait dengan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada, serta aspek sosial dan kerawanan pilkada.
Apa plus minus pilkada tak langsung?
Analis politik, Cecep Hidayat, bilang korban utama dari pilkada tak langsung adalah masyarakat. Mereka akan kehilangan hak untuk memilih kepala daerah karena bergeser ke DPRD.
"Ini akhirnya melemahkan semangat demokrasi dan juga bahkan akuntabilitas kepala daerah ke masyarakat," kata Cecep.
Sistem ini juga, kata Cecep, tak lantas menghilangkan politik uang.
"Justru bergeser potensi transaksional terjadi DPRD," kata dia.
"Yang dulu kepala daerah mungkin berhadapan dengan para pemilih di daerahnya, sekarang mereka hanya fokus ke anggota dewan," ujar Cecep.
Kelemahan selanjutnya, tambah Titi, adalah terjadi keterputusan aspirasi antara harapan masyarakat dengan keputusan elite politik.
"Masyarakat tidak bisa mengkoreksi keputusan elite yang tidak sejalan dengan masyarakat karena hanya jadi penonton."
Firman dari BRIN menilai dengan praktek politik saat ini maka pilkada tak langsung hanya akan menguntungkan elit-elit politik berkuasa yang tergabung dalam koalisi besar.
"Artinya, tinggal bancakan saja. Anggota koalisi ada berapa partai. Nanti mereka bagi-bagi jatah, partai ini dapat jatah di wilayah ini dan itu," kata Firman.
Akhirnya pemilihan kepala daerah hanya jadi sandiwara, dagelan saja."
Dari pada mengubah sistem itu, pengajar pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini, menilai yang perlu dilakukan adalah memperbaiki permasalahan yang terjadi dengan cara "memberantas politik uangnya dan menghemat pengeluaran pilkada. Tak perlu ada lagi pemborosan."
Apa alasan Prabowo usul pilkada tak langsung?
Presiden Prabowo dan para pendukungnya memiliki alasan sendiri mengapa pilkada langsung menjadi penting.
Saat memberikan sambutan di HUT Partai Golkar, Kamis (12/12), Prabowo menyebut sistem pemilihan langsung perlu diperbaiki karena menguras banyak biaya.
"Menurut saya kita harus perbaiki sistem kita, dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal, dari wajah yang menang pun saya lihat lesu juga, yang menang lesu, apalagi yang kalah," kata Prabowo.
Tak hanya itu, Prabowo mencontohkan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan India yang hanya memilih DPRD, dan kemudian anggota legislatif itu yang memilih gubernur serta bupati.
"Efisien enggak keluar duit, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, uang yang bisa perbaiki irigasi," ujar Prabowo.
"Ini sebetulnya banyak ketua umum ini sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga, bagaimana?" katanya kemudian.
Usulan Prabowo ini disambut positif oleh para pembantunya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan biaya pilkada langsung sangatlah besar. Selain itu, pilkada langsung juga bisa memicu kekerasan di sejumlah daerah.
"Ya, saya sependapat tentunya, kita melihat sendiri lah bagaimana besarnya biaya untuk pilkada," ujar Tito di Jakarta, Senin (16/12).
Menurut Tito, pemilihan oleh DPRD juga merupakan proses yang demokratis.
"Dari dulu saya mengatakan pilkada asimetris salah satunya melalui DPRD kan. Demokrasi juga bisa diterjemahkan demokrasi langsung dan demokrasi dengan perwakilan. Kalau DPRD demokrasi juga, tapi demokrasi perwakilan," jelasnya.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, juga menilai pilkada langsung menguras banyak biaya.
"Ide untuk mengevaluasi pemilihan langsung di level pilkada itu saya kira, saya mendukung, PKB juga mendukung."
"Soal mekanismenya, apakah langsung DPRD, apakah semua DPRD, mari kita diskusikan bersama," ujar Muhaimin, Jumat (13/12).
Di luar pemerintahan, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, juga setuju jika sistem pemilu perlu dievaluasi. Dia menilai proses pemilu "terlalu banyak akan biaya dan jorok."
Sementara, Ketua Komisi Pemilihan Umum Mochammad Afifuddin mengatakan, "Kami sebagai penyelenggara [pemilu] dalam konteks ini ya akan menjalankan sebagaimana aturan saja."
Namun, penolakan juga muncul terkait usul ini. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengatakan usulan Prabowo ini akan mengambil hak rakyat untuk secara langsung menentukan pemimpin di daerah mereka.
Kemudian Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan pilkada langsung merupakan hasil koreksi atas pilihan DPRD.
"Kenapa dikoreksi, karena itu tadi, pilihan DPRD itu ternyata tidak menempatkan rakyat yang punya daulat, tidak menempatkan rakyat sebagai episentrum politik, makanya dipilih pilkada langsung itu," kata Zulfikar, Senin (16/12).
Berapa besar anggaran pilkada?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, per 20 September 2024, pemerintah telah menggelontorkan Rp37,43 triliun untuk pilkada serentak dan langsung 2024.
Anggaran untuk 545 daerah itu disalurkan ke KPU dan Bawaslu hingga Rp27,5 triliun, mulai untuk gaji, hingga pengadaan barang dan jasa.
Sebelumnya, Kemendagri mencatat anggaran pilkada 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun.
Dalam pilkada 2020 yang diikuti 279 daerah, anggaran pilkada menyentuh Rp20,4 triliun, yang diambil dari APBD dan APBN. Lebih dari Rp15 triliun untuk kebutuhan KPU.
Lalu pilkada 2018 menelan biaya sebesar Rp18,5 triliun untuk 171 daerah. Tahun sebelumnya, biaya pilkada di 101 daerah mencapai Rp4,2 triliun.
Total biaya yang dikeluarkan pilkada menyentuh Rp80,53 triliun.
Jika dikonversi, biaya itu mampu mencukupi program makan bergizi gratis selama satu tahun, dan masih surplus Rp10 triliun.
Jumlah itu juga setara dengan lebih dari 60% dana abadi bidang pendidikan pada 2023 sebesar Rp139,11 triliun milik LPDP, yang mengirimkan puluhan ribu generasi muda menimba pendidikan secara gratis.
Atau, setara dengan hampir 20% dana penyelenggaraan jalan di masa Jokowi menjabat 10 tahun.
Bagaimana sejarah pilkada dari tak langsung menjadi langsung?
Usulan dan upaya mengubah sistem pilkada langsung ternyata bukan kali pertama.
Pada 2014, Koalisi Merah Putih (KMP) yang diperkuat Fraksi Golkar, PKS, PAN, PPP dan Gerindra berhasil menggolkan perubahan ini DPR RI.
Namun keputusan itu digugat oleh presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Dia beralasan, perubahan sistem ini bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah dan juga dapat menyebabkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Alhasil, dua hari kemudian, SBY menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengembalikan mekanisme pilkada langsung.
Lalu apa itu pilkada langsung dan tak langsung?
Titi Anggraini menjelaskan pilkada langsung adalah proses pemilihan yang dilakukan oleh rakyat secara langsung di bilik suara.
Dengan sistem ini, pemilih menentukan langsung pemimpin daerahnya. Sistem ini menekankan prinsip "satu orang, satu suara, satu nilai."
Mekanisme ini dijaga oleh UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pilkada langsung pertama terjadi pada 2005, yang diselenggarakan di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Sulawesi Utara.
Sebelum pilkada langsung dijalankan, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, atau dikenal dengan pilkada tak langsung.
Namun, ada beberapa tempat yang menggunakan sistem pengangkatan, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan bupati serta wali kota di Jakarta.
Untuk pilkada tak langsung ini terdapat dua periodisasi pelaksanaan, yaitu di era Orde Baru dan masa awal reformasi.
Pengaturan pilkada di zaman Orde Baru diatur dalam UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Pasal 16 ayat 1 berbunyi:
"Kepala Daerah Tingkat II [bupati, wali kota] dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah."
Hasil pemilihan itu kemudian diajukan oleh DPRD kepada menteri dalam negeri melalui gubernur, sedikitnya dua orang, untuk diangkat salah satunya.
Untuk tingkat gubernur prosesnya sama. Namun yang berbeda, posisi ini wajib dikonsultasikan dengan presiden.
Mekanisme ini kemudian mengalami perubahan di awal reformasi, setelah disahkannya UU No. 22 tahun 99 tentang Pemda.
Dalam aturan ini, pemilihan oleh DPRD dilakukan dalam rapat terbuka. Setiap calon diusulkan oleh dua fraksi atau lebih di DPRD.
Lalu, untuk nama calon gubernur yang telah ditetapkan oleh DPRD dikonsultasikan dengan presiden. Sementara untuk bupati dan wali kota ditetapkan dengan keputusan DPRD.
Aturan ini kemudian diganti pada 2004 yang memperkenalkan pilkada langsung.
Titi Anggraini bercerita, perubahan itu dilakukan sebagai tuntutan reformasi dan penerapan otonomi daerah yang penuh.
"Dan juga pemenuhan hak asasi warga negara untuk memilih kepala daerah secara demokratis dan langsung," kata Titi. (*)
Tags : Ekonomi, Politik, Prabowo Subianto, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024, Populisme,