Produksi dan lifting minyak bumi dalam tiga tahun terakhir anjlok karena masih masa transisi dan lapangan yang digali merupakan ladang minyak tua.
PEKANBARU - Produksi dan lifting (produksi siap jual) minyak bumi yang dilakukan Badan Operasi Bersama (BOB) PT Bumi Siak Pusako (BSP) - Pertamina Hulu Energi (PHE) dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan membuat masyarakat Riau ikut bertanya-tanya.
Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Riau, menunjukkan sejak tahun 2016 produksi BOB mencapai 12.111,23 Barel Oil Per Day (BOPD) dan lifting 4.420.599,00 barel per tahun.
Namun tahun 2017 produksi turun jadi 10.849,58 BOPD dan lifting 3.960.098,00 barel. Lalu 2018 turun lagi menjadi produksi 10.590,79 barel. Sedangkan tahun 2019 pada triwulan I produksi 8.480,00 BOPD dan lifting 870.547,00 barel.
"Penurunan produksi dan lifting ini dikhawatirkan akan semakin parah jika ladang minyak Blok Coastal Plan Pekanbaru (CPP Blok) itu dikelola sendiri oleh PT BSP."
Sejak tahun 2021 Pertamina fokus mengelola minyak Blok Rokan. Tetapi dengan kondisi itu apakah BSP secara sumber daya manusia dan peralatan mampu berdiri sendiri, mengingat produksi minyak merupakan bisnis padat modal?
"Saat ini PT BSP dan PHE masih beroperasi sampai masa kontrak berakhir pada 2022. BSP belum beroperasi sendiri, sekarang masih dengan PHE nanti tahun 2022 baru berdiri sendiri. Karena sekarang masih masa transisi," kata Kepala Dinas ESDM Provinsi Riau Indra Agus Lukman pada media belum lama ini.
Tentang menurunnya produksi dan lifting BOB BSP-PHE dalam tiga tahun terakhir, Indra mengatakan penurunan itu secara alami.
"Hal ini karena lapangan yang digali merupakan ladang minyak tua. Untuk meningkatkan produksi membutuhkan sumur pengembangan lapangan minyak."
"Jika ada pengembangan tentu butuh investasi. Biasanya dalam kondisi seperti ini perusahaan migas kalau belum diperpanjang belum ada investasi. Makanya tiga tahun terakhir pasti produksi menurun karena menunggu kebijakan pemerintah pusat apakah kontraknya diperpanjang atau tidak," katanya.
Saat disinggung soal sumber daya manusia (SDM) PT BSP apakah mampu mengelola ladang minyak CPP Blok sendiri, Indra mengklaim BSP memiliki kemampuan mengelola ladang minyak sendiri jika nanti ditinggal PHE.
"BUMD kita mampu lah untuk mengelola lapangan minyak sendiri, bahkan untuk SDM dari pribumi juga mampu mengelola itu. Sekarang tinggal kepercayaan saja karena mengelola ladang minyak ini butuh kepercayaan. Baik itu kepercayaan dari pemerintah, masyarakat dan pemegang modal," ujarnya.
Bahkan menurutnya, secara teknis dan teknologi BSP dinilai sudah siap karena BSP telah mendapat sertifikat platinum.
"Teman-teman BSP sudah siap. Artinya dari segi SDM tidak masalah, tinggal ke depan dengan sisa cadangan minyak yang ada kita harapkan di tangan BSP produksi minyak tak menurun. Saya kira teman-teman BSP sudah siapkan itu semua untuk mengantisipasi agar produksi tetap stabil," paparnya.
Disinggung soal pembiayaan mengingat produksi minyak merupakan bisnis padat modal, Indra menyatakan jika BSP juga dari sisi ekonomi sudah dikaji.
"Itu sudah dikaji, mereka akan menggunakan sistem apa, dan teknologi apa, sehingga mana yang lebih efesien itu yang akan digunakan untuk mengelola lapangan minyak. Secara teknis dan teknologi mereka sudah paham itu," terangnya.
'Fungsi GM belum berjalan'
Menyinggung sumber daya manusia (SDM) PT BSP untuk mengelola ladang minyak CPP Blok ini, H Darmawi Wardhana SE Ak Bin Zalik Aris, Ketua Lembaga Melayu Riau (LMR) lebih menyoroti fungsi dan tugas General Manager (GM) Ridwan ST MT.
Jadi terkait produksi dan lifting minyak bumi yang dilakukan BOB PT BSP - Pertamina Hulu Energi (PHE) dalam tiga tahun mengalami penurunan, Darmawi memberi gambaran seharusnya fungsi dan tugas GM pada struktur perusahaan tetap di bawah arahan direktur.
"General manager bertanggung jawab atas semua bagian fungsi perusahaan atau organisasi, termasuk lah itu soal menurunya produksi dan lifting minyak bumi yang dilakukan BOB PT BSP," kata dia.
"General manager berkewajiban untuk memikul tanggung jawab dan membuat keputusan tentang pencapaian tujuan perusahaan serta semua kegiatan perusahaan."
"Saya kira tugas GM setidaknya bisa merencanakan dan mengendalikan kebijakan perusahaan sehingga mereka bekerja secara optimal, tetapi sekarang kan tak kelihatan fungsi dan tugas GM Ridwan ini, bahkan tidak bisa mengendalikan menurunnya produksi lifting minyak bumi yang melanda BSP," kata dia.
Ridwan ST MT, GM BOB PT BSP-Pertamina Hulu dalam menyikapi itu dipembicaraannya melalui sarana Whats App (WA) mengucapkan terimakasihnya atas support dan info yang diberikan.
Dia mengingatkan bahwa dirinya yang tamatan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengajak semua orang bersyukur putera daerah (Siak) terpilih menduduki jabatan itu.
"Harusnya kita orang Riau saling Support dengan memberikan efek-efek dan pemikiran positif supaya Blok CPP bisa dengan baik dikelola oleh BUMD," ajaknya.
Tetapi Ridwan tidak sependapat jika tugasnya dan fungsinya dikaitkan degan menurunya produksi dan lifting minyak bumi dikelola BSP. "Saya kira pernyataan LMR itu diabaikan saja, karena saya faham yang memberikan komentar bukan ahli dibidangnya," kelekarnya.
Penyebab produksi dan lifting menurun
Sementara Ir H Abdi Haro, mantan pejabat di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pertambangan (Distanben) Provinsi Riau lebih menyinggung tentang faktor penyebab turunnya target Lifting Minyak Bumi BSP dianggap bukan hal yang baru.
"Sejak tahun lalu lifting migas di lokasi BSP selalu turun. Penyebabnya, hampir semua lahan migas merupakan sumur tua, sehingga secara natural mengalami penurunan produksinya," kata Abdi Haro yang dihubungi Riaupagi.com, Jumat (11/3/2022).
Selain itu, Abdi juga menyatakan bahwa beberapa lahan migas baru belum bisa berproduksi secara maksimal. Oleh sebab itu, target pemerintah yang menurunkan lifting minyak bumi pada 2019 dirasa sebuah hal realistis.
"Dalam keadaan seperti itu, saya prediksikan produksi migas kembali turun sehingga tidak bisa mencapai target ditetapkan," sebutnya.
Faktor lainnya yang membuat penurunan target lifting minyak bumi di BSP itu adalah prediksi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Oil Price (ICP) pada 2019 yang diperkirakan rata-rata 70 dollar Amerika Serikat (AS) per barrel.
"Pergerakan ICP itu seiring dengan dinamika harga minyak mentah dunia yang semakin sulit diprediksi."
"Pada tahun 2019, beberapa faktor yang diperkirakan memengaruhi harga minyak mentah dunia dan ICP adalah geopolitik global, peningkatan permintaan seiring pemulihan ekonomi global, dan penggunaan energi alternatif," kata dia menambahkan kalau semua ini tidak terlepas GM punya peran penting dan bertanggungjawab untuk menaikkan produksi minyak BOB PT BSP itu. (*)
Tags : Produksi dan Lifting Minyak Anjlok, PT Bumi Siak Pusako, Produksi dan Lifting PT BSP menurun,