Artikel   04-04-2025 13:16 WIB

Prof K.H. Raden Muhammad Adnan Rektor Pertama UIN Suka Sunan Kalijaga

Prof K.H. Raden Muhammad Adnan Rektor Pertama UIN Suka Sunan Kalijaga
Prof. K.H. Raden Muhammad Adnan

KH RADEN MUHAMMAD ADNAN adalah rektor pertama UIN Sunan Kalijaga yang merupakan seorang ulama yang pejuang. Tokoh itu bernama KH Raden Muhammad Adnan.

Dalam masa pendudukan Jepang, Kiai Adnan ikut berperan dalam perjuangan nasional. Waktu itu, dia diangkat menjadi anggota Jakarta Tokubetsu Si Kai alias Dewan Kota Jakarta, yang terbentuk pada 4 Oktober 1943. Dewan itu terdiri atas sejumlah representasi dari masyarakat Indonesia.

Bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya, Kiai Adnan ikut mengusulkan agar Jepang mendukung pembentukan barisan sukarela dalam rangka membela Tanah Air. Dai Nippon akhirnya mengabulkan inisiatif tersebut. Maka lahirlah balatentara Pembela Tanah Air (PETA).

Selain itu, ada pula Pasukan Hizbullah yang terdiri atas kalangan pesantren. Para pemuda Muslim direkrut dari berbagai daerah untuk bergabung dalam Hizbullah. Mereka dilatih agar menguasai keterampilan militer di Cibarusa, Jawa Barat.

Usai dari kamp pelatihan, mereka dikembalikan ke tempat asal masing-masing. Tujuannya untuk merekrut anggota sukarelawan baru.

Khususnya di Surakarta, pada bulan-bulan menjelang Proklamasi 1945 juga dibentuk suatu wadah perjuangan. Namanya, Barisan Kiai. KH Adnan terlibat langsung dalam pendirian gerakan ini.

Para simpatisannya diberi bekal pengetahuan tentang ilmu kemiliteran, politik pergerakan, dan sebagainya. Intinya agar para pemuka agama dapat memahami situasi yang terjadi dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia.

Dalam masa revolusi

Sesudah Indonesia merdeka, para tokoh yang berada di dalam Barisan Kiai berusaha menjaga pasukan dengan bergerilya. Selain Kiai Adnan, ada pula ulama-ulama lain yang terlibat. Misalnya, Kiai Abdurrahman, Kiai Ma’ruf, Kiai Abdul Karim, Kiai Tasrif, Kiai Martoikoro, dan Kiai Amir Thohar.

Dengan latar berlakang dunia pesantren, Kiai Adnan dipercaya pemerintah Indonesia untuk menjadi unsur lembaga tinggi negera, yaitu Dewan Pertimbangan Agung. Hal ini berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan resmi pada 3 Juli 1946.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2 Juli 1947, dia bersama dengan para ulama lainnya mendirikan wadah perjuangan bernama Dewan Perjuangan Rohani.

KH Raden Muhammad Adnan tercatat meraih gelar profesor dalam bidang ilmu fikih. Sebagai akademisi, perhatiannya pada upaya-upaya mendidik generasi sungguh besar. Bisa dikatakan, seluruh hidupnya diwakafkan demi kemajuan dunia pendidikan Islam.

Sepulang belajar dari Makkah, Arab Saudi, Kiai Adnan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Karya-karyanya, baik dalam bentuk buku maupun artikel, menjadi salah satu rekaman yang baik tentang dedikasi dan ketulusannya.

Menurut Kiai Adnan, pendidikan agama mesti dipandang penting dalam rangka membentuk karakter dan kesadaran religiusitas generasi muda. Prinsip inilah yang juga diajarkannya kepada seluruh pengikutnya.

Banyak kalangan masyarakat yang mengirimkan anak-anaknya kepada Kiai Adnan untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Pada awal tahun 1939, dia menggagas berdirinya Pesantren Luhur. Dalam hal ini, dia berkolaborasi dengan dr Satiman Wiryosanjoyo.

Gagasan ini bertujuan untuk menampung para santri lulusan madrasah aliyah atau pesantren. Usaha dan gagasan itu terwujud pada zaman pendudukan Jepang dalam bentuk Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. 

Cikal-bakal UIN Suka

Pada perkembangannya, STI dipindah ke Yogyakarta ketika Indonesia mengalami pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Sebab, keadaan Jakarta tak lagi kondusif. STI di Yogyakarta lantas berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Pada 22 Januari 1950, Kiai Adnan bersama para tokoh lainnya kemudian mendirikan Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII). Lembaga ini memperoleh dukungan dari banyak ulama dan tokoh nasional.

Pada awal pendiriannya, PTII hanya membuka dua fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Ekonomi. Maka, ada dua perguruan tinggi Islam yang cenderung bercorak sama, yakni PTII di Surakarta dan UII di Yogyakarta. Para tokoh menggagas penyatuan dua lembaga tersebut. Setelah melakukan perundingan, disepakatilah penggabungan PTII-UII.

Pada 26 September 1951, Kementerian Agama (Kemenag) mendirikan institusi baru yang diberi nama Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Antara tahun 1951 dan 1959, Kiai Adnan dipercaya sebagai rektor pertama PTAIN Yogyakarta.

Lembaga ini sekarang telah bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta.

Setelah diangkat menjadi guru besar dalam bidang ilmu fikih, kesibukannya kian intens dalam mengajar dan ceramah publik. Pernah pula ia menjadi dosen luar biasa pada Universitas Gadjah Mada (UGM).

Riwayat pendidikan Adnan kecil dibesarkan dalam suasana keluarga yang sangat erat kaitannya dengan adat Jawa dan bangsawan.

Pendidikannya dimulai dari ayahnya sendiri dan terkadang juga didatangkan guru dari luar untuk mengajarkan baca tulis kepadanya. Dari Tafsir Anom V pula, Adnan mulai belajar ilmu agama Islam.

Tetapi kemudian Adnan berkesempatan juga memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat, dan sesudah berdiri Madrasah Manba'ul Ulum, diapun belajar disana sampai selesai.  

Selain di Madrasah Manbaul Ulum, pada usia 13 tahun Muhammad Adnan juga belajar dan memperdalam ilmu agama Islam di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain, Pesantren Mojosari Nganjuk pada Kiai Zaenuddin, pesantren Mangunsari yang diasuh Kiai Imam Bukhari, Pesanten Termas Pacitan asuhan Kiai Dimyati Abdullah, lalu kembali ke Surakarta berguru kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren.

Pada tahun 1908, ayahnya berkeinginan agar putra-putrinya ada yang memperdalam ilmu agama Islam di Makkah. Pilihan ayahnya jatuh pada tiga putranya yakni: Muhammad Adnan, Sahlan, dan Ishom.

Muhammad Adnan yang pada saat itu masih berusia 17 tahun bersama kedua saudaranya belajar di Madrasah Darul Ulum dan berguru kepada beberapa ulama, diantaranya Kiai Mahfudz at-Tirmisi, Kiai Idris, Syaikh Syatho dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui.

Aktif dalam pendidikan Darah perjuangan Tafsir Anom V yang mengalir pada dirinya, serta didukung pendidikannya baik di bidang umum maupun agama, menjadikannya sebagai seorang pejuang untuk nusa, bangsa dan agama.

Sepulang dari Tanah Suci tahun 1916, Muhammad Adnan yang telah menikah dengan Siti Maimunah, berjuang bersama mertuanya KH Shafawi.

Bidang yang digelutinya ialah bidang keguruan dan pendidikan. Bersama mertuanya ini pula beliau mendirikan Masjid Tegalsari Surakarta. Beliau juga menjadi salah satu tokoh perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo.

Sebagai pendidik Muhammad Adnan pernah diangkat menjadi guru pada sekolah Madrasah Islamiyah di Pasar Kliwon (1916-1923), yang kemudian menjadi Holland Arabische School.

Ia juga menjadi Mahaguru pada ”Kenkoku Gakuin” (Persiapan Sekolah Tinggi Hukum) zaman pendudukan Jepang.  

Pada tahun 1948 Kementrian Agama RI, Muhammad Adnan diserahi membentuk SGHI (Sekolah Guru Hakim Islam) di Surakarta, yang kemudian pindah ke Yogyakarta dan berganti nama SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), kemudian menjadi PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dan beliau sebagai ketuanya.

Muhammad Adnan juga pernah memimpin Madrasah Manba’ul Ulum Surakarta, setelah beliau kembali belajar dari Makkah.

Pada tahun 1951 Muhmmad Adnan mempelopori berdirinya ”Al Djami’atul Islamiyah” Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) di Surakarta bersama KH. Imam Ghozali dan KH. As’at. Selanjutnya PTII Solo ini digabung dengan UII Yoyakarta dan dikenal kemudian dengan nama UII cabang Solo.

Pada tahun ini pula beliau diangkat sebagai Dewan Kurator/Pengawas serta diangkat sebagai Guru Besar tidak tetap pada Fakultas Hukum PTII.

Tahun 1950 ketika Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) diresmikan diberi kepercayaan menjadi ketuanya sampai perguruan tinggi itu menjadi IAIN (1960), selain itu beliau juga diangkat menjadi guru besar dalam bidang fiqh beliau juga menjadi dosen luar biasa di UGM Yogyakarta.

Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, Muhammad Adnan mempunyai tugas sebagai hakim agama dalam lingkungan peradilan agama Islam.

Untuk memperjuangkan hak-hak pengadilan Agama, Muhammad Adnan pada tahun 1937 mendirikan organisasi kepenguluan yang diberi nama Perhimpunan Pengoeloe dan Pegawainya (PPDP) yang ruang lingkupnya meliputi wilayah Jawa dan Madura.  

Empat tahun kemudian, ia diangkat menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi di Jakarta. Ia juga pernah menjadi anggota DPA RI pada tahun 1947. Pernah pada tahun 1945, Menteri Agama saat itu, Kiai H. Masykur pergi ke Surakarta untuk menemui Muhammad Adnan dan Syamsi.

Dalam usaha mengirimkan misi haji Republik Indonesia yang pertama ke tanah suci Makkah pada musim haji 1948.  

Pemerintah RI mengutus Muhammad Adnan menjadi Ketua Misi Haji dan Misi Diplomasi pertama ke Saudi Arabia bersama KH. Sholeh Saudi, H. Syamsir dan KH Ismail Banda untuk mengadakan kontak dengan Raja Ibnu Saud dan pemimpin-pemimpin negara Islam yang sedang menjalankan ibadah haji, untuk merundingkan mendapat pengakuan Negara RI dan mengatur perjalanan haji yang pertama setelah Perang Dunia II.

Muhammad Adnan juga aktif menulis, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa, diantara karangannya adalah Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi, kitab Hidayatul Islam, buku Tuntunan Iman dan Islam, buku Peringatan Hari-Hari Besar Islam, buku Khutbah Jum’at Basa Jawa, buku Mutiara Hikmah.

Pada tengah malam dini hari, Selasa Pon 24 Juni 1969, pukul 03.30 Prof. K.H.R. Muhammad Adnan dipanggil Sang Khaliq pada usia 80 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari itu juga di makam Pajang Laweyan Surakarta, setelah disalatkan di Masjid Syuhada Yogyakarta dan Masjid Tegalsari Surakarta, masjid yang menjadi saksi perjuangan beliau. Sampai sekarang, masjid ini masih menjadi salah satu basis perjuangan dan pergerakan Islam di Surakarta. (*)

Tags : uin suka, uin sunan kalijaga, uin yogyakarta, raden muhammad adnan, rektor uin, rektor uin suka, biografi ulama,