PROFESOR YUNITA T WINARTO terus tekun untuk mendampingi para petani dalam menghadapi pergeseran musim di perubahan iklim yang juga terjadi di Desa Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Nasi di piring yang ada pada kita mungkin berasal dari perjuangan petani di Indramayu, Jawa Barat - yang saat ini menjadi daerah penghasil beras terbesar di Indonesia.
Namun, perubahan iklim yang mempengaruhi cuaca telah mengancam produksi padi mereka.
Di tengah persoalan yang mendunia ini, sekelompok petani "menjelma" menjadi ilmuwan yang meneliti pola curah hujan sebagai langkah antisipasi gagal tanam dan panen.
Seorang profesor bernama Yunita T Winarto dengan tekun mendampingi mereka lebih dari satu dekade.
Awan kelabu masih tersapu di langit Desa Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Embun pagi bergulir ke tanah, menggetarkan daun padi. Seekor kepik yang malas, tersentak, lalu terbang.
Profesor Yunita T Winarto, yang sedang berjalan di pematang sawah, mengikuti jejak kaki Yusup, petani setempat di antara kumpulan burung yang melintas di atas mereka.
Pemandangan ini tak seperti umumnya petani yang membawa cangkul di pundak, Yusup justru menenteng buku hijau besar yang disatukan dengan lidi dan penggaris.
Mereka kemudian berhenti di persimpangan pematang sawah, menghampiri batang kayu setinggi 1,5 meter yang di tengahnya terdapat semacam kaleng susu yang disebut omplong.
Kaleng ini merupakan kreasi petani yang berfungsi sebagai obrometer [alat pengukur curah hujan]. Omplong menampung air hujan selama 24 jam terakhir.
Yusup mengeluarkan kayu kecil dan mengukur air hujan di dalamnya. Setelah diukur, jumlahnya ia catat dalam buku.
"Tadi kita ukur hujannya, 57 mm," kata Yusup.
"Dampak di tanaman seperti apa?" tanya Profesor Yunita yang tahun ini berusia 73 tahun.
"Kemarin [curah hujan] 33 mm, ada dampaknya di ketinggian air. Kalau kemarin macak-macak [tanah hanya becek], sekarang agak genang," jawab Yusup, petani yang mengelola lahan keluarganya seluas 1,5 hektar.
Sebenarnya, kata Yusup, genangan ini tidak baik untuk umur padi yang belum genap sebulan. Tapi ia memutuskan membiarkannya tergenang sementara waktu, karena pria 46 tahun ini sudah mencium kemunculan rumput pengganggu.
"Kalau airnya digenangin itu, menahan rumput untuk tumbuh," kata Yusup yang mengaku sudah 10 tahun terakhir tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk lahan taninya.
Yusup dan Profesor Yunita sedang berdiskusi tentang curah hujan dan dampaknya terhadap lahannya.
Petani - ilmuwan
Curah hujan adalah kunci dalam pertanian. Curah hujan menentukan keberhasilan panen, termasuk menentukan perkembangbiakan hama dan gulma.
Dengan mencatat curah hujan setiap pagi, Yusup bisa memetakan pola curah hujan—Yusup melakukannya selama 10 tahun yang menjadi bagian praktik agrometeorologi. Tujuannya, agar ia bisa mengantisipasi gagal tanam dan panen.
Ditambah dengan laporan skenario musiman terkait apa itu La Nina atau El Nino, Yusup bisa mengambil keputusan kapan waktu yang tepat untuk menanam, di mana, dan jenis tanaman apa yang cocok.
"Kalau El Nino [periode hujan pendek], kita jangan tanam padi. Nggak cocok tanam padi. Kita tanam jagung, kedelai atau palawija. Walaupun penghasilan sedikit, yang penting ada penghasilan. Dari pada mengejar padi, tapi gagal panen," kata Yusup, tamatan sekolah dasar.
Jika skenario musimannya La Nina [periode hujan panjang], lanjut Yusup, maka carilah lokasi tanam padi yang tidak ada genangan airnya.
"Kalau kita semainya di tempat yang tergenang, nanti gagal. Sama saja buang biaya," jelas Yusup sambil menambahkan gagal tanam bisa merugikan petani hingga Rp10 juta per hektar.
Tapi, keputusan-keputusan ini semua juga dipengaruhi pola curah hujan yang sudah dicatat Yusup selama satu dekade.
Dengan membandingkan pola curah hujan pada periode yang lalu-lalu, ia bisa membayangkan curah hujan yang akan terjadi tiga bulan ke depan, dan mengantisipasi agar tidak kehilangan uang karena gagal tanam.
Petani peka perubahan iklim
Yusup adalah satu dari sekitar 30 petani di Indramayu yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI).
Organisasi ini dirintis 2009 silam, di mana saat itu petani belajar mengukur curah hujan, mengamati agroekosistem, mengumpulkan data, dan membahasnya dalam rapat evaluasi setiap bulan.
Yusup awalnya bertanya-tanya untuk apa ia mengukur curah hujan setiap hari - ini bukan sesuatu yang lazim bagi petani.
"Karena kita belum tahu penjabarannya manfaatnya apa, belum tahu. Cuma mengukur penguapan, dan segala macam, untuk apa gitu?" katanya sambil terkekeh mengingat masa itu.
Ia mengaku baru menyadari dan mendapat manfaatnya, lima tahun sejak pengukuran curah hujan pertama. "Karena ada catatannya. Kapan tanam, kapan semai itu kan dicatat. Begitu mau tanam, saya lihat catatannya," kata Yusup.
'Ibu yang momong petani'
Ini semua berkat pendampingan dan "kesabaran" Yunita T. Winarto, seorang profesor emeritus antropologi di Universitas Indonesia, kata Yusup.
"Kalau di Indramayu istilahnya Bu Yunita 'momong' terus, [petani] digiring supaya jadi rutin [mencatat]… Bedanya, kalau profesor lain datang, kemudian hilang.
Kalau Bu Yunita kan rutin. Kayak ibunya para petani, padahal Ibu Yunita bukan petani," kata Yusup sambil tersenyum memperlihatkan barisan giginya.
Terjun langsung ke sawah dan mendampingi petani adalah bagian hidup perempuan yang menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Nasional Australia ini. Profesor Yunita mengaku sudah sejak 1980-an meneliti sosial-budaya di sektor pertanian.
Namun, dalam satu dekade terakhir, ibu tiga anak ini makin mencemaskan dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian, termasuk petaninya itu sendiri yang tak paham atas konsekuensinya.
Pola tanam petani umumnya masih tradisional: memperoleh petunjuk dari tanda-tanda alam di sekitar atau mengikuti petuah orang tua untuk mulai menanam, dan cenderung mengejar produksi padi.
Mereka juga mengandalkan ingatan untuk membandingkan musim tanam tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Kalau sekarang terjadi perubahan iklim, tiba-tiba ada hujan besar. Apa penyebab hujan, yang tiba-tiba besar? Pada saat musim kemarau kok, tiba-tiba hujan? Mereka [petani] tahu tidak itu konsekuensi dari perubahan iklim? Siapa yang memberi tahu?" katanya bertanya-tanya.
Dari refleksi ini, ia kemudian merangkul Profesor Kees Stigter (meninggal 2016), ahli agrometeorologi dari University of Free State di Afrika Selatan. Profesor Kees yang juga mantan presiden Organisasi Meteorologikal Dunia (WMO) ini mengenalkan alat pengukur hujan, menggunakannya, mencatat dan menganalisanya.
Proyek ini kemudian mendapat dukungan dari Akademi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda. Pendampingan petani untuk belajar agrometeorologi berada di bawah program Warung Ilmiah Lapangan yang pada 2018 didukung penuh Universitas Indonesia sebagai salah satu bentuk inovasi di bidang Sosial Humaniora.
"Jadi, memang saya dan Pak Kees menyadari, bahwa perlu ada dimensi ilmiahnya. Dimensi kebiasaan petani sebagai peneliti, ilmuwan, jadi mencatat itu merupakan tradisi baru. Kebiasaan baru, yang memang saya tahu tidak mudah [untuk petani]," kata Profesor Yunita.
Tidak mudah, karena perempuan berdarah Tionghoa ini juga mendapat penolakan sejumlah petani saat awal-awal memberi pendampingan.
"Permintaan tim kita untuk belajar, yang dilakukan dengan cara ilmuwan—mencatat—itu dianggap sebagai hal pemaksaan. Itu semacam syok. Kaget saya," katanya.
Selain itu, upaya mencari dukungan dari pemerintah juga menghadapi persoalan karena gonta-ganti pejabat, sehingga, "Setiap kali harus menceritakan lagi."
Ia juga menghadapi ketiadaan dukungan dana pada periode tertentu. "Tapi tetap saya usahakan mendampingi mereka. Jadi bisa dibilang saya sukarela datang ke sini dengan dana saya," kata perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur.
Bagaimana pun, "Saya merasa, saya bisa juga langsung berkarya membantu mereka… saya anggap ini sebagai suatu pengalaman hidup saya sebagai antropolog, yang amat kaya."
Profesor Yunita Winarto
Nama lengkap: Maria Atonia Yunita Triwardani Winarto (Tan Tjiok Swan)
Tempat dan tahun kelahiran: Malang, 1950
Status pekerjaan:
Profesor Emeritus Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
Akademi Profesor Indonesia di Ilmu Sosial dan Humaniora (KNAW-AIPI), sejak 2006.
Anggota Komisi Budaya di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, sejak 2013
Suami: Vincentius Winarto"
Kemandirian petani berlanjut
Kedatangan pertama Profesor Yunita sejak terakhir kalinya pada 2019—terjeda masa pagebluk—ke Indramayu.
Di hari lainnya, ia terkesima saat mengikuti rapat evaluasi Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI).
Dalam rapat bulanan ini, petani anggota P2TPI dari pelbagai desa; saling berbagi data curah hujan, pengalaman menghadapi hama, menentukan varietas padi untuk ditanam, serta menentukan waktu tanam.
"Saya kagum dengan kemampuan mereka melakukan analisa, dan antisipasi, dan mengambil keputusan. Bahwa mereka masih memiliki semangat, dan juga masih bisa melakukan evaluasi seperti yang kita saksikan bersama. Itu suatu kelegaan, suatu rasa gembira," kata Profesor Yunita seperti dirilis BBC News Indonesia.
Petani berbagi pengalaman
Di Balai Desa Nunuk di Indramayu, sejumlah petani serius menggoreskan spidol pada lembaran plano. Mereka mengisinya dengan angka-angka, dan grafis manual yang menggambarkan pola curah hujan di wilayahnya masing-masing.
Di antaranya adalah Nurkilah, Ketua P2TPI.
"Dari evaluasi itu ada eksperimen-eksperimen yang kita lakukan, yaitu dengan eksperimen varietas, eksperimen tanah, eksperimen pupuk kompos… Dibahas juga kenapa produksi berkurang, kenapa meningkat," katanya.
Para petani P2TPI cukup piawai dalam menyajikan hasil penelitian selama sebulan kepada anggota lainnya, tak kalah dari seorang dosen yang memberi kuliah kepada mahasiswanya. Ada diskusi. Ada perdebatan.
Menghadapi La Nina netral
Tahun ini disebut masa peralihan La Nina ke El Nino, di mana curah hujan masuk ke dalam rentang netral. Artinya, musim kemarau akan lebih panjang dari tahun sebelumnya.
Koordinator wilayah P2TPI untuk bagian barat-utara Indramayu, Abas Kartam, mengatakan curah hujan periode tahun ini akan mirip dengan periode 2015 lalu.
"Desember, Januari itu akan terjadi La Nina netral. Kemungkinan bisa banjir, kemungkinan bisa kering. Kami sudah hitung, ketika tanam di Desember ini, dasar perhitungan kami, di bulan Maret sudah bisa panen," kata Abas Kartam saat memaparkan hasil penelitian di daerahnya.
Profesor Yunita menghabiskan separuh usianya untuk mendampingi para petani.
Kombinasi ilmu leluhur dan agrometeorologi
Abas Kartam adalah ahli Pranata Mangsa, kalender penanggalan tradisional yang umumnya dipakai di Jawa untuk menentukan musim tanam atau musim menangkap ikan bagi nelayan.
Biasanya perhitungan musim ditunjukkan melalui tanda-tanda alam seperti musim buah rambutan, burung belibis terlihat di tempat berair, musim kucing kawin, sampai jangkrik yang mulai bermunculan.
Namun, hitungan tradisional ini pernah meleset memperkirakan periode hujan di tahun 2010 lalu, kata Abas Kartam. Menurut kalender Pranata Mangsa akan terjadi jeda antara hujan dan tidak hujan pada Desember-Januari.
"Tapi nyatanya karena perubahan iklim, tahun 2010 itu adalah kemarau basah. Hujan yang terus-menerus," kata petani berusia 58 tahun ini.
Sejak itu, Abas Kartam mengkombinasikan ilmu Pranata Mangsa dengan agrometeorologi.
"Kami akan cocokkan kedua ilmu ini. Ketika ada salah satu yang tidak cocok, maka bagaimana saya untuk bisa mengimplementasikan kedua pengetahuan ini, supaya saya dan teman-teman di wilayah saya, ketika tanam bisa panen," katanya.
Pada satu hari, Abas juga menggunakan pengukuran omplong untuk memberikan peringatan kepada petani lainnya. "Pada 2014 kemarin ketika saya iseng, men-share hujan ini di atas 200 mm, akan terjadi banjir bandang. Ini kan satu mustahil, seorang petani bisa menginformasikan seperti itu. Dan, itu kejadian," katanya.
Namun kala itu, tidak semua petani percaya dengan peringatan tersebut, kata Andriyatna Retno Dewayanti. Perempuan 43 tahun ini adalah seorang penyuluh pertanian yang mengikuti perkembangan P2TPI.
"Ketika kita menyampaikan itu, mereka pikir-pikir. Apa iya, apa nggak? Yang ngotot tetap tanam, ya hancur. Jadi, modal yang sudah dikeluarkan, tidak bisa panen karena terendam," kata Retno.
Retno berharap perkumpulan petani ini, termasuk cara belajar dan ilmu yang mereka dalami agrometeorologi, bisa juga diterapkan pada petani-petani lainnya. Sebab, ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana pendataan curah hujan dapat menentukan keberhasilan dalam pertanian.
'Pemerintah belum mendukung 100%'
Cuaca ekstrem yang tidak menentu sudah dirasakan petani, setidaknya sejak 2000, menurut Nurkilah. "Petani banyak yang gagal [panen], kenapa kok hujannya berkurang, kenapa sering terjadi banjir," katanya.
Namun, tak semua petani memahaminya sebagai konsekuensi dari perubahan iklim.
Sejak mengukur curah hujan yang dilakukan P2TPI satu dekade lalu, anggota dari organisasi ini juga bisa merencanakan menekan penggunaan anggaran desa untuk mendapatkan air. Biasanya dalam periode kering, desa mengeluarkan anggaran pengairan sawah melalui pompa dari sungai atau sumur bor.
"Biasanya desa menyiapkan dana untuk jemput air. Dengan perencanaan, [dana] itu tidak digunakan," kata Nurkilah.
Persoalannya, lanjut Nurkilah, pengetahuan tentang agrometeorologi ini baru dipahami sedikit petani di Indramayu. "Tapi daerah lain, kita butuh tenaga untuk menyebarkan ilmu yang kita miliki atau keterampilan yang kita miliki, supaya bisa menjadikan petani itu bisa mandiri," katanya.
Pemerintah Kabupaten Indramayu, kata Nurkilah belum sepenuhnya mendukung upaya antisipasi terhadap perubahan iklim ini. "Ya, pemerintah selama ini belum mendukung 100%, baru mendukung suaranya saja," katanya.
Plt. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Indramayu, Muhammad Iqbal berjanji akan membantu menyebarkan cara pembelajaran dari P2TPI ini.
"Kami apresiasi, nanti akan segera kami koordinasikan dengan kelompok tersebut, apa hasil yang telah dilakukan…. sehingga hasil tersebut akan kami koordinasikan dengan instansi terkait.
"Kalau memang itu istilahnya sudah sesuai dengan standar, akan kami segera sosialisasikan ke lokasi-lokasi lain. Kecamatan ke desa, bahwa metode ini bisa diterapkan untuk mengantisipasi cuaca ekstrem," kata M Iqbal.
Realisasi janji ini akan berkejaran dengan kesiapan petani menghadapi cuaca ekstrem yang kemungkinan akan semakin memburuk, karena suhu bumi semakin hangat.
Profesor Yunita dengan Yusup, petani Indramayu dalam proses pengukuran curah hujan di sawahnya.
"Kalau itu bisa dilakukan ya, bagaimana menghadapi perubahan iklim ini kan sudah punya pejuang-pejuang, orang yang sudah siap strategi menghadapi perubahan iklim, jadi lebih tenang kan… Sudah tak was-was lagi bagaimana produksi padi, nanti gagal panen, karena petani lebih siap," kata Profesor Yunita.
Indramayu merupakan daerah penghasil padi terbesar di Indonesia, setidaknya ini yang dilaporkan pada 2021. Kabupaten Indramayu menghasilkan 1,3 juta ton gabah kering giling (GKG), setara dengan nasi di atas piring 11,8 juta orang setiap harinya selama setahun.
Dari sisi pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Indramayu hanya 6,8 tahun—paling rendah se-Jawa Barat. Artinya, rata-rata warga Indramayu hanya lulus sekolah dasar. Luas Indramayu hampir empat kali luas Jakarta, dengan penduduk sekitar 1,8 juta jiwa yang mayoritas bekerja sebagai petani. (*)
Tags : Profesor Yunita T Winarto, Profesor Yunita Tekun Dampingi Petani, Generasi Hadapi Pergeseran Musim, Perubahan Iklim, Pangan, Pertanian, Keamanan pangan,