JAKARTA - Keputusan pemerintah Indonesia membatalkan program pengalihan kompor LPG tiga kilogram ke kompor listrik usai mendapat respon masyarakat, menurut pengamat, menyingkap proses perencanaan kebijakan yang dipaksakan, tergesah-gesa dan dilakukan secara elitis.
Seharusnya, kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, pemerintah terlebih dulu mendengar aspirasi masyarakat dan mencari tahu masalah-masalah apa yang akan muncul ketika rencana itu dilakukan, alih-alih mengaungkan kampanye “penghematan biaya” kompor listrik.
PLN, Selasa 27 September 2022, mengumumkan pembatalan konversi kompor LGP tiga kilogram ke kompor listrik dengan alasan “guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19”.
Program konversi itu dilakukan, di antaranya, karena beban subsidi LPG yang mencapai Rp70 triliun setiap tahunnya dan juga upaya untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik PLN.
Pihak PLN dan Kementerian ESDM belum memberikan tanggapan.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan memberikan 300.000 unit paket kompor listrik gratis ke masyarakat tahun ini.
Terdapat beberapa wilayah yang telah menerima kompor listrik sebagai uji coba.
Salah satunya adalah di Solo, Jawa Tengah. Beberapa warga yang menerima kompor itu menceritakan pengalamannya.
Kompor listrik: 'Mudah sih, tapi...'
Indrawati tampak meletakkan panci khusus di atas salah satu tungku kompor listrik.
Untuk menyalakan kompor listriknya itu, ia menggeser tuas miniatur circuit breaker (MCB) yang terpasang di dinding dekat kompor tersebut.
“Kompor listik lebih nyaman, praktis dan cepat. Dibandingkan dengan kompor gas. pemakaian kompor listrik lebih santai karena [makanan] tidak cepat kosong. Kalau pakai gas ditinggal sedikit gosong,” kata Indrawati yang tinggal di pemukiman warga tanah hak pakai (HP) 00001 Mojo, Pasar Kliwon, Solo.
Setelah hampir dua bulan memakai kompor listrik, ia mengeluhkan kompor itu karena tidak bisa digunakan untuk membakar ataupun memanggang.
“Susahnya pakai kompor listrik tidak bisa bakar terasi, nggak ada apinya,” ujar dia.
Indrawati menambahkan, kompor listrik pun lebih hemat. Menurut perhitunganya, satu tabung LPG ukuran tiga kilogram hanya bisa digunakan dalam hitungan hari.
“Tabung ijo (LPG tiga kilogram) itu satu sampai dua hari. Sedangkan untuk kompor listrik itu saya beli voucher pulsa listrik Rp100.000 untuk satu bulan. Rumah saya termasuk listrik subsidi,” ujarnya.
Lain halnya dengan Sumarmi (50), salah satu warga penerima bantuan program kompor listrik dari PLN di Solo.
Ia mengaku penggunaan kompor listrik menyebabkan biaya listriknya melambung naik. Bahkan, setiap pekan harus mengisi voucher pulsa listrik sebesar Rp50.000.
“Ini kan listriknya belum subsidi jadi agak banyak abisnya. Apalagi listriknya belum dipakai untuk sehari-hari, kalau dipakai sehari-hari bisa Rp200.000 lebih setiap bulannya,” keluhnya.
Meski demikian, Sumarmi mengaku pengoperasian kompor listrik lebih mudah dibandingkan dengan kompor LPG.
“Pakai listrik ebih enak dan nyaman. Tapi kalau untuk kesusu (tergesa-gesa) tidak bisa karena agak lambat,” kata dia.
Terkait keputusan PLN yang membatalkan rencana program konversi dari kompor LPG ke kompor listrik, Indrawati maupun Sumarmi mengaku pasrah jika kompor yang telah diterimanya akan ditarik kembali oleh PLN.
Rencana yang 'mencla-mencle'
Beberapa waktu lalu, pemerintah bersama PLN berencana mengkonversi kompor gas LPG tiga kilogram ke kompor listrik.
Pemerintah pun melakukan uji coba di beberapa daerah dengan membagikan ribuan paket kompor listrik gratis ke masyarakat dengan harga Rp1,8 juta. Targetnya tahun ini adalah 300.000 rumah tangga dengan anggaran sekitar Rp540 miliar.
PLN telah membagikan masing-masing seribu kompor listrik ke warga di Solo dan Denpasar.
Selain uji coba, pemerintah juga mengkampanyekan bahwa kompor listrik lebih hemat dalam memasak dibandingkan kompor LPG. PLN mengeklaim kompor listrik akan menghemat 10-15%.
Masyarakat merespons beragam rencana itu, ada yang mendukung dan menolak.
Proses tersebut, menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menunjukkan kelemahan pemerintah dalam merencanakan suatu kebijakan.
“Rencana kebijakan konversi yang mencla-mencle dan seumur jagung ini mengindikasikan tidak adanya perencanaan yang terstruktur dan sistematis. Ini jadi terlihat testing the water dan dipaksakan saja dan saya melihat ada kepentingan politik di balik itu,” kata Trubus seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (28/09).
Menurutnya, ke depan, pemerintah harus menghindari pola pengambilan kebijakan konversi itu yang bersifat elitis, dari atas ke bawah yang tanpa mendengar apa kebutuhan masyarakat.
“Ketika merancang kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus bertahap dari bawah, dari dialog ke masyarakat, melibatkan ahli hingga pengambilan kebijakan, tidak bisa top-down, tapi harus dari bawah, dari kebutuhan masyarakat,” katanya.
Rencana yang tergesa-gesa di balik ‘kelebihan kapasitas listrik’
Senada, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai rencana konversi ini menunjukkan ketergesa-gesaan tanpa melakukan riset terlebih dahulu.
Ia mencurigai, salah satu tujuan rencana itu adalah untuk mengalihkan beban dari kelebihan pasokan listrik PLN yang kemudian ditanggung oleh masyarakat.
“Rencana ini begitu cepat, dari sosialisasi, bagi-bagi kompor listrik, lalu menunjuk perusahan untuk menyediakan kompor listrik. Saya curiga ini terkait beban oversupply, take or pay. Harusnya negosiasi ulang dengan IPP, bukan masyarakat yang jadi menanggung,” katanya.
“PLN harus berani negosiasi bahwa yang dibayarkan ke IPP adalah yang digunakan. Kalau tidak dipakai, jangan bayar. Itu bisa dan umum terjadi,” kata Fahmy.
Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui konversi itu terkait dengan kelebihan pasokan PLN.
Kontrak listrik PLN dengan produsen listrik swasta (IPP) menerapkan skema take or pay. Artinya, PLN tetap membayar kelebihan listrik walaupun tidak terserap oleh masyarakat.
Diperkirakan, surplus listrik PLN mencapai enam gigawatt hingga akhir 2022, dengan biaya tanggungan sekitar Rp3 triliun setiap satu gigawattnya.
Selain itu, rencana konversi ini juga dipengaruhi oleh besarnya subsidi terhadap LPG yang mencapai Rp70 triliun per tahun.
Hal itu disebabkan karena Indonesia mengimpor LPG sebanyak 5,5-6 juta ton per tahun. Pemerintah harus membayar selisih dari harga beli sekitar Rp19.000 dan harga jual di pasar Rp4.250 per kg.
Masalah-masalah di balik rencana konversi
Fahmy dan Trubus juga mencatat beragam masalah yang muncul jika rencana konversi ini dilaksanakan.
Menurut Fahmy yang pertama adalah penggunaan kompor listrik berpotensi menghapus pelanggan dengan daya 450 VA yang disubsidi pemerintah. Masyarakat terpaksa harus menaikan dayanya karena konsumsi kompor listrik berkisar 800 hingga 1.000 watt.
Sebelumnya, PLN telah menjelaskan bahwa pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak perlu menaikan daya listrik karena akan menyediakan jalur khusus kompor listrik.
Masalah kedua adalah belum ratanya distribusi listrik di wilayah Indonesia, “di daerah yang mengalami pemadaman hingga berjam-jam, masak pakai apa?”.
Ditambah lagi, ujar Fahmy, listrik yang dihasilkan PLN 60% menggunakan batu bara, energi kotor.
“Masalah-masalah itu yang belum teratasi sehingga realistis untuk membatalkan rencana ini,” ujarnya.
Trubus menambahkan, kompor listrik juga menciptakan masalah bagi para pedagang keliling yang mengantungkan sumber energi dari gas LPG tiga kilogram.
“Pedagang keliling seperti mie ayam, bakso, bagaimana caranya pakai kompor listrik? Tidak akan bisa. Rencana ini tidak substansial, tidak ada urgensinya dan hanya membebani masyarakat, khususnya kelompok bawah,” katanya.
Lantas apa solusinya? Fahmy mengatakan, konversi kompor gas ke listrik merupakan hal yang perlu dilakukan, namun, harus secara bertahap dan jangan dijadikan kewajiban yang memaksa.
“Pemerintah harus melakukan bauran energi, dari jaringan gas, kompor listrik dan juga gas tiga kilogram. Jadi memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih sambil melakukan sosialisasi penggunaan kompor listrik bagi rumah tangga yang sadar dan mampu,” ujarnya.
PLN batalkan konversi
PLN memutuskan untuk membatalkan program pengalihan kompor LPG 3kg ke kompor listrik.
Langkah ini dilakukan guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Selain itu, PLN juga memastikan tarif listrik tidak naik, “Tidak ada kenaikan tarif listrik. Ini untuk menjaga peningkatan daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi,” kata Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo dalam siaran pers.
PLN juga memastikan tidak ada penghapusan golongan pelanggan dengan daya 450 VA dan pengalihan ke 900 VA .
Sebelumnya, pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekon) Airlangga Hartarto, Jumat (23/09) telah menegaskan bahwa program konversi tidak akan diberlakukan tahun 2022.
“Dapat saya sampaikan bahwa pemerintah belum memutuskan, sekali lagi pemerintah belum memutuskan terkait program konversi kompor LPG tiga kilogram menjadi kompor listrik induksi,” ujar Airlangga.
Dia menjelaskan, program kompor listrik induksi saat ini masih merupakan uji coba atau prototipe sebanyak 2.000 unit dari rencana 300.000 unit yang akan dilaksanakan di Bali dan di Solo, Jawa Tengah.
“Hasil dari uji coba ini akan dilakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan,” ujarnya.
Walau uji coba masih dilakukan, PLN mengeklaim kompor listrik lebih hemat Rp8.000 atau 10-15% dibandingkan kompor listrik.
Ditarik ke skala nasional, konversi ini disebut akan menghemat APBN hingga Rp330 miliar per tahun jika digunakan oleh 300.000 keluarga penerima manfaat atau Rp5,5 triliun dengan lima juta keluarga. (*)
Tags : Energi terbarukan, Minyak gas, Ekonomi, Energi, Indonesia, Biaya hidup.,