Headline Nasional   2024/09/21 9:49 WIB

Program Makan Bergizi Gratis Masih Dikhawatirkan, 'Bahkan Bisa Memicu Polemik Ditengah Masyarakat'

Program Makan Bergizi Gratis Masih Dikhawatirkan, 'Bahkan Bisa Memicu Polemik Ditengah Masyarakat'
Ilustrasi program makan bergizi gratis

JAKARTA - Rencana mengganti susu sapi dengan susu ikan dalam program Makan Bergizi dan Susu Gratis (MBG) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menuai polemik di tengah masyarakat.

Seorang ahli gizi mengatakan "jangan sampai malah menimbulkan masalah baru", namun, Tim TKN Prabowo-Gibran menegaskan menganti susu sapi dengan susu ikan masih sebatas wacana.

Raisa Andriani, Pimpinan Proyek Kebijakan Pangan dari CISDI, menyebut turunan hidrolisat protein ikan (HPI) yang disebut ‘susu ikan’ merupakan produk ultra proses (ultra-processed food, UPF) yang ditambahkan berbagai bahan mulai dari emulsi, pengental, pengawet, pemanis hingga perisa sehingga menyerupai produk susu.

“Dalam dua dekade terakhir, konsumsi pangan ultra proses dikaitkan erat dengan peningkatan tren prevalensi penyakit tidak menular secara global,” kata Raisa Andriani didepan media, Kamis (19/09).

Alih-alih mewacanakan susu ikan sebagai komponen program MBG, menurutnya, pemerintah semestinya fokus pada penyediaan pangan sehat yang beragam.

Senada, ahli gizi masyarakat dr. Tan Shot Yen memandang wacana susu ikan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah ”jangan sampai malah menimbulkan masalah baru”.

“Lah kan ada pangan lokal, protein hewani yang biasa ada di daerah setempat. Kenapa harus susu dan produk? Kalau tidak laku jual, tidak diterima masyarakat, mahal, bahkan tidak efektif menyelesaikan masalah gizi, padahal pabrik sudah kadung berdiri, lalu bagaimana?” katanya.

Wakil Ketua TKN Prabowo Gibran, Silfester Matutina menyebut hingga kini wacana susu ikan belum dibahas baik di Badan Gizi Nasional, Tim TKN Prabowo-Gibran, maupun Tim Gugus Tugas Sinkronisasi.

“Jadi sebenarnya mengenai susu ikan ini baru wacana. Jadi tidak ada masuk dalam keputusan dari Badan Gizi Nasional,” katanya.
Mengundang tanya: ‘Jangan embel-embel ikan, seolah-olah bergizi‘

Wacana pemberian susu ikan dalam program MBG Prabowo-Gibran memantik sejumlah pertanyaan di masyarakat, terutama kaum ibu, di mana program itu akan menyasar anak sekolah.

Salah satunya, Rini Wulandari, warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ibu yang dua dari empat anaknya masih pelajar sekolah dasar dan menengah ini, bertanya-tanya apa itu susu ikan.

Ia mengaku belum pernah mendengar susu yang bersumber dari ikan. Sepengetahuannya, susu berasal dari hewan mamalia atau olahan dari kacang-kacangan, seperti kedelai atau almond.

“Belum pernah dengar susu ikan. Yang kayak bagaimana? Buat yang punya alergi bagaimana?” tanya Rini saat mendengar soal susu ikan.

Rini masih belum bisa membayangkan rasa susu ikan. Jika diberikan untuk anak-anaknya dalam program MBG, perempuan 40 tahun itu menyatakan kurang setuju.

“Susu sapi saja. Kenapa harus susu ikan? [Rasanya] aneh kali ya. Bau amis enggak? Anak-anak juga pasti aneh dengarnya,” ungkapnya seraya meminta pemerintah memberikan ikan langsung dibanding dalam bentuk susu.

Tidak jauh berbeda dengan Rini, Wilda Nurlianti pun memiliki banyak pertanyaan seputar pemberian susu ikan untuk program MBG.

“Pertanyaannya adalah tujuannya makan gratis ini kan untuk memperbaiki gizi, apakah itu akan tercapai [dengan susu ikan]? Lalu, ini kan targetnya satu Indonesia, apakah pengadaannya bisa mencukupi kebutuhan? Kalau memang mau memberi susu, kenapa tidak sesuatu yang sudah familiar saja?“ tanya warga Kota Bandung ini.

Khusus gizi, Wilda mempertanyakan kandungan nutrisi susu ikan yang dalam prosesnya masuk kategori UPF, di mana proses pembuatan susu ikan ini melalui proses panjang dari ikan segar menjadi bubuk, serta ditambahkan zat kimia lainnya.

“Ketika melihat, oh ternyata dia dari ikan, lalu diproses menjadi susu bubuk yang tentunya harus dicairkan lagi kalau mau dikonsumsi, berarti kan melalui proses yang sedemikian panjang. Belum lagi ada tambahan gula lah, pengawet lah, perisa lah. Apakah nilai gizinya masih ada?“

“Jangan karena ada embel-embel ikan, seolah-olah bergizi, sementara sudah melalui berbagai proses kan dan belum tentu juga anak-anak akan suka."

"Kalau sudah enggak suka, bagaimana mau dikonsumsi rutin dan menghasilkan nilai gizi yang mencukupi. Artinya, aku pesimistis untuk mencapai perbaikan gizi untuk anak sekolah,” ucap ibu dari tiga anak perempuan ini.

Selain itu, ia berharap pemerintah memberikan makanan yang sudah dikenal anak-anak dengan kandungan protein yang tinggi, seperti ikan dalam bentuk utuh, telur, tahu, atau tempe, bukan makanan yang belum dikenal.

“Kok kayak ajang trial and error? Aku enggak yakin anakku suka. Kalaupun dia mau mencoba, tapi jangan yang pertama ya. Kita harus dengar kabar dulu [soal pemberian susu ikan ini],” ujar perempuan 47 tahun ini.

Apa itu susu ikan, tepatkah disebut susu?

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), susu ikan adalah minuman protein salah satu produk turunan dari ekstrak protein ikan (HPI) yang diolah dan disajikan menyerupai susu.

HPI adalah ekstrak protein (hidrosilat) ikan hasil penelitian tim KKP pada 2017 dengan memanfaatkan ikan harga terjangkau seperti petek, selar, tamban, dan belok.

Lalu, mengapa menggunakan nama susu? Salah satu alasannya adalah strategi branding agar mudah dikenal.

"Jadi bukan dalam arti susu yang sebenarnya, melainkan susu analog hasil dari HPI," kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistiyo, Kamis (12/9).

Selain itu, HPI yang menjadi bahan baku utama susu ikan dapat juga digunakan sebagai bahan tambahan pangan lain yang tinggi protein.

Namun, ahli gizi masyarakat dr. Tan Shot Yen tidak setuju jika produk turunan dari HPI disebut sebagai susu.

Menurutnya, susu adalah cairan yang dihasilkan oleh organ tubuh (khususnya mamalia) untuk makanan bayi.

“Jangan karena bentuknya kalau dicairkan mirip susu. Kita bisa gunakan istilah lain seperti sari pati ikan atau apa, karena ini beda,“ ujarnya.

Tan mengatakan, lebih tepat jika bubuk ikan itu ditempatkan sebagai suplementasi atau pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK).

“Kan ada pangan lokal, protein hewani yang biasa ada di daerah setempat. Kenapa harus susu dan produk? Kalau tidak laku jual, tidak diterima masyarakat, mahal, bahkan tidak efektif menyelesaikan masalah gizi, padahal pabrik sudah kadung berdiri, lalu bagaimana? Kenapa tidak dijadikan produk suplementasi saja, itu lebih masuk akal”.

“Jangan sampai wacana yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru dan juga pemerintah yang kelihatannya sedang berhemat, lalu uangnya malah habis untuk membeli produk,“ katanya.

Senada, dosen Fakultas Peternakan IPB University Epi Taufik menjelaskan ekstrak protein ikan seperti HPI tidak termasuk dalam kategori susu.

Dalam standar internasional mengenai pangan (CODEX), sebutnya, susu adalah sekresi atau cairan yang keluar normal dari hewan perah atau mamalia yang diperoleh dari satu atau lebih pemerahan.

“Ini berarti bahwa susu yang diakui oleh CODEX harus berasal dari hewan mamalia, seperti sapi, domba, kambing, kerbau, kuda, unta dan lain-lain, tanpa adanya campuran bahan lain,” kata Epi Taufik.

Apa dampak bagi kesehatan?

Selain terminologi yang tidak tepat, ahli gizi dr. Tan Shot Yen menambahkan bubuk ikan itu juga dihasilkan dengan ultra proses. “Lebih ngeri justru imbuhannya. Pemanis, penyetabil, pengawet dan lainnya,“ katanya.

Pangan ultra proses (UPF), kata Tan, berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi tubuh, seperti pencetus gangguan gizi pada tumbuh kembang anak, hingga penyakit tidak menular (diabetes, hipertensi, dan sindroma metabolik).

Selain itu makanan ini juga, katanya, memiliki karakter “mudah didapat, praktis, ekonomis, dirancang untuk menciptakan kecanduan, dianggap penyokong pertumbuhan ekonomi dan industri, menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah.”

Raisa Andriani dari CISDI, LSM yang fokus untuk memajukan pembangunan sektor kesehatan, mengatakan produk ultra proses cenderung tinggi kandungan gula, garam dan lemak, yang dikaitkan erat dengan peningkatan tren prevalensi penyakit tidak menular secara global.

“Kami menyayangkan jika pemerintah merealisasikan pemberian susu ikan dalam program MBG. Sebab, pangan minim proses, sejatinya selalu lebih baik dan sehat untuk tubuh kita,” katanya.

Raisah mengatakan, dalam jangka panjang, asupan UPF yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan beberapa penyakit, seperti:

  • Diabetes tipe 2 yang lebih besar sebesar 12%.
  • Risiko kecemasan dan gangguan mental yang lebih tinggi sebesar 48-53%.
  • Masalah tidur sebesar 40-66%.
  • Risiko depresi sebesar 22%.
  • Risiko kematian terkait penyakit kardiovaskular sebesar 50%.
  • Risiko kematian 21% lebih besar akibat penyebab apa pun.

Selain dampak bagi kesehatan, CISDI memandang wacana pemerintah untuk memperkenalkan susu ikan sebagai alternatif susu sapi tidak tepat sasaran.

“Sikap pemerintah yang keras memasukkan susu sapi untuk program MBG ini terkesan dipaksakan oleh karena sesungguhnya sebagian besar kebutuhan susu sapi dalam negeri dipenuhi lewat impor,” katanya.

Pedoman Gizi Seimbang memberikan banyak pilihan alternatif pengganti susu sapi, salah satunya adalah ikan utuh dan bukan susu ikan, ujarnya.

“Susu ikan yang diwacanakan sebagai inovasi sesungguhnya ibarat pedang bermata dua. Alih-alih mewacanakan susu ikan sebagai komponen program MBG, pemerintah semestinya fokus pada penyediaan pangan sehat yang beragam,” kata Raisa.

Susu ikan terbuat dari apa dan bagaimana prosesnya?

PT Berikan Bahari Indonesia adalah produsen susu ikan di Indramayu, Jawa Barat yang membuat proses pembuatan susu ikan.

CEO Berikan Protein Initiative, Maqbulatin Nuha menjelaskan susu ikan diproses dengan teknologi hidrolisat atau proses pemecahan protein secara enzimatis. Ikan utuh akan diproses menjadi bubuk yang mengandung HPI, yaitu ekstrak asam amino esensial dan non-esensial ikan.

“Teknologi hidrolisat protein ini sebenarnya sudah kami riset cukup lama dari 2017 bersama Litbang KKP, di mana goals-nya adalah bagaimana kita menemukan alternatif cara konsumsi ikan untuk orang-orang yang tidak bisa mengonsumsi ikan,” kata Maqbulatin Nuha, Kamis (19/09).

Nuha mengeklaim teknologi hidrolisisi berbasis enzim ini bisa mengurangi aspek bau amis dan alergen (memicu alergi).

“Kami sudah ada uji parvalbumin [komponen utama penyebab alergi] sehingga ini cukup bisa menjadi alternatif baru bagi anak-anak Indonesia agar tetap bisa merasakan manfaat ikan. Ini sebetulnya tujuan utama dari kenapa ada HPI ini,” katanya.

Nuha mengatakan susu ikan telah diluncurkan setahun lalu dan dimanfaatkan untuk program intervensi gizi anak-anak di sejumlah daerah.

Terkait pemberian susu ikan di program MBG, Nuha menyebutkan, sejauh ini masih dalam proses penjajakan.

Meski menjadi satu-satunya pabrik yang memproduksi susu ikan, produksi PT Berikan Bahari Indonesia setiap bulannya mencapai 30 ton HPI dalam bentuk bahan baku atau jika dikemas dalam bentuk botol mencapai 3,5 juta botol.

“Namun perlu kami clear-kan di sini, memang kehadiran susu ikan ini tidak 100% menggantikan susu sapi,” ungkapnya seraya menambahkan susu ikan akan menambal kekurangan susu sapi dalam program pemberian susu gratis yang masih menjadi bagian program MBG.

Teknologi susu ikan, lanjut Nuha, berkonsep go green karena tidak menghasilkan limbah, kecuali air cucian ikan. Daging ikan menjadi bubuk HPI, tulang ikan untuk bahan tambahan pakan ternak, dan minyak ikan diolah menjadi bahan tambahan makanan.

Kandungan susu ikan apa saja?

Bila dibandingkan dengan susu sapi, Nuha mengeklaim, susu ikan memiliki sejumlah keunggulan, yaitu mengandung asam amino yang lebih lengkap, asam lemak tak jenuh atau PUFA (Omega 3 dan Omega 6), mineral (zinc, iron, calcium, magnesium).

Susu ikan juga mengandung EPA dan DHA alami, berbeda dengan susu sapi yang kandungan dua zat tersebut hasil fortifikasi atau tambahan. Di samping itu, protein susu ikan lebih mudah dicerna dan diserap tubuh.

Kendati demikian, Nuha mengakui ada zat tambahan seperti gula, perisa coklat dan stroberi, serta zat tambahan maltodekstrin yang dikenal sebagai zat pengental atau pengawet.

Akan tetapi, Nuha menjamin kadar zat-zat tambahan itu jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan Badan POM dan WHO.

Nuha menjelaskan kandungan gula stevia yang digunakan sebesar delapan gram dan bisa diturunkan menjadi lima gram. Lalu untuk kandungan maltodkestrin tidak lebih dari lima gram per sajian, pewarna karmoisin di bawah 10 miligram per sajian, dan perisa tambahan di bawah 1%.

Nuha mengakui, susu ikan masuk dalam kategori UPF karena prosesnya produksinya panjang dan terdapat zat tambahan. Namun dia mengatakan, susu ikan tidak menggunakan zat tambahan yang berlebihan dan masih dalam batas aman standar Badan POM.

“Walaupun ultra-processed food, tapi ini bisa masuk ke dalam kategori makanan fungsional karena ada kandungan bioaktif yang akhirnya membuat orang yang mengonsumsinya mendapat manfaat kesehatan,” katanya.

Untuk program MBG, jelas Nuha, susu ikan bisa dikemas dalam botol siap minum 125 mm, seharga kurang dari Rp3.000. Untuk produk bubuk seberat 350 gram, di toko elektronik dijual di harga sekitar Rp120.000-an.

TKN Prabowo: ‘Baru wacana’

Wakil Ketua TKN Prabowo Gibran, Silfester Matutina menyebut hingga kini wacana susu ikan belum dibahas baik di Badan Bergizi Nasional, Tim TKN Prabowo-Gibran, maupun Tim Gugus Tugas Sinkronisasi.

“Jadi sebenarnya mengenai susu ikan ini baru wacana. Jadi tidak ada masuk dalam keputusan dari Badan Gizi Nasional,” katanya yang mengakui ikan lebih bagus dikonsumsi langsung daripada diproses menjadi susu ikan.

Silfester mengatakan, wacana susu ikan sebagai alternatif pengganti susu sapi pertama kali diungkapkan Direktur Utama Holding Pangan ID FOOD, Sis Apik Wijayanto saat rapat kerja di DPR pada Rabu (04/09).

“Jadi mungkin beliau yang direktur utama ID FOOD ini hanya sepihak memberikan wacana, tapi tidak masuk dan belum dibahas juga dalam Badan Gizi Nasional,” katanya.

Dikutip dari Detikcom, Wijayanto mengatakan “pengadaan susu dari mega farm butuh dua sampai tiga tahun, yang diusulkan maunya pengadaan awalnya maksimalkan ke peternak lokal di seluruh Indonesia, tapi jika tidak mungkin, ada produk alternatif yang bisa dilakukan sebagai pengganti susu sapi, misal dari ikan ada juga.”

Terlepas dari itu, dia menjelaskan, Badan Gizi Nasional tengah merampungkan struktur organisasi, tata kelola dan rencana kerja.

Sejauh ini, katanya, total penerima program MBG sekitar 15,42 juta jiwa, terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan direncanakan di 514 kabupaten atau kota, dengan anggaran sebesar Rp71 triliun.

“Dan rencananya akan diterapkan itu kalau enggak salah di awal Januari 2025,” katanya.

Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana juga menegaskan, belum ada rencana untuk menggunakan susu ikan dalam program makan bergizi gratis.

"Enggak [ada rencana gunakan susu ikan], kita belum ke arah situ," kata Dadan, Selasa (10/09).

Walau demikian, Dadan menyebutkan bahwa setiap usul yang berkembang akan dipertimbangkan.
Kemandirian protein nasional hingga kesejahteraan nelayan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeklaim hidrolisat protein ikan (HPI) dapat mewujudkan kemandirian protein nasional sekaligus mengangkat kesejahteraan nelayan.

Pada Kamis 12 September 2024, Dirjen PDSPKP KKP Budi Sulistiyo mengatakan HPI dapat meningkatkan asupan protein harian masyarakat yang saat ini baru berada di angka 62,3 gram/kapita/hari, jauh dibanding negara maju yang melampaui 100 gram/kapita/hari.

Selain itu, industri susu ikan akan berkontribusi 1% total kebutuhan susu nasional yang berkisar 4,1 juta ton per tahun. Meski kontribusinya terbilang kecil, kata Budi, dampaknya besar di ekonomi.

"Penyerapan tenaga kerja [195.796 orang] untuk memenuhi atau memproduksi 492.000 ton susu ikan per tahun," ujar Budi Selasa (17/09). 

Budi meyakini program makan siang bergizi gratis diperkirakan membutuhkan bahan baku ikan sekitar 352.000 ton sehingga terjadi perputaran ekonomi mencapai Rp7,05 triliun.

Susu ikan diluncurkan KKP dan Kementerian Koperasi-UKM di Indramayu pada tahun 2023.

Merespons wacana penggunaan susu ikan sebagai alternatif dari susu sapi dalam program makan bergizi gratis, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mendorong produksi susu berbasis ekstrak protein ikan sebagai alternatif.

Menurut Teten, pada Rabu (11/09), inisiatif tersebut juga dapat mengurangi ketergantungan pada impor susu sapi, yang saat ini mencapai 80% dari total kebutuhan.

Pasalnya, katanya, Indonesia sulit untuk swasembada susu karena keterbatasan lahan dan produksi susu sapi perah yang rendah, rata-rata hanya 15 liter per hari. (*)

Tags : Program Makan Bergizi Gratis, Program Prabowo Dikhawatirkan, Program Makan Bergizi Gratis Memicu Polemik, Diet dan Nutrisi, Pangan, Bisnis, Ekonomi, Indonesia, Pemilu 2024, Kesehatan, Keamanan pangan,