PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau terus jalankan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tahun 2022 mendapat target 11.000 hektare (Ha) sedangkan tahun 2023 seluas 10.550 Hektare (Ha).
"Program Peremajaan Sawit Rakyat terus dilakukan di 10 Kabupaten/Kota."
"Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari pemerintah pusat melalui anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," kata Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau, Zulfadli.
Tahun 2022 PSR mendapat target 11.000 hektare (Ha) sebesar Rp330 miliar.
"Program replanting sawit seluas 11.000 hektare anggaran replanting sebesar Rp30 juta per hektare," katanya yang tersebar di 10 kabupaten dan kota se-Riau.
"Luasan replanting merupakan usulan kabupaten/kota yang diteruskan ke pusat. Itu ada 10 kabupaten/kota yang mengusulkan, diantaranya Pelalawan 3000 Ha, Rohil 2000 Ha, Kampar 1500 Ha, Siak 1000 Ha, Rohul 1000 Ha, Kuansing 500 Ha, Inhil 500 Ha, Bengkalis 500 Ha, Inhu 500 Ha, dan Dumai 500 Ha," terangnya.
Sebelumnya pihaknya mengusulkan 14.831 Ha program ke pemerintah pusat. Usulan ribuan Ha PSR tersebar di 10 kabupaten/kota tersebut.
Daerah yang paling luas mengusulkan replanting sawit tahun ini adalah Kabupaten Pelalawan seluas 5.366 Ha. Kemudian disusul Rokan Hilir seluas 2.238 Ha.
Kemudian Kabupaten Kampar seluas 1.630 Ha, Siak seluas 1.134 Ha, Rokan Hulu seluas 1.073 Ha, Bengkalis seluas 1.000 Ha, Indragiri Hilir seluas 1.000 Ha, Indragiri Hulu seluas 600 Ha, Dumai seluas 520 Ha, Kuantan Singingi seluas 299 Ha.
"Usulannya memang 14.831 Ha, namun yang ditetapkan, kita tahun 2022 mendapat target PSR seluas 11.000 Ha," pungkasnya.
Tetapi program PSR tahun 2023 ditargetkan seluas 10.550 Ha untuk 10 kabupaten/kota di Riau. Hanya dua kabupaten/kota yang tidak mendapatkan target PSR yakni Kota Pekanbaru dan Kabupaten Meranti.
"Target PSR di Riau untuk tahun 2023 ini sebesar 10.500 Ha. Target ini tersebar di 10 kabupaten/kota," kata Kabid Produksi Disbun Riau, Vera Virgianti, Senin (15/5).
Adapun target PSR untuk Kabupaten Kampar seluas 1.500 Ha, Rohul 2.000 Ha, Rohil 450 Ha, Pelalawan 3.200 Ha dan Siak 1.000 Ha.
"Kemudian bengkalis 500 Ha, Kuansing 450 Ha, Inhu 500 Ha, Inhil 450 dan kota dumai 500 Ha," sambungnya.
Vera menjelaskan, tujuan PSR merupakan penggantian tanaman kelapa sawit yang sudah tidak lagi produktif dan bukan membuat perkebunan sawit baru.
"Untuk PSR ini pemerintah pusat menganggarkan Rp30 juta per hektare yang sebelumnya Rp25 juta, dimana satu petani maksimal mendapatkan bantuan empat hektare. Dana itu dari BPDPKS yang sumber dananya berasal dari pungutan ekspor," pungkasnya.
Program PSR tahun 2022 banyak petani sawit tak mendapat dana PSR oleh BPDPKS.
"Persyaratan yang diberikan cukup berat. Rata-rata gagal karena persyaratan. Contoh, kebun yang berada dalam kawasan hutan, tidak boleh menerima dana peremajaan. Sementara kebun Riau ini sekarang banyak dalam kawasan hutan. Dulunya putih, sekarang tidak bisa lagi," kata Sekretaris Komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi, Senin (2/1).
Ia menilai, BPDPKS belum serius membantu petani sawit di Riau. Jika dibiarkan, hal ini justru membuka ruang korupsi di bawah.
"Ini seperti ingin membantu tapi digantung. Mereka ini sepertinya tidak serius membantu masyarakat, harusnya kan syaratnya diperingan. Ini bisa jadi objek (korupsi) di daerah, mau tidak bantuan ini, kalau mau beri kami uang," kata Husaimi.
Lanjut dia, sejak diberlakukannya aturan PSR yang baru melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, pengurusan PSR menjadi lebih rumit.
Hal ini terlihat pada Pasal 15 hingga Pasal 50 di mana ada 28 persyaratan dan tahapan yang harus dipersiapkan petani untuk pengajuan PSR. Salah satu kesulitan ini karena syarat yang harus diurus antar lintas sektoral seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) dan lain sebagainya.
Ia menyebut seharusnya Riau mendapat Dana Bagi Hasil (DBH) sawit mengingat CPO komoditas ekspor yang menghasilkan keuntungan nasional terbesar.
"CPO ini harus ada DBH bagi daerah penghasil. Kemarin ada wacana dari Kemenkeu, tapi belum masuk. Ini tinggal digesa, sehingga UU bisa direvisi dan objek DBH itu bisa dimasukkan," kata dia.
Ia mengatakan, perkebunan kelapa sawit dan operasi perusahaan membawa kerusakan tak sedikit di Riau. "Kerusakan jalan karena ODOL, bukan karena tidak dibangun, tapi karena dirusak perusahaan," kata dia.
Solusinya, kata dia, harus ada forum daerah penghasil sawit, sehingga kepentingan terkait sawit bisa diakumulasi. Politisi PPP ini juga mengatakan, hal ini menjadi salah satu misi yang akan dibawanya saat mencalon di DPR RI mendatang. Sebagai anggota legislatif nasional, ia menyebut bisa lebih berperan.
"Saya ingin kita bentuk forum daerah penghasil sawit. Nanti kita 22 provinsi sama-sama bergerak dari parlemen. Jadi kita bisa keras, tapi tetap beradab," kata dia.
Jadi dia meminta agar program PSR merata bagi seluruh petani sawit. Sebab, ia mendapati tidak meratanya pembagian program PSR, di mana yang lebih dominan memperoleh PSR adalah plasma perusahaan, ketimbang petani sawit mandiri.
“Ini ada beberapa kendala, saya kira, di Riau. Bahwa yang dapat program ini kebanyakan adalah plasma, plasma dari perusahaan. Sementara, (plasma untuk) petani sawit mandiri itu masih banyak kendala. Ada juga kendala yang selama ini terjadi yaitu lahan dengan HGU, lahan hutan produksi dan hutan lindung sawit," kata Husaimi.
Terkait hal tersebut, dirinya mendorong agar Program PSR ini cepat tersalurkan, tepat guna, juga tepat sasaran kepada petani sawit yang paling membutuhkan. (*)
Tags : program peremajaan sawit Rakyat, psr di riau, psr dilakukan di 10 kabupaten/kota di riau, psr harus merata untuk petani sawit, news ,