KESEHATAN - Satu dari tiga anak usia 10-17 tahun di Indonesia disebut memiliki masalah kesehatan mental.
Psikolog klinis mengingatkan bahwa ini adalah alarm serius "banyak anak Indonesia yang tidak baik-baik saja".
Data yang berasal dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) itu diambil pada 2022.
Prediksinya tahun 2025 jumlah anak dengan persoalan kesehatan mental bisa meningkat, merujuk kunjungan anak dan remaja ke sejumlah biro psikologi yang naik sekitar 20-30 persen.
Meski kesadaran orang tua dan lingkungan juga meningkat, gejala awal pada anak masih sering kali disalahartikan sebagai "nakal," "malas," atau "manja," alih-alih sebagai tanda masalah kesehatan mental.
Psikolog dan pendidik, Najelaa Shihab, menyampaikan permasalahan kesehatan mental dipengaruhi oleh banyak sekali faktor.
Pengasuhan di rumah, pembelajaran guru di sekolah, interaksi dengan teman sebaya, juga pengalaman dan kecenderungan individual anak dan remaja, bisa mempengaruhi kesehatan mentalnya.
"Sangat penting, sinkronisasi orang tua dan sekolah untuk menjaga kesehatan mental anak dan remaja. Karena masalah di satu konteks bisa tereskalasi di konteks lain kalau tidak ada rencana aksi bersama," ucap Najelaa.
Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara seperti Korea Selatan, Kerajaan Bersatu (United Kingdom/UK), dan Amerika Serikat juga menghadapi problem serupa.
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperkirakan satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami kondisi gangguan kesehatan mental.
Menurut WHO, anak dan remaja dengan kondisi kesehatan mental sangat rentan terhadap pengucilan sosial, diskriminasi, stigma yang bisa berpengaruh pada kesiapan untuk mencari bantuan, kesulitan pendidikan, perilaku berisiko, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Sejumlah orang tua dan anak pun membagikan kisahnya.
Ade (13 tahun) yang Mei lalu baru saja meraih medali perunggu untuk cabang lari di Pekan Paralimpik Pelajar Kota Bandung 2025 pernah mendapat cap pembuat onar. Stigma itu muncul dengan dalih "emosinya yang sukar dikendalikan". Ketika membela diri dari perundungan yang dialaminya, Ade justru disalahkan.
"Dia jadi bahan perundungan teman-temannya, ditarik jilbabnya sampai robek, dicubit. Tapi dibilang Ade duluan dan mereka lebih percaya sama anak-anak itu yang lebih berprestasi. Ade tidak dipercaya," ungkap Nurlinda Lamadi, ibu dari Ade.
Ketidakstabilan emosi yang ditunjukkan Ade disebut sebagai salah satu alasan teman-temannya menjauhi bahkan merundung.
Kondisi emosi ini berpengaruh pada perilakunya yang semakin tidak terkendali ketika mulai duduk di kelas 5 SD.
Ade berani melawan guru, kepala sekolah, dan satpam. Ade juga kerap kabur saat pelajaran berlangsung.
"Saya juga jadi berpikir, 'anak saya benar apa tidak ya.' Setelah kelulusan, baru dikasih tahu selama ini Ade yang kena bullying, ditarik jilbabnya," kata Nurlinda.
"Jadi, ternyata selama ini anak saya ngadu itu benar," sesal ibu tunggal yang suaminya baru meninggal sebulan lalu itu.
Usai lulus SD, Nurlinda memutuskan untuk memeriksakan Ade ke rumah sakit jiwa karena proses belajar di SMP makin terhambat karena kondisi emosi yang tidak terkontrol.
Ade juga kerap mengalami kesulitan tidur walau sudah diberi obat tidur.
"Otaknya kayak berputar terus. Itu bikin dia marah-marah," kata Nurlinda.
Ade sempat didiagnosis ADHD, tapi ledakan emosi yang kerap terjadi saat senang dan marah membawanya pada diagnosis bipolar. Selain bipolar, Ade juga mengalami disabilitas mental ringan.
Dengan kondisi tersebut, Ade rutin diawasi karena terkadang kabur dan mengalami halusinasi.
"Pas lagi di Cibubur, dia nyeberang jalan Trans Cibubur yang delapan jalur karena halusinasi mau cari saya," bebernya.
Bahkan pernah terjadi peristiwa pahit, Ade menjadi korban pelecehan oleh pedagang diminta untuk membuka celananya.
Nurlinda mengakui sudah curiga dengan perkembangan anaknya.
"Sejak kecil, Ade agak beda di sekolah. Tidak bisa mengikuti pelajaran saat itu, tapi kata guru enggak apa karena belum waktunya," ujar Nurlinda.
"Tapi makin lama, teman-temannya memperlakukannya beda dan enggak mau berteman sama dia," tutur Nurlinda sambil mengelus kepala Ade yang menggelendot di sebelahnya.
Perjalanan panjang ditempuhnya dan keluarga selama bertahun-tahun untuk menemukan akar masalah tumbuh kembang putri bungsunya itu.
Hasil pemeriksaan justru melegakan Nurlinda. Ia jadi bisa memberikan penanganan yang tepat. Salah satunya rutin konsultasi ke psikiater sebulan sekali dengan memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan dan terapi obat.
Kini, Ade bersekolah di salah satu SLB di Kota Bandung. Ade mengalami perkembangan karena tidak lagi stres dalam belajar.
Ia juga bisa bersosialisasi karena teman-temannya bisa menerima dan saling membantu. " Tidak jadi olokan lagi."
Prestasi yang diperolehnya pada Pekan Paralimpik Pelajar Kota Bandung 2025 beberapa bulan lalu membuktikan perkembangan Ade.
"Selama ini, dia merasa dia ini masalah. Suka kena bullying. Tapi ketika dipanggil namanya untuk naik podium, dia merasa terharu ke diri sendiri dan bangga pada dirinya. Anak saya bisa juga seperti anak lain dan pasti punya kelebihan," kata Nurlinda.
Ade pun mengaku senang dengan capaiannya sambil menunjukkan medali perunggu yang diperolehnya.
Perjalanan panjang juga dilalui pasangan Mona Ratuliu dan Indra Brasco untuk putri pertama mereka, Davina Shafa Felisha (22) yang akrab disapa Mima.
Mima mengakui gejala awal dirasakan saat anak-anak. Lingkungan yang membuatnya tidak nyaman ketika bersekolah menjadi salah satu pemicu.
"Aku dulu waktu SD tuh agak di-bully juga. Jadi, itu salah satu pemicu kenapa aku bisa mendapatkan serangan panik dulu. Karena aku enggak nyaman sama lingkungan aku," tutur Mima, sapaan akrabnya.
Gejala fisik lebih dominan dirasakan Mima ketika memasuki rentang usia 11-12 tahun.
"Waktu awal, aku ingat tuh Mima kelas 6 SD. Dia itu selalu bilang sakit perut dan sesak napas gitu. Kita bawa ke UGD, diperiksa, bolak-balik beberapa kali karena sesak napas. Hasilnya enggak ada GERD, enggak kenapa-kenapa anaknya," kata Mona Ratuliu, ibu dari Mima.
Mona mengaku sempat bingung. Sebagai orang tua, ia memahami solusi dari keluhan sakit secara fisik pada anak adalah pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter.
Namun, hasil dari kunjungan ke dokter spesialis anak hari itu adalah saran untuk menemui ke psikolog.
Alih-alih menggali penyebab sakit perut dan sesak napas, dokter yang dijumpai saat itu memang lebih banyak bertanya mengenai permasalahan yang mungkin dialami Mima.
Dari persoalan sekolah hingga pertemanan ditanyakan oleh dokter Purnamawati yang merupakan spesialis anak gastrohepatologi.
"Pokoknya yang ditanya tuh tentang permasalahan-permasalahan anak umur segitu. Selesai ke dokter, aku disuruh ke psikolog. Kan aku agak enggak nyambung juga nih. Apa hubungannya. Aku enggak langsung ke psikolog, karena aku ngerasa kayaknya enggak kenapa-kenapa deh ini anak," tutur Mona.
Setelah SMP, Mona baru yakin membawa putri pertamanya itu ke psikolog. Dari tes yang dilakukan, ditangkap ada gejala depresi. Sekitar setahun, Mima rutin ke psikolog bersama ibu dan ayahnya dan kondisinya mulai stabil.
Walakin, gejala gangguan kecemasan dan depresi muncul lagi ketika Mima masuk SMA. Berpindah ke psikolog klinis, rangkaian terapi dijalani sesuai dengan indikasi yang makin mengerucut. Puncaknya ketika pandemi yang mengharuskan setiap orang berada di dalam rumah memicu banyak hal.
"Sampai akhirnya, Mima ada kejadian percobaan suicidal di rumah sekitar jam 3 pagi itu. Dia lari ke kamar kami karena kayaknya panik juga. Dia kasih tahu kalau sedang terjadi. Kami langsung bawa ke rumah sakit. Dirawat hampir seminggu, mulai kelihatan diagnosisnya," jelas Mona.
Mima memperoleh diagnosis bipolar dan dan borderline personal disorder. Kendati demikian, kondisinya masih terus diobservasi.
Mima mengaku kaget dengan hasil diagnosis itu, tapi ia justru merasa lebih tenang dan bisa melakukan terapi yang tepat pasca mendapat diagnosis.
"Jadi, dari umur aku 11 tahun sampai 19 tahun itu, aku belum pernah mendapatkan diagnosis yang pasti. Enggak ada jawabannya tuh buat aku stres. Perasaan aku capek karena enggak ada treatment yang tepat, jawaban yang tepat, enggak ada kepastian. Ke psikolog membaik, tapi nanti siklusnya berulang terus," kata Mima.
Ketidakpastian dan gejala yang berulang ini mengarah pada tindakan menyakiti diri sendiri yang sempat terjadi beberapa kali sebelum percobaan bunuh diri ketika usianya 19 tahun.
"Aku kayak enggak suka aja gitu dengan kehidupan ini dan tanpa alasan yang tertentu juga. Jadi, ngerasanya enggak nyaman aja dengan hidup walaupun Bunda Yanda yang sangat baik dan lain-lain, cuma secara pribadi tuh ngerasa tidak nyaman dengan kehidupan ini, dengan diri aku sendiri," tutur Mima.
Mona mengaku mengetahui tindakan menyakiti diri yang dilakukan Mima ketika dirinya dan Indra diundang konselor sekolah.
Ia memahami sulit bagi Mima langsung menjelaskan kepada kedua orang tuanya. Perantara konselor sekolah ini rupanya membantu proses dan pilihan langkah lanjutan.
Sepakat dengan Mona, pandemi serasa menjadi puncak. Saat itu, keluarganya masih tinggal di apartemen. Mima juga memiliki tiga adik yang rupanya berpengaruh juga pada kondisinya.
"Aku enggak punya privasi sendiri. Dengan banyak adik kayak mempengaruhi stres, rumahnya penuh banget. Sekarang, udah tinggal di rumah, udah ada privasi sendiri. Aku tipe orang yang butuh ruang sendiri dan enggak bisa safe space aku dimasuki orang lain. Sekarang ngerasa lebih nyaman. Tetap komunikasi dengan adik-adik, tapi aku punya ruang sendiri," tuturnya.
Mima juga rutin menjaga kesehatan mentalnya dengan melakukan berbagai kegiatan yang kemudian disebut sebagai mental hygiene. Dari menjaga asupan makan dan jenisnya, olahraga, dan memilih lingkungan yang positif.
Bagaimana mendeteksi gejala awal?
Pemilik Rumah Pengembangan Diri dan Stimulasi Anak Kemuning Kembar, Anggiastri Utami menjelaskan "gangguan kesehatan itu berproses". Pada kisaran usia 7-10 tahun, permulaan gejala bisa mulai terdeteksi.
"Ketika anak-anak, bisa jadi sebenarnya baru permulaan saja. Kemudian kan berproses. Misal, dia mengalami kekecewaan, kecemasan, atau apa. Dari situ, tapi kemudian menumpuk, tidak selesai, muncul impactnya. Bisa depresi, gangguan kecemasan," ungkap Anggi.
Ketika memasuki usia praremaja atau 10 tahun ke atas, perilaku nyata yang mengarah ke indikasi gangguan kesehatan mental mulai muncul.
Namun, ada beberapa gejala awal yang dapat diperhatikan pada anak sebelum masuk usia praremaja. Selain gejala fisik, gangguan belajar juga bisa dipertimbangkan sebagai pertanda.
Meski kadang gangguan belajar ini bisa mengarahkan pada hasil lain di luar gangguan kesehatan mental.
Kemudian, kebiasaan anak yang ceria tapi berubah murung setidaknya dalam dua hari terakhir dan mulai menarik diri ini merupakan sinyal. Namun, jika anak tersebut bukan tipe yang ceria dan ramai, maka gejala awal yang terlihat adalah kecenderungan menyendiri dan tidak mau bergabung dengan temannya.
"Ini kita harus awas. Sebenarnya kalau sudah sampai di tahap itu, biasanya yang dia alami sudah cukup membebani," ujar Anggi.
Sekretaris Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia, Dian Sudiono Putri, menyebut orang tua sebaiknya mengetahui kepribadian anak.
Merujuk pengalaman dan teori yang dipelajarinya, Dian bilang anak-anak yang tidak percaya diri biasanya sulit mengartikulasikan yang sedang dirasakan. Anak-anak ini punya kebiasaan memendam perasaan.
Akibatnya, mereka rentan menjadi korban kekerasan bahkan hingga masuk fase remaja dan dewasa. Toleransi stresnya juga rendah sehingga sukar menerima tekanan yang ujungnya bisa mengarah pada depresi hingga keinginan bunuh diri.
"Kecenderungannya menarik semua ke dalam diri sehingga sibuk dengan pikirannya sendiri," ucap Dian.
Hal ini sejalan dengan yang dialami Mona Ratuliu dan Mima. Ia menyadari anaknya sulit mengeluarkan emosinya.
"Kalau Mima, emosinya disimpan di dalam, kalau bisa orang-orang enggak perlu tahu aku sedih, enggak perlu tahu aku lagi marah gitu. Jadi, kan disimpan di dalam, kantong emosinya ini penuh. Akhirnya, butuh psikolog untuk membantu mengeluarkan," kata Mona.
Gejala lain yang bisa menjadi indikasi berupa nafsu makan yang berkurang, insomnia, dan konsentrasi yang buruk sehingga kualitas hidup menurun.
Bahkan gejala kecemasan dan depresi ini juga bisa menjadi tanda adanya gangguan kesehatan mental lain.
Lalu apa penyebabnya?
Dian menyebut pengalaman buruk di sekolah seperti perundungan menjadi salah satu pemicu gangguan kesehatan mental pada anak.
Pengalaman itu, kata dia, bahkan bisa memperburuk kondisi mental anak yang sudah menunjukkan gejala awal karena faktor lain, seperti yang dialami Ade.
Pola asuh di rumah, lingkungan di sekolah, kecanduan gawai, trauma, kekerasan, kepribadian, hingga faktor kesehatan mental lain bisa memantik gangguan kesehatan mental ringan hingga berat. Menurut Dian, tiap anak memiliki pencetus yang berbeda-beda.
Akan tetapi, berbicara pola asuh ini juga menjadi tantangan tersendiri. Dian menyinggung perdebatan yang terjadi di dunia maya mengenai "gaya asuh VOC" yang cenderung keras dan metode gentle parenting yang lebih lembut dengan disiplin positif.
"Ini kembali lagi pada kepribadian anak. Ada kasus, orang tuanya sangat demokratis pada anak, tapi rupanya anak malah kebingungan harus gimana. Dia butuh diarahkan, dibimbing, bahkan kadang didorong untuk mau mencoba. Ini butuh 'metode VOC' ya sepertinya, walau bukan bagian membentak dan lain sebagainya ya," ujar Dian.
Dian berkata, dia juga pernah menemui anak dididik dengan keras tapi malah anak jadi mudah stres dan penakut. Karena itu, pola asuh penting disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, 33,64% anak mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih (fisik, emosional, atau seksual) dalam 12 bulan terakhir.
Survei dilakukan terhadap anak usia 13-17 tahun (laki-laki dan Perempuan) di 15.120 sampel di 1.512 blok sensus, yang tersebar di 189 kabupaten/kota di Indonesia.
Paling banyak terjadi adalah kekerasan emosional—pelakunya 54,65% orang dewasa dan teman sebaya, serta 29,66% oleh sebaya saja.
Bentuk kekerasan emosional yang dilakukan oleh orang tua, berupa bentakan, ancaman, dan intimidasi. Bentuk kekerasan emosional yang dilakukan oleh teman sebaya berupa lelucon, komentar atau gerakan tidak senonoh.
Ini bisa berkaitan dengan kondisi fisik dan mental, kemampuan belajar, ras, suku, agama, hingga situasi keluarga. Kekerasan emosional ini tidak melulu di sekolah, tapi bisa juga terjadi di ruang digital sehingga orang tua perlu peka.
Pemilik Rumah Pengembangan Diri dan Stimulasi Anak Kemuning Kembar, Anggiastri Utami menyebut potensi genetik juga berpengaruh. Di psikologi, ia menjelaskan ada genogram yang menyerupai pohon keluarga.
Melalui ini, klien biasanya diminta untuk melacak hingga garis keturunan ketiga atau keempat ke atas. Ini dilakukan untuk menemukan pola.
Tidak hanya pola perilaku yang menunjukkan kecenderungan gangguan kesehatan mental, tapi juga pola interaksi antar anggota keluarga.
Dari pelacakan ini, pola konflik yang berulang juga bisa dilihat dan berpengaruh pada pola emosi yang berulang karena dampak dari trauma transgenerasional.
Sementara itu, Mima yang didiagnosis bipolar dan borderline personal disorder menyampaikan fase depresi dan cemas yang dialaminya bisa tiba-tiba terjadi. Bahkan masa-masa awal gejala, Mima bisa merasakan sesak napas meski berada di ruangan terbuka.
"Seperti claustrophobic, padahal di ruang yang terbuka. Kadang jelas pemicunya, kadang enggak juga," ucap Mima.
Apakah kondisi ekonomi berpengaruh?
Menurut Sekretaris Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia, Dian Sudiono Putri, anak-anak yang mungkin berada di lokasi tinggal yang kurang berkembang sosial ekonominya memiliki potensi besar mengalami gangguan kesehatan mental.
Anak-anak dalam lingkungan ini rentan mengalami kekerasan. Tingkat stres orang tua yang tinggi karena kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari berakibat anak-anak menjadi pelampiasan lelah dan rasa kesal.
Mengutip dari Children & Young People Now, generasi muda usia 11-24 tahun mulai khawatir dengan kondisi keuangan.
Mereka merasa resah, stres, dan tidak bahagia karena cemas mengenai finansial keluarga yang kelak berdampak pada mereka dari berbagai sisi.
Ancaman tidak bisa melanjutkan pendidikan, perundungan, hingga potensi beban finansial yang harus mereka tanggung memicu gangguan kesehatan mental.
Dalam laporan Children's Commisioner for England 2023/2024, kondisi ekonomi ini juga berdampak pada upaya mencari bantuan profesional untuk mengatasi persoalan kesehatan mental.
Kendati demikian, di Indonesia, mengacu data dari Kementerian Kesehatan berdasarkan Survei Kesehatan 2023, persentase anak dan remaja yang tertinggi mengalamai depresi dan gangguan kesehatan mental berada pada kalangan menengah ke atas yakni sebesar 6,1% dengan rincian: 2,2% golongan teratas, 2,0% menengah, dan 1,9% menengah atas.
Untuk status ekonomi terbawah, ditemukan 1,8% dan 1,7% dari menengah bawah.
Apalagi pasca pandemi, dampak ikutan ini makin terasa. Dian mengakui jumlah konseling yang dilayaninya makin bertambah.
Bahkan ketika terjun bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), kasus kekerasan yang menimpa anak meningkat. Salah satu pemicunya dari kebuntuan mengenai persoalan ekonomi yang dialami orang tua.
Dian pun menyampaikan, meski tidak semua, tapi ini menandakan "kondisi anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja".
Bagaimana mengatasinya?
Keluarga disebut merupakan benteng utama. Dian mengatakan orang tua harus belajar obyektif dan bersedia mendengar.
"Orang tua harus menyiapkan telinga lebih lebar untuk mendengar cerita anak. Relasinya harus dua arah. Bukan hanya memberi tanpa bisa mendengar," ujar Dian.
Di sisi lain, resiliensi anak harus dibangun. Salah satunya adalah mulai menerapkan teori sebab-akibat dan bukan menyalahkan orang atau hal lain.
Dian memberi contoh, ketika anak jatuh di lantai karena berlari-lari, maka solusinya bukan menyalahkan lantai, melainkan mengobati anak dan menjelaskan ada dampak sakit yang harus dirasakan beberapa hari ke depan.
Resiliensi ini juga berkaitan dengan tanggung jawab. Contohnya, ketika anak lupa sesuatu untuk dibawa ke sekolah, orang tua tidak perlu buru-buru mengambil tindakan.
"Ada satu anak sampai punya 12 dasi di rumah, karena tiap ketinggalan solusinya beli lagi. Ini justru memupus kemampuan solutif, bertahan dalam kesulitan, dan menerima risiko. Anak malah diajari mengakali aturan untuk menghindari hukuman," kata Dian.
Pemilik Omah Perden, Anggiastri Utami, juga menyampaikan anak bukan refleksi ambisi orang tua. Untuk itu, anak-anak perlu diberi pilihan dan diarahkan untuk mengembangkan minat dan bakatnya sendiri.
Kebutuhan bermain bagi anak-anak usia dini hingga sekitar 7 tahun juga harus dipenuhi dengan cukup, bukan malah memberi tuntutan akademis.
Penggunaan gawai juga perlu diatur oleh orang tua. Kejadian tahun lalu, seorang anak di Cirebon didiagnosis depresi karena gawainya dijual oleh ibunya. Kecanduan gawai ini harus ditanggulangi karena berpotensi menggerus mental anak.
Nurlinda Lamadi mengungkapkan kerja sama sesama anggota keluarga sangat membantu menemani anaknya, Ade, yang mengalami gangguan kesehatan mental. Selain membantu mengawasi, salah seorang kakak Ade, yaitu Maira (14 tahun) setia menjadi teman bermain dan menjaga adiknya. Ini, kata Nurlinda, membantu kondisi Ade.
Mona Ratuliu juga selalu meyakinkan Mima, putrinya, bahwa dirinya selalu siap mendengar apapun dari Mima.
Mona pun rutin tiap pekan menanyakan keadaan Mima. Sebab, kata Mona, usia praremaja dan remaja ini cukup menantang: mereka tidak suka terlalu sering ditanya-tanya. Akan tetapi, kadang ketika benar ada masalah, mereka itu lebih suka ditanya ketimbang langsung bercerita.
"Jadi, memang harus benar memahami anak. Aku sampai bikin checkpoint seminggu sekali,” ujarnya.
“Kalau di Mima ini, dia anaknya ternyata khawatir kalau mau cerita malah jadi ganggu Bunda, karena Bunda sibuk atau lagi urus adik. Dia enggak mau tambah beban Bunda. Jadi, aku yang meyakinkan dia dengan proses panjang kalau aku ready kapan pun untuk dia," kata Mona.
Mona juga menyarankan orang tua untuk tidak mengecilkan pengalaman dan perasaan anak. Pernah pada suatu momen, kata Mona, Mima panik dan cemas karena teman yang hendak ditemuinya justru berencana membawa teman lain dalam pertemuan tersebut. Mona sempat heran kenapa hal itu menjadi masalah besar.
"Buat aku bukan masalah kan, ternyata itu masalah buat dia. Kadang kita ngerasa 'ah gitu doang', ternyata itu masalah besar buat anak. Bahkan sesederhana batal bertemu teman itu juga bisa jadi sedih. Ini yang harus dipahami orang tua dan tidak mengecilkan persoalan yang dialami anak," kata Mona.
Mima pun mengatakan keluarga, terutama Bunda dan Yandanya, adalah sistem pendukung utama dan pertama baginya. Mima bisa bercerita apapun pada mereka tanpa dihakimi.
Dukungan itu yang membantunya bertahan. Kini, ia tengah menyelesaikan skripsinya di bidang psikologi dan sibuk magang menjadi penulis di pelantar media daring, USS. Ia juga aktif melakukan advokasi di bidang kesehatan mental.
Apa kaitan dengan sekolah?
Psikolog dan pendidik, Najelaa Shihab menjelaskan sekolah dan rumah berperan mengaktivasi proses yang sesuai dengan aspek perkembangan anak sesuai usianya. Pendidik, baik orang tua maupun guru, adalah "pendidik yang penumbuh, bukan penghambat", sebut Najelaa.
"Perlu ada koneksi yang kuat dan penuh empati, sekaligus interaksi menyenangkan dengan anak di usia berapa pun. Perlu pola disiplin yang positif tanpa ancaman dan kekerasan, serta perlu dukungan di proses belajar anak yang efektif sesuai minat, bakat dan aspirasinya," ucap Najelaa.
Kadang, penyebab gangguan kesehatan mental hingga depresi pada anak dan remaja, berkaitan dengan capaian akademis yang dibebankan baik dari orgtua maupun sekolah - yang tidak sesuai dengan kesiapan anak, dan menyebabkan ia merasa gagal bahkan kehilangan motivasi untuk mencoba.
Ia mengingatkan pendidikan bukan cuma tentang persekolahan. Secara utuh, ia menilai perlu kolaborasi menumbuhkan sistem yang berpihak kepada anak dan mendukung aspek tumbuh kembang.
Konteks ini perlu menjadi pertimbangan utama dalam menyusun kebijakan yang sampai ke praktik di ruang kelas dan ruang keluarga, layanan kesehatan, dan sistem-sistem lain yang memengaruhi kehidupan anak, termasuk dunia digital.
Sekretaris Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia, Dian Sudiono Putri, konsep kegiatan sekolah juga bisa dirancang yang mengembangkan komunikasi dua arah. Menurut dia, perlu dimodifikasi agar anak ikut aktif, terpacu berinovasi, dan terbangun percaya dirinya dengan apresiasi.
Pemilik Rumah Pengembangan Diri dan Stimulasi Anak Kemuning Kembar, Anggiastri Utami menilai "ada ketidakmatangan sistem sekolah yang mengorbankan anak".
Guru sudah kadung stres dengan penerjemahan kurikulum yang berubah. Kondisi ini berdampak pada anak karena tidak bisa membantu anak-anak dengan optimal. Jangan kan memantau mental anak, mengajar pun pada akhirnya menyelesaikan target kurikulum saja.
"Beban sekolah yang terlalu tinggi, mereka sebagai anak untuk bermain tidak terfasilitasi. Yang penting yang dituntut adalah nilainya sesuai lulus standar minimal lah dan lain sebagainya. Pada beberapa aspek, ternyata tidak semua anak cocok dengan model pembelajaran seperti itu," kata Anggi.
Di Korea Selatan, data Komite Pendidikan Majelis Nasional menemukan 270.625 pasien di bawah usia 18 tahun mengunjungi klinik psikiatri antara Januari dan November 2024. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari 133.235 kasus pada tahun 2020.
Jumlah pasien psikiatri anak telah meningkat tajam dari tahun ke tahun: 172.441 pada tahun 2021, 212.451 pada tahun 2022, dan 244.884 pada tahun 2023, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 19,4 persen.
Peningkatan paling tajam terjadi di antara anak-anak berusia 7 hingga 12 tahun. Para ahli mengatakan peningkatan ini berhubungan dengan tekanan akademik, tekanan ujian masuk, dan kesulitan dengan hubungan keluarga atau teman sebaya sehingga mereka didiagnosis depresi dan gangguan kecemasan.
Apa langkah pemerintah?
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi menyampaikan Kementerian Kesehatan telah memiliki langkah promotif dengan mendorong pengasuhan positif.
Pelatihan pengasuhan positif ini sudah dilakukan di 341 kabupaten/kota di 38 provinsi melalui dinas terkait. Bahkan di Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli, sosialisasi pengasuhan positif dan modulnya bisa digelar.
Selain itu, tersedia Pertolongan Pertama pada Luka Psikologis. Sebanyak 17.076 orang dilatih menjadi first aider pada 2024. Tahun ini, target sebanyak 650.000 first aider dilatih.
Skrining kesehatan jiwa juga sudah tersedia di puskesmas. Sebanyak 4.873 puskesmas di Indonesia mampu memberi layanan kesehatan jiwa. Sayangnya, masih ada 10,4% kaum muda usia 15-24 tahun yang belum mau mengakses bantuan profesional dan memilih cara sendiri mengatasi kesehatan mentalnya.
Meski Imran berharap layanan kesehatan ini makin meningkat jumlah dan pelayanannya.
Di Inggris, peningkatan anak dan remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental ini berdampak pada antrean akses layanan kesehatan jiwa. Data dari Children' Commissioner di Inggris periode 2023/2024, jumlah antrean meningkat 50.000 anak dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat 270.000 anak.
Secara terpisah, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu, mendorong Pelayanan Ramah Anak dan Remaja di di Puskesmas. Skrining kesehatan jiwa juga sebagian dapat diakses gratis.
Pribudiarta juga menuturkan keberadaan Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA) yang memiliki empat konsep, antara lain:
Selain itu, ada Pusat Pembelajaran Keluarga yang bisa membantu para orang tua dan guru menerapkan pengasuhan positif pada anak.
Upaya lain melalui Forum Anak. Dengan peran sebagai 2P (Pelopor dan Pelapor), anak diharapkan dapat menginspirasi dan memotivasi teman sebaya dalam hal kebaikan dan mewujudkan impian, menciptakan anak-anak tangguh, serta mewujudkan ruang aman.
Forum Anak saat ini ada di 34 provinsi, 486 kabupaten/kota, 3.073 kecamatan, dan 13.273 desa/kelurahan.
"Bersama Save The Children, kami juga mengembangkan program First Click bentuk respon isu keamanan digital untuk anak," ucap Pribudiarta.
Kemudian, pembentukan digital youth council (DYC) yang terdiri dari anak dan remaja yang dibentuk untuk memerankan anak dan remaja sebagai agen perubahan, yang tidak hanya melihat anak dan remaja terbatas sebagai korban berbagai kasus kekerasan di dunia digital.
Ada juga pengembangan Modul Kompetensi Digital Terintegrasi Dengan Kesehatan Mental yang bertujuan mencegah anak dan remaja mengalami gangguan mental akibat aktivitas digitalnya.
Pembangunan Kota Layak Anak yang sudah berjalan di 450 kabupaten/kota juga terus dilanjutkan. Berikut indikator Kota Layak Anak:
Psikolog dan pendidik, Najelaa Shihab, menyebut hubungan yang kuat dengan anak menciptakan lingkungan dan ruang yang aman bagi anak.
Najelaa berkata, orang tua dan guru juga patut menjadi figur yang dipercaya oleh anak untuk terbuka dalam mengomunikasikan yang dialami, dirasakan, dipikirkan. Pemerintah wajib membangun sistem yang ramah anak.
Dengan pondasi koneksi ini, Najelaa menyebut anak bisa diberi tantangan yang sesuai. Anak belajar dan tumbuh kalau ia berhasil melewati situasi sulit dan merasakan sukses.
"Bisa dengan mengajak anak menetapkan target, melakukan self assesment dan terus menekankan pentingnya proses bukan hanya berfokus pada hasil," ujar Najelaa.
"Kita tidak ingin anak kita cepat menyerah atau menghindari yang susah, tapi anak yang terus memilih berkomitmen pada apa yang menjadi tujuan belajarnya dan mandiri dalam mencapainya," ujarnya. (*)
Tags : anak-anak, remaja, kondisi mental anak remaja, kesehatan anak remaja, kondisi kesehatan dan mental anak remaja tidak baik-baik saja,