"Pemerintah Indonesia didesak untuk segera melakukan evaluasi pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) di tengah meningkatnya kasus Covid-19, khususnya yang disebabkan oleh varian Omicron"
rang tua murid dan perhimpuan guru melihat, pelanggaran protokol kesehatan (prokes) saat PTM 100% yang dihadiri seluruh siswa kerap terjadi sehingga berpotensi terjadi penularan, di tengah varian Omicron Covid-19 yang memiliki kecepatan penularan.
Kalangan praktisi kesehatan melihat PTM tidak lagi aman karena tingkat kasus positif di Indonesia melampaui 10%, ditambah, di beberapa negara, proporsi anak dirawat akibat varian Omicron lebih banyak dan adanya potensi anak mengalami komplikasi berat jika terinfeksi.
Data LaporCovid-19 menunjukkan, sepanjang Januari 2022, dari 60 laporan pelanggaran prokes, sekitar sepertiga atau 22 pelanggaran terjadi di satuan pendidikan.
Pelanggaran itu di antaranya berupa ketidakdisiplinan penggunaan masker, ketidaksiapan sarana dan prasarana, kerumunan murid dan orang tua, hingga jam pelajaran yang melebihi ketentuan.
Pemerintah memastikan tetap melaksanakan PTM 100% dengan pengawasan ketat, dan jika ditemukan kasus positif saat PTM berlangsung, sekolah segera melakukan langkah mitigasi.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebelumnya menilai kebijakan PTM memerlukan perhatian khusus karena puncak penyebaran varian Omicron diperkirakan terjadi pada Februari 2022 hingga awal Maret 2022.
'Ada murid positif, sekolah masih masuk'
Indah, yang identitasnya tidak ingin disebutkan, adalah orang tua siswi sekolah dasar di Jawa Barat. Ia bercerita, di sekolah putrinya terdapat seorang murid yang terinfeksi Covid-19. Namun, ia mengaku, kegiatan pembelajaran tatap muka tetap dilaksanakan.
Sejumlah siswa mengikuti pembelajaran tatap muka.
"Kemarin dapat info ada anak kelas dari lain positif. Tapi hari ini, anak saya tetap masuk sekolah, dan kondisi sekolah normal-normal saja, tetap PTM, tidak diliburkan," kata Indah dirilis BBC News Indonesia, Kamis (27/01).
Kejadian itu membuat Indah khawatir akan kondisi anaknya. "Tadi malam saya minta anak untuk harus selalu pakai hand sanitiser, selalu pakai masker. Saya deg-degan karena kelasnya tidak jauh," ujarnya.
"Kalau seperti ini menurut saya lebih baik PJJ, kan tetap belajar juga dari rumah, daripada kenapa-kenapa. Karena anak-anak tidak tahu, tiba-tiba ketemu teman, lupa masker, dan lainnya," kata Indah.
Kekhawatiran sama juga diungkapkan oleh Diah, ibu seorang murid di sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta. Diah mengatakan, di sekolah anaknya, terdapat seorang murid yang positif Covid-19 karena menghadiri pesta ulang tahun lalu mengikuti kegiatan latihan dasar kepemimpinan OSIS di sekolah.
Sekolah, kata Diah, bertindak cepat dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari rumah hingga 4 Februari mendatang dan melakukan penelusuran pihak-pihak yang berkontak, sehingga tidak menulari banyak pihak.
"Hari itu juga, guru, karyawan dan murid yang kontak dites antigen semua. Untungnya tidak kebobolan menularkan siswa lain di sekolah, bagaimana jika tidak diketahui? Kami deg-degan tiap hari," kata Diah.
Diah menyadari, PTM penting untuk kondisi mental dan pengetahuan anaknya, tapi jika dilakukan secara 100% di tengah meningkatnya kasus Covid, ia menolak.
Senada, orang tua murid lain di tingkat SMA, Agustina, berharap agar pemerintah mengevaluasi PTM 100%. "Sekarang ada Omicron yang cepat sekali menular, jadi sekolah bisa dilakukan bergilir dengan kapasitas 50%. Pendidikan penting, tapi kesehatan juga penting. Pemerintah harus rutin mengambil tes acak agar mengetahui kondisi setiap saat," katanya.
'Was-was saat mengajar'
Hari Kamis 27 Januari 2022, pemerintah melaporkan peningkatan 6.427 kasus Covid, dengan kasus tertinggi di DKI Jakarta sebesar 4.149 kasus.
Atau dalam seminggu terakhir, menurut data Satgas Penanganan Covid-19, wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten menyumbangkan 90,4% atau 13.316 kasus dari total 14.729 kasus.
Di tengah peningkatan kasus tersebut, terdapat 90 sekolah di Jakarta yang menghentikan kegiatan PTM 100% karena ditemukan kasus Covid-19.
Walaupun demikian, hingga kini pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta masih menjalankan kegiatan PTM 100%.
Wakil Kepala Sekolah SDN Johor Baru 10, Jakarta, Srinatin, mengaku sedikit khawatir saat mengajar, walaupun sekolahnya telah melaksanakan prokes ketat, seperti pengecekan suhu, cuci tangan, pelindung muka, masker, hingga jaga jarak di sekolah.
"Kekhawatirannya jika anak-anak membawa atau tertular virus dari luar sekolah. Kami was-was sebagai guru, karena menghadapi sekian banyak siswa yang penuh 100%," kata Srinatin.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan guru dan orang tua murid merasa sangat khawatir dengan peningkatan kasus di Indonesia, khususnya di Jakarta dan wilayah aglomerasinya (berdekatan yaitu Jabodetabek).
"Jadi saat mengajar, sebenarnya pikiran kami, ini aman tidak ya, kekhawatiran dan kecemasan itu mempengarui bagaimana kami mengajar di kelas, termasuk anak-anak juga," kata Satriwan.
Lemahnya pengawasan
Menurut data yang dihimpun P2G, ada beberapa sekolah di Jakarta sudah menghentikan PTM 100% sebanyak 2 kali, hanya dalam jarak waktu dua minggu, karena berulang siswa dan gurunya positif Covid-19.
Jakarta melakukan PTM 100% karena berada di PPKM level 2, di mana dalam SKB 4 Menteri tentang PTM mengatur (wilayah PPKM level 1-2), di antaranya:
Menurut Satriwan, pelanggaran prokes di banyak wilayah lain masih sering terjadi, seperti di Jakarta, Pandeglang, Situbondo, Agam, Bogor, Bima dan lainnya - berupa tidak memakai masker dan jaga jarak satu meter, hingga kantin masih dibuka.
"Pelanggaran kerap terjadi karena pengawasan, penindakan ke sekolah lemah baik dari satgas dan dinas terkait. Kami minta dilakukan sidak, pasti akan ditemukan banyak pelanggaran," kata Satriwan.
Untuk itu, Satriwan mendesak kepada pemerintah untuk kembali pada skema PTM terbatas 50%, dengan metode pembelajaran blended learning (sebagaian belajar dari rumah dan dari sekolah).
Seorang anak sedang mencuci tangan bersama selama Hari Cuci Tangan Sedunia 2020. (Foto. Getty Images)
"Kami mendesak untuk segera kembali ke PTM 50% dengan blended learning. Metode ini cukup efektif mencegah learning loss sekaligus life loss," pinta Satriwan.
'Pembiaran murid terinfeksi'
Keputusan pemerintah yang tetap melaksanakan PTM 100%, menurut tim advokasi dari lembaga pemantau LaporCovid-19, Yemiko Happy, merupakan bentuk pembiaran.
"Saya melihat ini sebagai bentuk pembiaran, kesengajaan oleh pemerintah, anak-anak terkena Covid, dan mengalami komplikasi pascaCovid dengan tidak mengubah PTM 100%," kata Yemiko.
Yemiko menambahkan, berdasarkan laporan yang dihimpun LaporCovid-19, per Januari 2022 saja terdapat 60 laporan pelanggaran prokes.
"Dari total itu, 22 pelanggaran prokes atau 1/3 terjadi di satuan pendidikan, yang didominasi jenjang SMA dengan 15 pelanggaran, SMP tiga dan SD empat pelanggaran," kata Yemiko.
Yemiko menjelaskan pelanggaran yang terjadi di antaranya, ketidakdisiplinan penggunaan masker, ketidaksiapan sarana prasarana, kerumunan di luar dan dalam sekolah, pelanggaran jaga jarak, hingga jam pelajaran yang melebih ketentuan.
"SKB 4 Menteri secara abstraksi, konsep, sistem itu bagus, tapi dalam pelaksanannya tidak disertai pengawasan dan ketegasan pemerintah sehingga marak terjadi pelanggaran. Dari pada infeksi meningkat, PTM perlu dievaluasi dan dilakukan PJJ hingga kasus menurun," kata Yemiko.
Senada, anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani meminta pemerintah untuk mengevaluasi PTM 100%. "Kita memang khawatir terjadi learning loss yang disebabkan terlalu lamanya masa PJJ. Akan tetapi, risiko ini harus dihadapi karena kesehatan peserta didik jauh lebih penting dari apapun juga," kata Netty dalam keterangan media.
PTM kini disebut 'tidak lagi aman'
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djurban, dalam akun Twitternya mengatakan sekolah tatap muka kini tidak lagi aman.
Ia menambahkan, bagi daerah zona merah Covid-19 untuk kembali ke sekolah virtual, dan yang positivity rate-nya rendah masih dimungkinkan untuk tetap PTM.
Selain itu, lima organisasi profesi medis juga meminta pemerintah mengevaluasi PTM, khususnya pada kelompok usia kurang dari 11 tahun.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Indonesia Intensif Indonesia (PERDATIN), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI), serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengajukan surat permohonan evaluasi pemerintah.
Pertimbangannya adalah kepatuhan anak usia 11 tahun ke bawah terhadap protokol kesehatan masih belum 100%, dan belum tersedianya vaksinasi anak di bawah 11 tahun.
Sejumlah siswa mengikuti pembelajaran tatap muka, Selasa (04/01). (Foto.Getty Images
"Laporan dari beberapa negara, proporsi anak yang dirawat akibat infeksi Covid-19 varian Omicron lebih banyak dibandingkan varian-varian sebelumnya," kata Ketua Umum PDPI Agus Dwi Susanto.
Ditambahkan oleh Ketua Umum PERKI, Isman Firdaus, "anak potensial mengalami komplikasi berat yaitu multisystem inflammatory syndrome in children associated with Covid-19 (MIS-C) dan komplikasi long Covid-19 lainnya".
Pemerintah tetap melanjutkan PTM 100%
Dilansir dari situs Kominfo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai kebijakan PTM memerlukan perhatian khusus karena puncak penyebaran varian Omicron diperkirakan terjadi pada Februari 2022 hingga awal Maret 2022.
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI Abetnego Tarigan, dalam keterangan pers, mengatakan pemerintah tetap melanjutkan PTM 100% dengan pengawasan ketat dan memprioritaskan kesehatan anak.
Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbudristek, Jumeri terkait evaluasi PTM, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti mengatakan PJJ yang dilakukan pada masa awal pandemi ternyata banyak menimbulkan dampak negatif, terjadi penurunan kemampuan belajar yang sangat mengkhawatirkan selama 1 tahun awal pandemi.
Hasil studi yang dilakukan pemerintah menunjukkan kesenjangan pembelajaran antara anak-anak dari kelompok keluarga kaya dengan keluarga kurang mampu semakin meningkat yaitu mencapai 10%.
Selain itu anak-anak yang putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar juga meningkat 10 kali lipat dibanding dengan tahun 2019. Kasus pernikahan di bawah umur hingga kasus bullying pun semakin meningkat.
Siswa SMP Muhammadiyah 1 Solo sedang mengikuti simulasi pembelajaran tatap muka pada Jumat (19/03/21). (Foto. ANTARA)
Sebelumnya, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan jika ditemukan kasus positif saat PTM berlangsung, sekolah segera melakukan langkah mitigasi.
"Penghentian sementara PTM sekurang-kurangnya dua minggu pada satuan pendidikan atau sekolah yang memiliki klaster penularan Covid-19 di satuan pendidikan tersebut. Angka positivity rate hasil surveilans epidemiologis sebesar 5% atau lebih, atau warga satuan pendidikan yang masuk dalam notifikasi hitam pada aplikasi PeduliLindungi sebanyak 5% atau lebih," kata Wiku.
"Kemudian, kegiatan pada sekolah dengan kriteria tersebut dilaksanakan dengan pembelajaran jarak jauh," kata Wiku. (*)
Tags : Pembelajaran Tatap Muka, PTM Sekolah Mulai Dikhawatirkan, Kasus Covid Kembali Naik, Orang Tua Deg-degan dan Guru Was-was,