JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto tengah menyiapkan Pulau Galang di Kepulauan Riau untuk menjadi tempat pengobatan bagi 2.000 warga Gaza, Palestina, yang terluka.
Rencana itu diungkapkan Prabowo dalam Sidang Kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (06/08).
"Presiden kemarin juga memberikan arahan untuk Indonesia memberikan bantuan pengobatan untuk sekitar 2.000 warga Gaza yang menjadi korban perang," kata Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, di kantornya, Jakarta, Kamis (07/08).
"Yang luka-luka, yang mengalami apa, mungkin kena bom, kena reruntuhan dan segala macam. Dan rencananya disiapkan pusat pengobatannya nanti di Pulau Galang," lanjut Hasan.
Hasan bilang, Pulau Galang dipilih karena memiliki fasilitas rumah sakit dan fasilitas pendukung untuk mengobati warga Gaza yang menjadi korban perang.
"Termasuk juga nanti untuk menampung keluarga yang mendampingi korban-korban perang ini," ujarnya.
Alasan pemilihan Pulau Galang, kata Hasan, karena pulau itu terpisah dari warga Indonesia yang bermukim di pulau-pulau lainnya.
"Karena di sana juga dulu pernah tempat pengungsian, tapi juga pernah untuk pusat penanganan Covid waktu itu di sana. Jadi sebenarnya kalau dalam sisi keamanan dan kenyamanan warga itu bisa manageable."
Selain itu, Hasan menegaskan bahwa bantuan yang diberikan Indonesia itu hanya di sektor pengobatan.
"Ini bukan evakuasi ya, ini untuk pengobatan. Jadi nanti setelah sembuh, setelah selesai pengobatan, mereka tentu akan kembali lagi ke Gaza."
"Jadi bukan memindahkan warga, tapi kita semacam operasi kemanusiaan untuk membantu sebanyak yang kita bisa," katanya.
Hasan menambahkan, Prabowo telah menugaskan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri untuk menyiapkan rencana itu.
Pulau Galang berada di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini terletak di bawah Pulau Rempang, sempat memanas akibat sengketa agraria untuk pembangunan proyek Rempang Eco-City.
Kapan wacana evakuasi warga Palestina muncul?
Wacana Indonesia akan menampung warga Gaza ini sebenarnya sudah mulai berembus sejak 19 Januari lalu.
Wacana ini kembali mengemuka pada Maret lalu.
Program ini akan dijalankan oleh Mayor Jenderal Ghassan Alian yang mengepalai Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah Palestina, sebuah badan di bawah Kementerian Pertahanan yang dikenal dengan akronim COGAT.
Kesepakatan dilaporkan telah dicapai dengan lima negara yang bersedia menerima migran, termasuk Ethiopia, Libia, dan Indonesia.
Ini bukan kali pertama Pulau Galang dijadikan tempat menerima warga asing.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto menjadikan pulau ini sebagai kamp penampungan bagi ratusan ribu pengungsi dari Vietnam.
Mereka nekat melintasi lautan ke berbagai negara untuk menyelamatkan diri dari perang saudara, salah satunya Indonesia. Belakangan mereka dijuluki 'Manusia Perahu'.
Berdasarkan laporan, 19 Mei 1975, sekitar 97 orang manusia perahu Vietnam tiba pertama kali di Indonesia. Sedangkan menurut laporan PBB tahun 1979, ada 43.000 manusia perahu masuk Indonesia.
Melalui forum konferensi internasional tentang lokasi pengungsi Indocina di Jenewa 1975, Indonesia bersama Malaysia, Thailand, dan Hong Kong menyediakan diri sebagai tempat pengungsian.
Kemudian, pada 21 Februari 1979, ASEAN bersama UNHCR mengadakan rapat di Bangkok, Thailand. Rapat itu memilih Pulau Galang untuk menampung para pengungsi Vietnam.
Pulau ini dipilih sebagai kamp pengungsian karena dianggap memiliki lokasi yang strategis dan mudah diakses.
Total sebanyak 140.738 pengungsi yang masuk ke Pulau Galang pada 1979.
Sejak dibuka, Pulau Galang telah mengakomodir lebih dari 250.000 pengungsi Vietnam hingga akhirnya kamp tersebut ditutup pada 1996.
Saat virus corona mewabah pada 2020, Pulau Galang dipilih untuk menampung dan mengobati pasien yang terinfeksi, serta mengantisipasi penyebaran luas virus itu.
Di pulau ini dibangun Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Covid-19, yang dibuka pada 6 April 2020.
RSKI ini kemudian ditutup pada Desember 2022, menyusul masifnya vaksinasi Covid-19 dan penurunan kasus.
Pulau Galang juga sempat diusulkan menjadi tempat penampungan bagi pengungsi Rohingnya. Namun, opsi ini kemudian tidak dilaksanakan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, tindakan kekerasan dan brutalitas Israel terhadap warga Gaza yang masih tersisa terus dilakukan.
Israel sudah menutup mata, telinga, hati dan akal serta terus menghancurkan Gaza, melakukan genosida antara lain dengan melaparkan warga Gaza sebagai cara membunuh mereka.
Sudarnoto mengatakan, korban fisik yang terluka dan tentu yang meninggal semakin meningkat di Gaza, Palestina. Di samping itu politik blokade selama ini juga telah semakin menyengsarakan warga Gaza.
"Sementara itu penanganan dan pelayanan terhadap mereka yang terluka parah sangat terbatas," kata Sudarnoto, Jumat (8/8).
Ia menambahkan, okupansi rumah sakit (RS) sudah sangat darurat di luar rasio. Ini semua karena penghancuran secara masif termasuk terhadap infrastruktur di Gaza termasuk RS.
MUI menegaskan, karena itu memang diperlukan langkah atau aksi darurat untuk misi menangani malapetaka kemanusiaan di Gaza.
Misi darurat ini antara lain menolong dan menyelamatkan warga Gaza yang benar-benar mendesak membutuhkan penangan medis di luar Gaza.
"Hemat saya, misi ini bersesuaian dengan prinsip-prinsip membela kedaulatan dan hak hidup setiap orang sekaligus menjadi cara atau langkah melaksanakan ajaran agama khususnya Islam," jelas dia.
Sudarnoto mengatakan, prinsip hifdzun nafsi (melindungi jiwa) tertunaikan dengan misi darurat kemanusiaan ini. Tentu juga sejalan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, salah satu sila dari lima sila.
"Sehubungan dengan itu, saya mendukung langkah pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah darurat ini dengan menyediakan pulau Galang sebagai tempat atau pusat penampungan korban kekejaman Israel untuk diobati dan disembuhkan," ujar Sudarnoto.
Karena itu, Sudarnoto mengatakan, memang harus dipersiapkan dengan sempurna RS dan tempat penampungan para korban dan keluarga korban di wilayah pulau Galang ini.
Pemerintah Yordania sudah melakukan hal yang sama. Karena itu, Indonesia bisa menimba pengalaman Yordania, meskipun jumlah yang akan ditangani yaitu 2.000 orang pasien dan keluarga pendamping pasien mungkin lebih besar dari Yordania.
Sudarnoto menegaskan, hal lain yang penting untuk menjadi perhatian, pentingnya komunikasi yang baik dengan masyarakat terutama dengan elemen masyarakat, tokoh dan aktivis pembela Palestina.
Sehingga program ini bukanlah pemindahan dan relokasi warga Gaza ke Indonesia yang beberapa waktu yang lalu sempat menjadi topik kontroversial.
"Komunikasi ini penting sehingga ada langkah penting yang memang menjadi concern bersama, ini juga untuk menjaga agar engagement pemerintah dengan masyarakat semakin kuat terutama untuk membela Palestina ini," jelasnya.
Ketua MUI ini menerangkan bahwa komunikasi dengan berbagai pihak di luar negeri misalnya pemerintah Palestina, Hamas, Mesir, dan Yordania penting dilakukan agar pihak-pihak tersebut juga memberikan dukungan, jangan sampai ada kontroversi dan justru menjadi tidak produktif untuk misi kemanusiaan dan membela kemerdekaan Palestina.
Sementara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono mengonfirmasi bahwa Pulau Galang di Kepulauan Riau menjadi salah satu lokasi yang dipertimbangkan pemerintah untuk menampung dan merawat warga Palestina korban konflik di Jalur Gaza.
Pulau Galang dipilih karena sudah mempunyai infrastruktur medis yang sempat digunakan pada era pandemi Covid-19.
Sugiono menjelaskan, saat ini pemerintah masih mencari beberapa lokasi potensial untuk menampung dan merawat warga Gaza yang terluka akibat konflik.
"Salah satu alternatifnya Pulau Galang. Kita masih cari. Kemarin Presiden menyebut Pulau Galang; itu juga sedang kita lihat," ungkapnya saat diwawancara awak media di Kantor Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Kamis (7/8).
Dia menambahkan, Pulau Galang pernah digunakan untuk keperluan perawatan pasien Covid-19. "Jadi ada infrastrukturnya sudah di sana," katanya.
Kendati demikian, Sugiono menekankan bahwa saat ini belum ada keputusan dan pembicaraan teknis mengenai tempat yang akan digunakan untuk merawat warga Gaza.
"Kemarin kan disampaikan, kita ada permintaan. Permintaan yang omongannya lebih teknis juga belum. Makanya kalau sampai tiba-tiba itu terjadi, kita sudah siap," ucap Menlu.
Pemerintah memilih Pulau Galang sebagai lokasi pengungsian Vietnam.
Pemerintah Indonesia mengumumkan, akan menempatkan 2.000 warga Gaza di Pulau Galang, tak jauh dari Pulau Batam di Kepulauan Riau, untuk menjalani pengobatan dan perawatan.
Pulau itu sedianya punya sejarah panjang sebagai lokasi pengungsian.
Kapal kayu itu berlayar oleng, terombang-ambing di tengah lautan. Tampak jelas kapal nelayan itu sarat, bahkan berkelebihan beban.
Manusia berjubel mengisi seluruh sisinya. Sekitar seratus orang berbagai umur, mungkin, ada di sana.
Lukisan itu seolah menjelaskan tragedi manusia yang dipamerkan di Museum Wisata Sejarah Galang Batam, Kepulauan Riau.
Lukisan itu sedikit banyak menggambarkan kondisi pengungsi Vietnam yang terombang-ambing di Laut Cina Selatan dengan kapal dan perbekalan seadanya, berjubel di kapal sederhana tanpa tahu kapan dan di mana mereka akan berlabuh.
Ratusan bahkan mungkin ribuan kapal berlayar meninggalkan Vietnam selama Perang Vietnam yang dimulai pada 1975.
Tidak semua kapal beruntung bisa berlabuh di pulau terdekat yang mereka temui. Sebagian tenggelam, mengubur penumpangnya di antara kehidupan bawah laut.
Pengungsi Vietnam meninggalkan kekacauan perang ke tengah lautan untuk mencari suaka. Berbulan-bulan di atas kapal yang sempit, pencari suaka yang juga disebut 'manusia perahu' ini sampai ke negara-negara terdekat, termasuk Indonesia. Kapal pertama sampai di Indonesia pada 1975. Kapal tersebut berisi 75 pengungsi.
Setelah itu, muncullah eksodus ke Kepulauan Riau. Pengungsi Vietnam berlayar masuk ke Indonesia melalui Kepulauan Natuna. Dan, mereka tersebar di pulau-pulau di Riau, meminta pertolongan masyarakat setempat.
Karena kedatangan pengungsi semakin besar, pemerintah akhirnya meminta bantuan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh lembaga PBB yang bertugas mengurus pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Indonesia diminta untuk menyediakan lokasi sementara bagi pengungsi Vietnam.
Pulau Galang, Kepulauan Riau, dipilih sebagai lokasi pengungsian. Pulau ini dipilih karena memenuhi sejumlah persyaratan, seperti kemudahan untuk menyalurkan pengungsi ke negara ketiga, mudah diisolasi, dan mudah diakses untuk kelancaran logistik. Kala itu Pulau Galang bertransformasi menjadi Kampung Vietnam.
Pengungsi dikumpulkan di Camp Galang mulai 1979 hingga 1996. Setidaknya, ada 250 ribu pengungsi yang dikumpulkan di Camp Galang. "Sebelumnya ada yang ditempatkan di kamp sementara di Kabupaten Anambas," ujar pemandu wisata Pulau Galang, Syahid Adnan, belum lama ini.
Kamp ini terdiri dari dua sektor, yaitu Galang I dan Galang II. Setiap sektor memiliki enam zona yang disebut Zona A sampai Zona F. Setiap sektor diisi setidaknya lebih dari 100 ribu pengungsi.
Kedua sektor mendapatkan fasilitas yang sama seperti tempat tinggal, air bersih, listrik, dan kebutuhan pangan. Selain itu, mereka juga mendapatkan fasilitas umum, seperti fasilitas kesehatan, tempat ibadah, sekolah, pemakaman, penjara, dan fasilitas umum lain.
Masyarakat yang mengungsi juga diberdayakan sesuai dengan profesinya masing-masing. Guru diberi kesempatan mengajar di sekolah darurat, sementara dokter dan perawat Vietnam yang mengungsi dibolehkan mengisi fasilitas kesehatan.
Syahid yang dulu sempat bekerja sebagai operator di Camp Galang ini mengatakan, selama menjadi lokasi pengungsian, Pulau Galang 100 persen terisolasi.
Pengungsi Vietnam dilarang berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Interaksi penduduk dan pengungsi hanya terjadi sebatas jual beli atau barter.
PBB dan Pemerintah Indonesia telah menyebar petugas keamanan untuk memastikan tidak ada penduduk yang melakukan komunikasi dengan pengungsi.
Pemulangan pengungsi dimulai pada awal 1990-an. Pengungsi terakhir dipulangkan pada September 1996. Pengungsi terakhir yang dikirim pulang sebanyak 4.750 orang.
Pemulangan bukan tanpa masalah. Banyak sekali pengungsi Vietnam yang enggan kembali ke negaranya karena mengalami trauma perang. Namun, sesuai dengan Bangkok Statement yang ditandatangani pada 1979, pengungsi Vietnam tidak boleh tinggal di lokasi pengungsian.
"Mereka dipulangkan dengan pesawat udara dan kapal laut," ujar Syahid yang dulu bekerja di bawah bendera PT Karya Titan tersebut.
Hari ini, wisatawan masih dapat melihat bukti-bukti sejarah Kampung Vietnam di Pulau Galang. Sejumlah bangunan dan fasilitas umum masih berdiri menjadi saksi ketakutan penduduk Vietnam atas perang yang terjadi di negerinya.
Beberapa fasilitas lain sudah mulai rusak, termasuk barak tempat tinggal pengungsi dan kapal yang membawa pengungsi dari Vietnam menuju Indonesia.
Di Museum Wisata Sejarah Galang Batam, pengunjung dapat melihat peninggalan sejarah yang tersisa dari pengungsi, seperti alat makan, elektronik, kerajinan, dan kendaraan yang digunakan pengungsi selama di Camp Galang.
Museum tersebut juga menyuguhkan dokumentasi selama pengungsi berada di lokasi pengungsian selama lebih dari 17 tahun.
Pulau Galang merupakan wilayah yang masih termasuk wilayah pemerintahan Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau ini merupakan rangkaian pulau besar ketiga yang dihubungkan oleh sejumlah jembatan.
Jembatan-jembatan tersebut memiliki nilai wisata sendiri bagi masyarakat Batam dan sekitarnya.
Dari Batam, wisatawan akan melewati enam jembatan yang disebut dengan Jembatan Barelang. Barelang sendiri merupakan akronim dari Batam-Rempang-Galang. Hanya perlu waktu sekitar 1-2 jam menuju pulau yang luasnya sekitar 80 kilometer persegi tersebut.
Setiap pengunjung yang ingin berwisata sejarah di Pulau Galang cukup mengeluarkan uang sekitar Rp 2.000 sampai Rp 5.000 per kepala sebagai biaya retribusi.
Wisata dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi atau bus sewaan. Bagi yang gemar tracking, wisata sejarah Pulau Galang bisa dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi rute wisata, termasuk makam pengungsi Vietnam, kapal peninggalan pengungsi, museum, fasilitas penjara, pusat remaja, gereja, dan vihara.
Selain melihat-lihat ke kompleks pengungsian, wisatawan juga dapat berkunjung ke vihara yang sampai hari ini masih berdiri. Vihara Quan Am Tu menjadi salah satu objek wisata tersendiri bagi pengunjung. Lokasinya tidak jauh dari kompleks pengungsian, tapi berada di jalur yang berbeda. (*)
Tags : galang, pulau galang, palestina, gaza, pulau galang di batam, evakuasi warga gaza, evakuasi pengungsi gaza, pulau galang jadi tempat evakuasi pengungsi gaza ,