"Setiap tahunnya, pulau-pulau kecil terkiikis dihantam abrasi parah bahkan dinilai berisiko tenggelam akibat naiknya permukaan air laut"
ulau-pulau terluar masih perlu mendapat perhatian khusus diantaranya melalui reklamasi pantai dan perkuatan tebing garis bantan agar tidak tergerus abrasi. Sebaliknya, jika lengah ada 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut yang selalu mengecoh.
Tetapi terhadap pulau-pulau kecil dan terluar yang berpenghuni masih banyak mengeluhkan abrasi yang sudah merobohkan rumah-rumah kayu warga minta dapat dilakukan antisipasi serius.
Ketika pemerintah setempat meminta warga pindah dan tinggal di pulau lain untuk menghindari musibah, justru warga namun menolak dan balik meminta pemerintah bantu bangun pemecah ombak.
Seperti yang terjadi terhadap warga di Pulau Mensemut, Desa Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau misalnya, mereka terus dalam keadaan was-was, terlebih saat masuk musim angin utara.
"Dari tahun ke tahun pulau itu mengalami abrasi terus mengikis tepi pantai."
“Sebenarnya, hampir setiap tahun air laut naik, tetapi tahun ini makin parah, bagaimana lagi, namanya musibah,” kata Rusman, warga Pulau Mensemut ditemui belum lama ini dilokasi.
Rusman menceritakan pada 2020 yang lalu, abrasi sudah makin parah. Lima rumah kayu milik warga roboh, yang juga salah satunya milik Rusman.
"Seingat saya setiap bulan Desember sudah langganan warga melihat pulau parah terkikis abrasi," kata dia.
Garis pantai pulau itu terus mendekati pemukiman warga karena terkikis ombak dan badai yang kuat. Apalagi tahun ini, katanya, angin utara sangat kencang hingga abrasi makin menjangkau bagian darat pulau.
Dalam Desember tahun lalu, katanya, lima rumah warga roboh karena abrasi, termasuk teras Rusman. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu tetapi warga kehilangan tempat tinggal.
Saat ini, Rusman dan puluhan warga Mensemut kembali gotong royong membangun rumah kayu yang roboh.
Menurut Ketua RT Pulau Mensemut ini, ada 18 keluarga menetap di Pulau Mensemut. Rata-rata mata pencaharian mereka melaut.
Pemerintah, katanya, sudah meminta mereka pindah dan tinggal di pulau lain untuk menghindari musibah, namun menolak.
"Pulau ini tempat mencari nafkah kami. Melaut cukup bagus, jarak tidak terlalu jauh dan perairan ini banyak ikan. Kalau kami pindah ke pulau lain, belum terjamin pulau baru banyak ikan,” sebutnya lirih.
Salah satu pulau relokasi di Pulau Hantu. Mereka menolak karena pulau yang berjarak dua jam dari Pulau Mensemut itu tak kaya ikan hingga perlu ongkos besar untuk bisa menangkap ikan.
“Bahkan masyarakat Pulau Hantu melaut ke sini (Pulau Mensemut),” katanya.
Meskipun relokasi ke pulau lain tidak jadi solusi, kata Rusman, membangun bendungan pemecah ombak bisa mengatasi abrasi.
Dia sudah menyampaikan soal pemecah ombak itu kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lingga.
Kondisi terakhir, katanya, masyarakat masih bertahan di rumah kayu mereka masing-masing. Beberapa rumah roboh mulai dibangun kembali.
“Kondisi sekarang angin sudah tidak terlalu kencang, tetapi kemungkinan Januari 2023 naik lagi.”
Rusman mengatakan, abrasi yang terjadi di Pulau Mensemut membuat masyarakat cemas. Apalagi beberapa rumah warga sudah roboh karena abrasi. “Semoga tahun depan dibangun bendungan pemecah ombak,” harapnya.
Rusman bersama warga berupaya menahan ombak dengan tanaman mangrove di sepanjang tepi pantai. “Bakau bagusnya di dalam sungai, kalau disini gelombang laut besar, bakau belum besar, tetapi sudah duluan habis diterjang ombak,” katanya.
Ancaman Pulau Mensemut, tenggelam jadi perhatian Ketua Yayasan Kajang Densy Fluzianti. Yayasan ini bergerak bidang sosial membantu hak-hak dasar Suku Laut di Lingga.
“Saya sering ke pulau-pulau, awal masuk Pulau Mensemut 2003, ketika itu pulau itu masih luas, sekarang makin kecil,” katanya.
Kondisi abrasi makin parah. Jarak pantai ke rumah warga makin dekat, awalnya 30 meter sekarang sudah 10 meter. “Air laut sudah sampai ke tepian rumah warga, dan juga merobohkan rumah warga,” katanya.
Densy berharap pemerintah memberikan solusi terhadap masalah masyarakat laut itu. “Pulau ini berada dengan laut lepas, jadi angin sangat terasa [kuat].”
Jarak Pulau Mensemut, dengan Lingga sekitar dua jam perjalanan, terdapat 60 jiwa tinggal di pulau itu. “Kita khawatir jika pemerintah tidak memperhatikan kondisi ini pulau itu akan tenggelam,” katanya.
Oktanius Wirsal, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lingga, mengatakan, sudah kunjungan ke Pulau Mensemut. Abrasi terjadi cukup parah mengakibatkan tepi pantai terkikis.
“Masyarakat sudah menyadari pulau itu makin mengecil karena abrasi angin utara,” katanya.
BPBD, akan mengambil membantu warga Pulau Mensemut. “Kita akan rapat dengan stakeholder terkait, masalah penanganan abrasi teknis ada di Dinas Pekerjaan Umum dan Perkim, kajian di dinas terkait,” katanya.
Okta tidak menampik abrasi terus terjadi berpotensi membuat pulau itu tenggelam. “Kalau kita lihat situasi disana butuh pemecah gelombang, sekitar 200 meter.”
Dia berharap, BNPB bisa membantu membangun pemecah gelombang. “Tentu, harus permintaan dari pemerintah daerah.”
Pulau-pulau terluar hampir tenggelam
Pihak Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terus melakukan mereklamasi pulau-pulau terluar di Indonesia yang hampir tenggelam.
“Pulau terluar di seluruh Indonesia jadi perhatian kita, sudah ada yang kita tangani seperti Pulau Nipah, da nada juga beberapa pulau lainnya yang sedang dikerjakan serta beberapa pulau lainnya yang juga diusulkan untuk reklamasi,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc di depan media, Rabu (27/3).
Menurutnya, reklamasi pulau-pulau tersebut sangat penting mengingat fungsinya sebagai tapal batas negara. Pulau-pulau terdepan terancam tenggelam sebagai akibat perubahan iklim dan abrasi pantai yang mengikisnya.
Pemerintah, menurut Basuki Hadimuljono memberi perhatin khusus kepada pulau-pulau terluar diantaranya melalui reklamasi pantai dan perkuatan tebing garis bantan agar tidak tergerus abrasi.
Selain itu untuk pulau luar yang berpenghuni atau dijaga Tentara Nasional Indonesia, Kementerian PU juga membuatkan embung atau kolam air yng berfungsi menampung air hujan untuk dapat dipergunakan pada saat kemarau.
Menteri PU mencontohkan konservasi yang dilakukan terhadap Pulau Nipah diantaranya dengan pembuatan tembok laut di sekeliling pulau sepanjang 4,3 Kilometer serta pemasangan tetrapod.
Konservasi juga dilakukan dengan pengisian pasir laut di zona utara dan selatam sehingga kini memiliki ketinggian 4,6 meter serta pengisian di zona hutan bakau hingga elevasi 1,8 meter. Sedangkan pengisian timbunan kerjakan di kawasan utara dengan ketebalan 0,6 meter hingga mencapai elevasi 5,2 meter.
Untuk Kepulauan Riau, selain Pulau Nipah, Kementerian PU juga mereklamasi Pulau Pelampong serta membuatkan pemecah ombak.
Gubernur Kepulauan Riau, H Ansar Ahmad SE MM menjelaskan, provinsinya memiliki 19 pulau terluar yang keberadaannya terancam abrasi pantai.
“Di sekitar Pulau Nipah masih ada pulau-pulau karang lainnya yang perlu direklamasi, kalau tidak maka tapal batas negara akan berubah khususnya dengan Singapura,” sebut Ansar Ahmad.
Tetapi Basuki Hadimuljono kembali menuturkan, mengingat sangat banyaknya pulau terluar di Indonesia, maka program penanganannya tidak bisa dilakukan secara bersamaan.
Tiap musim utara rumah warga di Pulau Mensemut mulai was-was.
Penanganan tersebut dilakukan juga antara lain berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah. Selain reklamasi, pulau-pulau terdepan juga sebagian dibangunkan infrastruktur pendukung untuk air bersih
Andiko Sutan Mancayo, aktivis lingkungan di Batam mengatakan, pemerintah harus hadir dalam musibah yang menimpa masyarakat di Pulau Mensemut.
“Harus ada upaya mitigasi dari pemerintah,” kata pria yang kini Senior Sustainability Lawyer AsM Law Office itu.
Untuk jangka pendek, katanya, pemerintah bisa membangun batu pemecah ombak, dan menanam mangrove di sekitar pulau. Untuk jangka panjang, kata Andiko, perlu ada kajian sosial dan ekonomi terlebih dahulu apalagi soal keputusan pemindahan warga.
“Kalau hanya mau memindahkan tanpa kajian mendalam, itu namanya tidak mau mengurus.”
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, abrasi di Pulau Mensemut merupakan dampak pemanasan global.
“Bahkan, kondisi seperti di Pulau Mensemut akan banyak lagi terjadi ke depan di daerah-daerah lain,” katanya.
Apalagi, kata Riko, tidak ada komitmen kuat dari pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim global ini. Jelas, katanya, dalam jangka pendek harus ada antisipasi agar pulau tidak tenggelam, seperti dengan pemecah ombak.
Selain itu, katanya, program penanaman mangrove dari pemerintah juga harus menyasar pulau-pulau kecil yang terancam abrasi seperti Pulau Mensemut. “Bahkan harus menjadi prioritas.”
Untuk solusi jangka panjang, katanya, pemerintah dan para pihak harus mengurangi emisi karbon dalam berbagai aktivitas guna mencegah perubahan iklim.
Terkecoh akibat naiknya permukaan air laut
Mengutip seperti disebutkan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Eddy Hermawan mengingatkan bahwa potensi tenggelamnya pulau bukan persoalan Jakarta atau kota pesisir di Pantai Utara Jawa saja.
Ia mengungkapkan, 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
"Jangan terkecoh dengan kawasan Pantura saja, jangan terkecoh dengan Jakarta saja, apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya, inilah 115 pulau-pulau sedang dan kecil ini bisa tenggelam," kata Eddy dalam diskusi virtual Ancaman Tenggelamnya Kota Pesisir Pantai Utara Jawa, Apa Langkah Mitigasinya? di Jakarta, Kamis.
Eddy berharap perhatian juga tertuju pada pulau-pulau sedang dan kecil di Indonesia, seperti di daerah wisata, termasuk Bali, Nias, dan pulau-pulau lain di sepanjang pantai barat Sumatra.
Abrasi di pantai Pulau Mensemut terus mengancam.
Menurut Eddy, kenaikan air laut tersebut disebabkan perubahan iklim dan penurunan muka tanah sehingga perlu kombinasi upaya mitigasi dan adaptasi ke depannya agar tidak kehilangan pulau-pulau tersebut.
"Tidak hanya pemanasan global, penurunan muka tanah juga merupakan kontributor cukup besar yang menyebabkan Jakarta menjadi terendam," ujarnya.
Eddy menyarankan untuk lebih mengutamakan langkah-langkah yang memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan seperti penanaman mangrove dan reboisasi serta menghasilkan dan menerapkan inovasi yang bisa menjadi solusi terhadap masalah itu.
Ia menuturkan, hasil simulasi menunjukkan kenaikan permukaan air laut akan menutupi Jakarta secara permanen pada 2050 sekitar 160,4 km persegi atau sama dengan 24,3 persen dari luas total wilayah saat ini.
Air laut masuk antara lain ke wilayah Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, Bandara Soekarno Hatta, Koja dan Cilincing.
Selain perubahan iklim dan penurunan muka tanah, Eddy menuturkan, kondisi Jakarta yang landai dan berteluk juga menyebabkan potensinya makin tinggi untuk terendam air laut.
Eddy menuturkan, semua kawasan Pantura memang berisiko masuknya air laut. Terlebih lagi daerah Jakarta karena kondisi lokal tanah yang empuk dan topografi wilayah yang membuat Jakarta makin berisiko terendam.
"Pada dasarnya yang terjadi saat ini adalah kombinasi yang sudah airnya naik karena es mencair di kutub dan juga penurunan muka tanah yang tidak bisa kita kontrol sebenarnya," ujarnya.
Sederet upaya penanganannya
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dibawah kepemimpinan Gubernur H. Ansar Ahmad dan Wakil Gubernur Marlin Agustina secara proaktif terus melahirkan berbagai program dan kebijakan untuk kepentingan masyarakat Kepri.
"Bahkan sejak awal menjabat sebagai kepala daerah di tahun 2021, Ansar menjadikan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan Kepri sebagai prioritas utama. Begitupun terhadap masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil dan terluar," kata Asisten II Pemprov Kepri, Luki Zaiman yang telah dirilis oleh media resmi pemprov kepri.
"Sederet program dan kebijakan berbasis kerakyatan Pemprov Kepri sudah dilakukan dibawah kepemimpinan Ansar-Marlin."
Luki Zaiman menerangkan, terhadap masyarakat hinterland yang didominasi Suku Laut tidak luput dari perhatian Ansar Ahmad.
Ia mencontohkan sebanyak 200 rumah warga Suku Laut di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Kepri), dibangun oleh Pemprov Kepri.
Untuk merealisasikan pembangunan tersebut, Pemprov Kepri mengeluarkan anggaran sebesar Rp6 miliar. Hampir sebagian besar rumah Suku Laut di Kabupaten Lingga direhabilitasi total, hanya sebagian kecil direhabilitasi ringan, seperti perbaikan atap atau dinding rumah rusak.
Pembangunan rumah Suku Laut di Kabupaten Lingga, menjadi bukti bahwa pembangunan infrastruktur menyasar seluruh elemen masyarakat perkotaan hingga kawasan pesisir. Salah satunya Suku Laut, yang sejak zaman dahulu mendiami perairan, khususnya di wilayah Provinsi Kepri.
Pantai makin mendekati rumah warga di Pulau Mensemut. Beberapa rumah sudah roboh kena terjang ombak.
Kebijakan kerakyatan lainnya yang dicurahkan Ansar Ahmad adalah pembangunan rumah singgah bagi warga Kepri di Batam dan Jakarta.
Rumah singgah di Batam difungsikan untuk masyarakat dari kabupaten dan kota lainnya yang mendapatkan rujukan ke rumah sakit di Batam. Sementara rumah singgah di Jakarta bermanfaat bagi warga Kepri yang sedang menjalani pengobatan di Jakarta. (*)
Tags : abrasi hantam pulau, pulau mensemut, senayang, daik lingga, kepri, pulau terancam tenggelam, pulaudihantam abrasi, abrasi akibat naiknya permukaan air laut, kepulauan riau, kabupaten lingga, abrasi pantai,