KEPRI - Pulau Penyengat yang kecil di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ternyata menyimpan cerita sejarah hingga dari hadiah pernikahan sampai pusat pertahanan.
"Pulau itu bisa dilalui dengan menggunakan kapal pompong dari Kota Tanjung Pinang menuju Pulau Penyengat."
"Sebuah pulau kecil yang berada tak jauh dari Pulau Bintan. Pulau Penyengat berada di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau kecil tersebut ternyata menyimpan sejarah yang begitu menarik untuk ditelusuri," kata Sunaryo, warga Kota Tanjung Pinang dalam bincang-bincannya dengan riaupagi.com belum lama ini.
Kompleks makam Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman.
Sunaryo, dahulunya bertugas sebagai mantan pejabat perwakilan Provinsi di Kepri menceritakan tentang asal usul nama "Penyengat".
"Konon, nama tersebut muncul akibat kejadian yang menimpa pelaut yang singgah di pulau yang dulu bernama Inderasakti tersebut ratusan tahun lalu."
“Dulu ada pelaut mereka sering berhenti di sini untuk ambil air tawar. Saat mereka ngambil air, tiba-tiba ada sekawanan binatang semacam tawon yang menyengat. Akhirnya dari situ mereka edarkan kabar, pulau sengat lalu jadi Pulau Penyengat,” jelasnya.
Pulau Penyengat juga ceritanya sebagai hadiah perkawinan. Namun cerita sejarah Pulau Penyengat tak hanya sampai di sana saja. Pulau ini juga dikenal sebagai pulau hadiah perkawinan dari Sultan Mahmud Syah kepada sang istri, Engku Puteri Raja Hamidah pada 1803.
Karena berkedudukan di sana, banyak masyarakat yang mulai berdatangan untuk tinggal di pulau tersebut sehingga Pulau Penyengat semakin ramai. Di saat itu pula lah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang dipimpin sultan memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Pulau Penyengat.
Hal itu dilakukan dengan menempatkan seorang Raja yang bergelar Yang Dipertuan Muda atau semacam Perdana Menteri untuk memerintah dari Pulau Penyengat. Sementara Yang Dipertuan Besar atau Sultan tetap berkedudukan di Daik, Lingga.
Istana Kantor, salah satu situs bersejarah di Pulau Penyengat.
"Sejak itu, Pulau Penyengat menjadi semakin ramai dengan mulai berkembangnya berbagai macam adat dan kebudayaan Melayu serta agama Islam," kata Sunaryo.
Pulau ini juga sebelumnya sebagai pusat pertahanan ayah dari Engku Puteri Raja Hamidah yakni Raja Haji Fisabililah telah menjadikan pulau ini sebagai pusat pertahanan pasukannya saat berperang melawan Belanda.
"Pulau yang sangat strategis ini, Raja Haji Fisabililah mendirikan pertahanan yang bekasnya masih tersisa hingga kini."
“Di pulau itu masih terdapat benteng Bukit Kursi bekas peninggalan perang Raja Haji Fisabililah. Mereka membangun benteng yang unik, yaitu turun ke bawah. Dengan beragam strategi, pasukan Raja Haji Fisabililah bisa memenangkan pertarungan melawan Belanda,” jelasnya.
Meriam Sundut di Benteng Bukit Kursi Pulau Penyengat.
Di Benteng Bukit Kursi itu selain bentuk benteng yang masih utuh memanjang dengan susunan batuan yang unik juga ada beberapa meriam yang tersisa. Perjuangan Raja Haji Fisabililah pun berakhir kala dirinya tewas di Teluk Ketapang, Malaysia pada 1784.
"Pulau Penyengat memiliki peran penting dalam jatuh bangunnya Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang."
Benteng Bukit Kursi Pulau Penyengat memiliki bentuk benteng yang seperti parit dibangun oleh Raja Haji Fisabililah dan pasukannya mempertahankan diri kala berperang melawan VOC Belanda. Hingga kini batuan yang menyusun benteng tersebut masih kuat dan utuh.
"Terutama pada awal perebutan tahta Kesultanan Johor kala Raja Kecil melawan saudaranya, Tengku Sulaiman. Saat itu Tengku Sulaiman dibantu oleh lima orang bangsawan Bugis, Daeng Perani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Kemasi, dan Daeng Menambun. Dari persekutuan mereka ini mulai muncul hubungan kuat antara Melayu-Bugis yang terus berlanjut hingga akhir masa kerajaan. Banyak bangsawan Melayu yang menikah dengan bangsawan Bugis dan menghasilkan keturunan Melayu-Bugis,” jelas Raja Farul, salah satu interpreter dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat.
Kehidupan masyarakat pun berlangsung semakin ramai di Pulau Penyengat hingga akhirnya Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang menemukan titik akhir.
Tetapi Raja Farul menceritakan kisahnya, saat terjadi perang saudara kembali antara keturunan Sultan Mahmud dan Engku Puteri Raja Hamidah yaitu Tengku Abdurrahman dan Tengku Husein. Tengku Abdurrahman diangkat menjadi sultan oleh Raja Jakfar, kakak dari Raja Hamidah. Sementara Raja Hamidah tidak menyetujuinya karena menganggap Tengku Husein sebagai anak sulung Sultan Mahmud lebih berhak untuk naik takhta.
“Peperangan antar keduanya ini semakin diperparah dengan Tengku Abdurrahman yang didukung oleh Belanda. Dan Tengku Husein yang didukung Inggris. Husein juga dijanjikan wilayah Singapura untuk diperintah,” jelas Farul.
Pintu Gerbang masuk ke Pulau Penyengat.
Menurut Farul, perpecahan ini dimenangkan oleh Tengku Abdurahman yang menjadi sultan terakhir Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Belanda yang tidak mau menepati janji, membuat Tengku Abdurahman mundur dari jabatannya sebagai sultan. Sejarah panjang Pulau Penyengat yang berperan penting dalam berdirinya Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang juga membuat banyaknya situs bersejarah dan makam para keturunan Engku Puteri Raja Hamidah ada di sana. Beberapa di antaranya adalah Raja Ali Haji, Raja Ahmad, dan Raja Abdullah. (*)
Tags : pulau penyengat, kerajaan, raja, Tanjung Pinang, sejarah, Kepri,