KEPULAUAN RIAU - Meski Pulau Rempang batal dikosongkan pada Kamis (28/09) seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, mengaku masih cemas dan waspada.
Sebab sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin 25 September 2023 lalu menyatakan bahwa rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City tetap berjalan, namun pemerintah "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi.
Wartawan BBC News Indonesia, Muhammad Irham, datang ke Pulau Rempang untuk melaporkan langsung bagaimana sikap warga terdampak terhadap rencana pemindahan kampung-kampung tua demi PSN.
Lalu lintas di Jalan Trans Barelang nampak lengang. Mobilitas masyarakat berjalan seperti biasa. Namun sejumlah warga berkumpul di beberapa posko di kampung-kampung yang diprioritaskan untuk direlokasi.
Di Kampung Pasir Merah, Sembulang, ratusan warga berkumpul dan membentangkan spanduk bahwa mereka "menolak keras relokasi".
Sedangkan di Kampung Pasir Panjang, warga berkumpul di posko bantuan hukum yang didirikan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sejumlah warga mengatakan bahwa dengan berkumpul, mereka ingin menunjukkan eksistensi sebagai masyarakat kampung tua Melayu yang "kompak menolak keras" untuk direlokasi.
Di situ, Samah, 50, bersama ibu-ibu lainnya menyiapkan masakan untuk warga yang berkumpul.
"Dengan berkumpul ini, warga lebih percaya diri," kata Samah ketika ditemui.
Bagaimanapun, rasa cemas terhadap rencana penggusuran masih terpancar dari wajahnya, sebab pemerintah memperpanjang tenggat waktu pendaftaran relokasi. Itu berarti, pemerintah tetap berencana merelokasi warga meski tidak tahu kapan.
"Buat kami, [tenggat waktu diundur] belum aman juga berarti kami. Makanya kami jaga-jaga, waspada lah. Entah kapan mereka mau gusur kami, kami tidak tahu,"tutur Samah.
"Pokoknya kami berkeras, kami tidak akan mau digusur."
Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Nurita, seorang ibu rumah tangga di Kampung Pasir Panjang.
"Kenapa ditambah hari lagi, ditambah tanggal lagi? Jadi kami, masyarakat di sini macam takut, tidak senang kan. Hari demi hari, resah dan gelisah kami tidak menentu. Mau cari makan susah, berkomunikasi dengan tetangga luar susah, mau wirid susah, semua serba susah," tutur Nurita dengan nada berapi-api.
"Ini dia minta tanggal 7, nanti tanggal berapa lagi? Apakah tidak bisa stop masalah penggusuran ini?"
Nurita mengatakan dia ketakutan setiap kali ada kendaraan masuk ke kampung mereka, entah itu aparat atau bukan.
"Dia mengatakan itu aman, tapi bagi kami itu tidak aman, kenapa, karena kami diusir dari kampung ini," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan"akan mengedepankan upaya-upaya yang lebih preventif dan humanis".
Sebanyak 200 personel Brimob dari Polda Riau telah dipulangkan, setelah sempat dikerahkan untuk operasi di Pulau Rempang.
Dikutip dari kantor berita Antara, Pandra mengatakan aparat masih akan hadir di Pulau Rempang, namun "bukan untuk mengintimidasi atau penekanan-penekanan tertentu".
Di sisi lain, posko gabungan yang dibentuk oleh BP Batam dan aparat sebagai tempat pendaftaran relokasi, nampak tutup pada Kamis 28 September 2023.
Penutupan posko kemungkinan karena tanggal merah.
Tetapi dalam pantauan pada Rabu 27 September 2023, posko ini didatangi oleh belasan warga yang mendaftar.
Sebagian menolak diwawancarai karena khawatir mendapat "tekanan" dan "dihujat" di media sosial.
Salah satu warga Sembulang Tanjung, Angga Mitran Beratama, 25, mengaku bersedia direlokasi tanpa tekanan karena sejak awal dia telah berencana untuk pindah dari kampung itu.
"Sudah enggak ada alasan sebenarnya, saya pindah karena proyek ini sudah jelas. Kedua, pekerjaan saya, jauh. Kalau di sini lebih dekat," kata Angga.
"Kalau dibilang sedih ya sedih, orang tua saya meninggal di sana, nenek saya semua di sana."
Angga mengaku keputusannya untuk pindah membuat tetangga-tetangganya menganggap dirinya "tega" hingga dicap "pengkhianat".
"Mereka bilang, 'kenapa sih saya tega?'. Tapi dengan saya pindah pun tidak berpengaruh dengan perjuangan mereka. Saya sendiri yang pindah tidak akan mengubah perjuangan mereka," kata Angga.
Penolakan masyarakat untuk direlokasi membuat BP Batam belum bisa mengantongi sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau Rempang karena status lahan yang belum "clear and clean".
Ombudsman: Legalisasi kampung tua di Pulau Rempang 'dibiarkan menggantung'
Sementara itu, temuan awal Ombudsman RI yang diumumkan pada Rabu 27 Agustus 2023, mengungkap bahwa upaya legalisasi kampung-kampung tua di Pulau Rempang "dibiarkan menggantung" oleh Pemerintah Kota Batam sejak awal 2000-an.
Sampai akhirnya, Pulau Rempang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan PSN yang ditentang masyarakat.
Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam Muhammad Rudi, serta juru bicaranya, Ariastuty Sirait. Namun keduanya belum menanggapi.
Senada dengan laporan di atas, temuan Ombudsman juga mengungkap penolakan masyarakat.
Kepada Ombudsman, masyarakat mengaku merasa tertekan oleh desakan-desakan untuk mendaftarkan diri ke program relokasi.
“Kalau nggak ada orang di rumah, form-nya dimasukkan ke bawah pintu. Kalau nggak ada orang tuanya, anaknya dipaksa mewakili orang tuanya lah untuk mengisi form dan tanda tangan,” kata anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro.
Masyarakat juga merasa tawaran pemerintah perihal ganti rugi “baru sebatas janji” karena lokasi pemindahan belum siap.
Selain itu, belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran untuk kompensasi rumah pengganti, uang tunggu, dan hunian sementara terhadap warga.
Eskalasi situasi sejak 7 September lalu juga menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan pasokan pangan dari distributor.
“Ada ketakutan dari distributor untuk pasok barang karena status tempat itu yang sudah di-declare akan dikosongkan. Itu berpengaruh pada suplai. Persediaan bahan pangan pokok mereka pun menipis, mereka hanya konsumsi yang tersisa,” tutur Johanes.
BP Batam belum kantongi sertifikat HPL
Ombudsman mengatakan sampai saat ini, BP Batam belum mengantongi sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) di Pulau Rempang karena lahan yang “belum clean and clear”.
“BPN [Badan Pertanahan Nasional] akan mengeluarkan sertifikat kalau di area itu sudah tidak ada penghuni lagi,” tutur Johanes.
Sejauh ini, BP Batam baru mengantongi Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN terkait pemberian HPL pada 31 Maret 2023. Namun SK tersebut hanya berlaku hingga 30 September 2023.
“Kalau dalam jangka waktu ini [sertifikat] tidak terbit, ya memang kemudian gugur kalau dia tidak mengajukan perpanjangan. Artinya sertifikat HPL tidak akan pernah terbit,” kata Johanes.
Menurut Johanes, itulah yang akhirnya membuat BP Batam “tergesa-gesa mendesak warga di kampung-kampung tua untuk keluar dari area itu”.
Ini sekaligus menjawab mengapa sebelumnya masyarakat sempat diberi tenggat waktu untuk mengosongkan pulau pada 28 September, meski belakangan pemerintah menyatakan tanggal itu “bukan batas akhir pendaftaran apalagi relokasi”.
Bukti eksistensi kampung tua Rempang
Temuan Ombudsman lainnya menunjukkan bahwa kampung-kampung tua di Pulau Rempang telah eksis sejak lama, bahkan sebelum ada nota kesepahaman (MoU) antara BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk mengelola pulau ini dan sekitarnya pada 26 Agustus 2004.
Johanes mengatakan masyarakat di Pulau Rempang memiliki data kependudukan.
“Rata-rata ber-KTP semua, bahkan kami menemukan KTP seseorang yang lanjut usia, sudah sejak 1980-an,” papar Johanes dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (27/9).
Penguasaan fisik masyarakat atas bidang tanah, sambungnya, juga dibuktikan dengan pembayaran pajak bumi dan bangunan.
Ombudsman juga menemukan makam-makam tua, tapak tugu, patok tanda batas antarkampung, hingga ijazah Pendidikan yang terbit pada 1989.
Selain itu, ORI juga menemukan bahwa kampung-kampung tua ini memiliki rekam jejak secara yuridis.
Pada 2004, Wali Kota Batam menerbitkan surat keputusan yang menetapkan kampung-kampung tua, di antaranya Kampung Sembulang, Dapur 6, dan Tanjung Banun.
Johanes mengatakan di dalam SK itu tertuang bahwa kampung tua yang ditetapkan “tidak direkomendasikan untuk masuk ke hak pengelolaan lahan (HPL) BP Batam”.
Masih pada tahun yang sama, terbit Perda Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang menurut Johanes, “memberi kepastian hukum terhadap perlindungan Kawasan perkampungan tua”.
Kemudian pada 2005, muncul keputusan bersama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam untuk membentuk tim inventarisasi kampung tua.
Menurut Johanes, itu menunjukkan bahwa pada era 2000-an, semangat untuk memetakan dan mengidentifikasi kampung-kampung tua telah diketok melalui surat keputusan, pembentukan tim, dan lain-lain.
“Bahkan hasil dari tim kajian itu pada tahun 2007, menyatakan bahwa perkampungan tua yang terdapat di Pulau Rempang dan Pulau lainnya, yang termasuk dalam nota kesepakatan antara PT MEG dan BP Batam, direkomendasikan harus tetap dipertahankan, sehingga tidak termasuk dalam wilayah pengembangan kawasan,” jelas Johanes.
Namun rekomendasi itu, kata dia, “dibiarkan menggantung” sampai saat ini.
Komitmen untuk merawat kampung-kampung tua di Batam juga tercermin dalam Keputusan Bersama antara Wali Kota Batam dengan BP Batam pada 2011. Langkah itu diperkuat oleh maklumat Gubernur Kepulauan Riau, Pemkot Batam, hingga Lembaga Adat Melayu melalui maklumat pada 2015.
Wali Kota Batam lalu menerbitkan SK terkait penyelesaian legalitas kampung-kampung tua pada 2020.
“Kalau kita baca SK itu secara detail, pada dasarnya ada semangat untuk melindungi, melestarikan, mempertahankan nilai-nilai budaya asli masyarakat Batam. Ini sebuah langkah yang tidak tuntas sampai muncul persoalan kemarin,” jelas Johanes.
Namun Johanes mengatakan, perkampungan tua tiba-tiba sudah tidak diatur lagi dalam Perda Kota Batam Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
“Dulu semangatnya mau melegalisasi, tapi kemudian di akhir, di Perda 2021, hilang,” tutur Johanes.
“Ini sesuatu yang saya kira “unik”, karena mereka yang terlibat dalam proses itu, orang-orang yang seharusnya tahu bahkan mengeluarkan keputusan-keputusan sebelumnya,” sambungnya.
Masyarakat 'punya hak' atas tanah di Rempang
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan apa yang terjadi di Rempang menunjukkan kegagalan reformasi agraria pemerintah.
Temuan Ombudsman memperkuat riwayat penguasaan tanah masyarakat di kampung-kampung tua Rempang. Menurut KPA, masyarakat yang telah menempati wilayah itu selama berpuluh-puluh tahun dinilai semestinya memiliki hak yang sah atas tanah tersebut.
“Bisa diketahui mereka itu warga yang sudah bergenerasi, berkembang, beranak pinak di situ. Mereka bukan warga yang ujug-ujug ada di situ,” katanya.
Ketika kampanye pemilihan presiden pada 6 April 2019, Presiden Joko Widodo pernah berjanji untuk memberi sertifikat terhadap kampung-kampung tua di Batam.
Andai janji itu segera diwujudkan, Dewi mengatakan, kericuhan pada 7 dan 11 September lalu mungkin tak terjadi.
Dia menuturkan yang terjadi saat ini justru pemenuhan hak masyarakat “dikalahkan” oleh kepentingan invesasi.
“Kenapa masyarakat yang dikalahkan? Padahal mereka yang justru dijanjikan hak sertifikatnya, tetapi tidak kunjung diberikan,” ujar Dewi.
KPA mengatakan ada tumpang tindih lahan yang berlapis di Rempang akibat buruknya tata kelola agraria.
Di Rempang sendiri terjadi tumpang tindih lahan yang berlapis.
Menurut KPA, terjadi tumpang tindih lahan berlapis di Pulau Rempang. Masyarakat telah menempatinya secara turun temurun. Lalu pada 2001-2002 pemerintah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan kepada PT MEG.
Namun pemerintah daerah serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memberikan izin-izin kepada pihak lain.
Pemberian hak-hak itu, menurut Dewi “melanggar hak konstitusional” masyarakat Rempang yang telah lebih dulu eksis.
“Asal usul masyarakat menjadi penting, karena di situ lah warga Rempang punya hak dan legitimasi yang kuat untuk mendapat prioritas dalam pemberian hak atas tanah. Bukan BP Batam atau PT MEG,” ujar Dewi.
“Tapi pihak-pihak yang justru datang belakangan di Pulau Rempang justru menjadi pihak yang diprioritaskan untuk menegasikan dan mengusir hak warga Rempang yang seharusnya diutamakan dalam sistem hukum agraria nasional,” sambung dia.
Eco City 'tak tertuang' dalam rencana tata ruang
Satrio Manggala dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti bahwa pembangunan Rempang Eco City tidak dialokasikan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah pada tingkat daerah hingga nasional.
Dalam Perda 3/2021 tentang RTRW Kota Batam, pembangunan infrastruktur hanya meliputi jalan artileri, ketenagalistrikan, dan waduk. Sementara kawasan industri meliputi pengembangan industri perikanan di Pulau Rempang dan Pulau Galang serta penataan kawasan wisata Rempang, Galang, dan Galang Baru.
Dalam RTRW Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 pun, "tidak ada yang secara spesifik menunjukkan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City".
“Yang ada justru Taman Buru Pulau Rempang yang masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional,” ujarnya.
Bukti eksistensi dan Peran Tomy Winata di balik proyek investasi China
Di balik panasnya konflik lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, terdapat nama Tomy Winata. PT Makmur Elok Graha, pemegang hak eksklusif untuk mengelola serta mengembangkan Rempang Eco City, adalah anak perusahaan Grup Artha Graha, yang dimilikinya.
Perseroan tersebut mendapatkan sertifikat hak guna bangunan seluas 16.583 hektare selama 80 tahun dari Otoritas Batam dan Pemerintah Kota Batam.
Sejatinya, rencana pengembangan Pulau Rempang sudah ditandatangani melalui perjanjian yang berlaku sejak Agustus 2004. Kala itu rencana proyek tersebut bernama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE).
Namun, rencana itu sempat mandek karena dugaan korupsi.
Belasan tahun kemudian, proyek ini kembali hidup dan masuk daftar Proyek Strategis Nasional dari pemerintah pusat.
Perusahaan kaca dan panel surya asal China, Xinyi Group, disebut akan membangun pabrik di Kawasan Industri Rempang dengan nilai investasi sebesar Rp172 triliun.
Siapa Tomy Winata?
Tomy Winata adalah pengusaha berpengaruh sejak era Orde Baru. Dia memiliki sejumlah bisnis dari berbagai sektor di bawah payung Grup Artha Graha atau Artha Graha Network.
Bisnis grup tersebut mencakup properti, keuangan, agro industri, perhotelan, pertambangan, media, hiburan, ritel, serta IT dan telekomunikasi.
Pengusaha keturunan Tionghoa ini memulai bisnisnya pada 1972 dalam proyek pembangunan kantor Koramil di Singkawang, Kalimantan Barat.
Dari situ dia mulai dekat dengan sejumlah kalangan militer dan dipercaya memegang proyek-proyek lain seperti barak hingga sekolah tentara.
Tomy Winata juga berada di balik pembangunan kawasan perkantoran SCBD, Jakarta.
Pada 2016 namanya tercatat dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan mencapai Rp1,6 triliun.
Tomy Winata di balik proyek Rempang Eco City
Kepastian soal peran pengusaha Tomy Winata di balik proyek Rempang Eco City disampaikan Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait.
"Iya benar [PT MEG merupakan anak perusahaan Artha Group yang dimiliki Tomy Winata]," kata Ariastuty.
Merujuk pada profil PT Makmur Elok Graha yang tercatat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), tertera bahwa perusahaan tersebut beralamat di Gedung Artha Graha di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, sejak 2010.
Pada 2023, perusahaan itu pindah ke kawasan Orchard Park Batam.
Tapi jauh sebelum itu jejak Tomy Winata terlihat dalam sejumlah foto pertemuan beberapa pejabat Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, dan DPRD ketika memaparkan konsep pengembangan Pulau Rempang.
Pada foto tertanggal 26 Agustus 2004, Tomy Winata yang mewakili PT Makmur Elok Graha dan Pemerintah Kota Batam menandatangani perjanjian pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000 hektare, Pulau Setokok sekitar 300 hektare, dan Pulau Galang kira-kira 300 hektare.
Kesimpulan dari perjanjian tersebut memuat beberapa hal.
Pertama, sesuai perjanjian dan secara hukum konsorsium, PT MEG adalah pemegang hak eksklusif Kawasan Rempang.
Kedua, jangka waktu perjanjian 80 tahun.
Terakhir, jangka waktu sertifikat hak guna bangunan di atas hak pengelolaan lahan adalah 80 tahun.
Dugaan korupsi di proyek Rempang
Laporan Tempo menyebutkan dalam perjanjian pada 26 Agustus 2004, PT MEG akan membangun berbagai macam sarana di Pulau Rempang, Pulau Setokok, dan Pulau Galang.
Sebut saja sarana perdagangan, jasa, hotel, perkantoran, serta kawasan permukiman.
Ada juga gelanggang permainan, panji pijat, klub malam, diskotek, dan tempat karaoke.
Rencananya, Pemerintah Kota Batam dan PT MEG bakal menerapkan sistem bagi hasil.
Namun, rencana itu tak segera terlaksana.
Bahkan proyek tersebut sempat tersandung kasus dugaan korupsi pada 2007.
Waktu itu dua pucuk surat kaleng yang dikirim dari pihak yang mengaku sebagai warga negeri sipil Batam menyebutkan pemberian hak pengembangan serta pengelolaan Pulau Rempang serta sekitarnya kepada PT MEG telah merugikan negara hingga Rp3,6 triliun.
Gara-gara surat itu Tomy Winata sempat diperiksa Bareskrim Mabes Polri.
Setelahnya tak ada kelanjutan apa-apa hingga Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone.
"Saya nggak tahu dan sudah kelamaan, terserah deh [Batam] mau jadi apa. Dan saya tidak pernah bolak-balik ke sana, ngoyo benar," ujar Tomy Winata kepada Tempo tahun 2007 silam.
Proyek Rempang hidup kembali setelah mati suri
Belasan tahun kemudian, PT MEG kembali menghidupkan proyek mati suri ini dengan tajuk Batam-Rempang Eco City.
Pada 26 Mei 2023, Tomy Winata tampak mendampingi Chief Executive Officer Xinyi Group, Gerry Tung, saat bertemu dengan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Rempang Eco City: Bentrokan aparat dan warga kampung adat yang terancam tergusur proyek strategis nasional, 'kalau direlokasi hilang sejarah kami'
Pertemuan di Fuzhou, China, itu juga dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono, serta Direktur Utama PT MEG, Nuraini Setiawati.
Selang dua bulan kemudian atau pada 28 Juli 2023, PT MEG menandatangani perjanjian dengan Xinyi Group di Chengdu, persis di hadapan Presiden Joko Widodo.
Disebutkan komitmen investasi produsen kaca asal China tersebut mencapai Rp172 triliun.
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha menyiapkan Pulau Rempang sebagai mesin ekonomi baru Indonesia.
Dengan total target investasi yang diklaim mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080 mendatang, pengembangan Pulau Rempang diharapkan bisa memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bagi Kota Batam serta kabupaten atau kota lain di Provinsi Kepulauan Riau.
Sesuai rencana pembangunan yang dirancang PT MEG, sambungnya, Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata sehingga bisa mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.
Pengembangan Pulau Rempang juga diklaim akan membuka ratusan ribu lapangan kerja baru untuk masyarakat setempat.
"Dengan target 306.000 tenaga kerja bakal diserap selama pengembangan kawasan hingga tahun 2080," ucapnya.
Imbas kehadiran proyek ini permukiman warga di sana bakal digusur.
Muhammad Rudi berkata tidak mungkin kawasan industri pabrik kaca dan solar panel terbesar kedua di dunia ini berdampingan dengan permukiman warga.
Untuk itulah masyarakat katanya, akan mendapat hak hunian di Kampung Nelayan Modern.
"Lokasinya tidak jauh dari kampung sebelumnya dan masih berada di satu bibir pantai," ujar Rudi.
Proyek Tomy Winata kerap bermasalah?
Akan tetapi masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang berkeras pada sikap menolak relokasi, meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan sampai 28 September 2023.
Direktur Walhi Nasional, Zenzi Suhadi, menilai proyek-proyek yang dimiliki Tomy Winata kerap bermasalah karena tak didahului dengan kajian dan dipaksakan.
Salah satu contohnya adalah reklamasi Teluk Benoa. Proyek tersebut batal dilaksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional - yang merupakan anak perusahaan dari kelompok bisnis Tomy Winata.
Pasalnya izin lokasi reklamasi yang dipegang perusahaan dianggap telah kedaluarsa.
Selain itu, analisis dampak lingkungan (Amdal) proyek reklamasi Teluk Benoa dinilai tidak layak karena aspek sosio kultural yaitu adanya penolakan dari masyarakat.
"Proyek-proyek Tomy Winata ini, dia yang menentukan tempatnya, proyeknya, dan negara mengambil keputusan politik dengan menyetujui dalam bentuk pemberian izin," jelas Zenzi.
"Persoalannya di dalam konstitusi dan regulasi yang mengatur tata ruang, lingkungan dan hak rakyat, seharusnya tidak boleh keputusan politik mendahului kajian."
"Jangankan rakyat, anak kecil saja nggak mau kalau barangnya dirampas atau kehidupannya diinjak."
Menurut Zenzi, penolakan besar-besaran yang terjadi di Teluk Benoa dan Pulau Rempang harus menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengambil keputusan berupa pemberian izin.
Bahwa sebelum mengeluarkan izin harus terlebih dahulu mendengarkan masyarakat.
Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus memperhitungkan nilai historis atau ikatan kultural di lokasi tersebut.
"Kalau ekonomi rakyat belum dihitung negara, tapi keputusan politik sudah diambil, rakyat menolak dan bisa jadi negara rugi karena ekonomi yang dilindungi masyarakat lebih tinggi dari investasi."
"Jadi kami desak pemerintah hentikan proyek-proyek model begini. Jangan sampai negara mengedepankan kepentingan satu orang dan merampas hak ribuan orang," tegasnya. (*)
Tags : bisnis, ekonomi, cina, hak asasi, masyarakat, hukum, pekerjaan, indonesia, lingkungan ,