News Kota   12-06-2025 16:32 WIB

Puluhan Emak-emak Menangis Histeris Bawa 'Keranda Jenazah' di Depan PT Riau, 'mereka Diwajibkan Bayar Utang Melalui KoppsaM Rp140 Miliar'

Puluhan Emak-emak Menangis Histeris Bawa 'Keranda Jenazah' di Depan PT Riau, 'mereka Diwajibkan Bayar Utang Melalui KoppsaM Rp140 Miliar'
Emak-emak bawa 'Keranda Jenazah' di hadapan Pengadilan Tinggi (PT) Riau. 

PEKANBARU - Tak puas atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau yang menjatuhkan putusan terhadap Koperasi Produsen Petani Sawit Sukses Makmur (Koppsa-M) membayar utang Rp140 miliar ke PTPN IV Regional III (PTPN V), lantas emak-emak bawa 'Keranda Jenazah' di hadapan Pengadilan Tinggi (PT) Riau. 

"Koperasi Sawit Koppsa-M dihukum bayar utang Rp 140 miliar."

"Kami datang untuk menuntut keadilan. Putusan PN Bangkinang sangat berat sebelah dan tidak berpihak pada petani. Ada yang sudah meninggal tapi tetap disertakan dalam daftar yang harus membayar utang ini sungguh keterlaluan dan tidak masuk akal," kata salah satu perwakilan warga dalam orasinya, Kamis (12/6) siang.

Tetapi polemik Koppsa-M itu terus terjadi. Bahkan puluhan emak-emak petani bersama Aliansi Rakyat Riau menggugat dengan menggelar aksi damai menuntut keadilan.

Pemandangan tak biasa terjadi di depan Pengadilan Tinggi Riau kawasan Jalan Jenderal Sudirman Kota Pekanbaru. Pantauan dilapangan, aksi itu dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap putusan Pengadilan Negeri Bangkinang terkait gugatan wanprestasi terhadap Koperasi Produsen Sawit Makmur (Koppsa-M) senilai Rp140 miliar.

Dalam aksi damai tersebut, warga membawa bunga mawar sebagai simbol perdamaian dan keranda jenazah sebagai simbol matinya keadilan bagi petani kecil.

Mereka juga menyampaikan petisi berisi permintaan agar Pengadilan Tinggi Riau meninjau ulang dan membatalkan putusan PN Bangkinang yang dinilai tidak adil dan merugikan rakyat kecil.

Aliansi Rakyat Riau menyebut bahwa putusan itu memerintahkan ratusan anggota KOPPSA-M membayar utang hingga Rp140 miliar kepada PTPN V, serta menyatakan bahwa sertifikat hak milik petani dijadikan sebagai sita jaminan.

Mereka menegaskan bahwa sertifikat tersebut bukanlah untuk jaminan dana talangan kepada PTPN V, melainkan agunan kredit di Bank Mandiri.

Mereka juga menuding adanya kekeliruan dalam pertimbangan hukum oleh majelis hakim PN Bangkinang, karena mengabaikan keterangan saksi-saksi tergugat, termasuk saksi ahli, selama proses persidangan.

"Kami meminta majelis hakim Pengadilan Tinggi Riau meninjau kembali seluruh bukti dan argumen yang diajukan di pengadilan tingkat pertama. Jangan sampai hukum berpihak hanya pada korporasi dan membunuh hak-hak petani kecil," kata koordinator aksi dari Aliansi Rakyat Riau.

Informasi yang berhasil dihimpun, aksi itu merupakan lanjutan dari serangkaian unjuk rasa sebelumnya, termasuk yang digelar di Kantor Bupati Kampar, dua hari sebelum putusan PN Bangkinang dibacakan.

Putusan PN Bangkinang menyatakan Koppsa-M terbukti melakukan wanprestasi dalam kemitraan dengan PTPN IV Regional III.

Tak hanya itu, mewajibkan koperasi membayar dana talangan senilai Rp140,8 miliar.

Dana tersebut digunakan untuk pembangunan kebun sawit seluas 1.650 hektare.

Tak hanya itu, pengadilan juga menetapkan bahwa sertifikat hak milik (SHM) milik anggota petani yang terdaftar di BPN Kabupaten Kampar disita sebagai jaminan pelunasan utang dan sah secara hukum.

Ketua Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Ir Marganda Simamora, menyatakan bahwa putusan tersebut semestinya menjadi momentum untuk mengakhiri konflik panjang antara Koppsa-M dan PTPN IV.

"Ini bisa menjadi awal kemitraan yang lebih sehat dan positif. Tapi tentu saja harus disikapi dengan bijak oleh semua pihak," ujarnya.

Marganda menilai konflik berkepanjangan ini disebabkan oleh buruknya manajemen internal koperasi, serta egoisme pengurus yang tidak menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan kewajiban.

"Sejak awal saya mengikuti persoalan ini. PTPN telah menanggung cicilan pinjaman koperasi ke bank. Tapi pengurus malah tak membayar. Yang jadi korban justru petani asli," lanjutnya.

Ia juga menyoroti ketidaktepatan klaim "kebun gagal" yang disuarakan oleh pihak Koppsa-M, karena menurut fakta persidangan, tim penilai dari Dinas Perkebunan Kampar justru tidak pernah mengeluarkan rekomendasi resmi terkait klaim tersebut.

Dukungan terhadap putusan hakim juga datang dari Kepala Desa Pangkalan Baru Yusri Erwin, yang menyatakan bahwa keputusan tersebut mencerminkan harapan masyarakat, khususnya petani asli.

"Kami lelah dengan konflik ini. Petani asli desa hanya dijadikan alat oleh pihak-pihak luar yang rakus. Sekarang desa terpecah, tidak ada lagi keharmonisan," ujar Yusri.

Ia menambahkan bahwa transparansi dan pembenahan total manajemen koperasi sangat mendesak dilakukan, terutama setelah ketua koperasi sebelumnya dipenjara karena kasus hukum lainnya.

"PTPN sebagai penjamin sudah menyicil sampai lunas, tapi pengurus malah tidak transparan. Padahal hasil kebun ada, penghasilan bisa sampai Rp3 miliar sebulan. Lalu kenapa tidak bisa membayar hutang?" tanya dia.

Sebelumnya, Majelis Hakim PN Bangkinang yang dipimpin oleh Hakim Soni Nugraha dalam putusan yang disampaikan via e-court pada Rabu 28 Mei 2025, menyatakan bahwa Koppsa-M telah melakukan wanprestasi terhadap kewajibannya dalam perjanjian kemitraan bersama PTPN IV Regional III.

Dalam amar putusannya, pengadilan menghukum Koppsa-M membayar Rp140.869.808.707 secara tanggung renteng, serta menyatakan bahwa SHM yang dimiliki oleh anggota petani menjadi sita jaminan sah untuk pelunasan utang tersebut.

Koperasi dihukum membayar utang sebesar Rp 140,8 miliar. Sengketa antara Koppsa-M dan PTPN IV Regional III berakhir melalui putusan PN Bangkinang yang disampaikan secara daring melalui e-court pada Rabu 28 Mei 2025.

Majelis hakim yang dipimpin Hakim Soni Nugraha bersama dua anggota, Hakim Aulia Fhatma dan Hakim Ridho Akbar, menyatakan bahwa Koppsa-M telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji terhadap isi Perjanjian Kerjasama Nomor 07 tertanggal 15 April 2013.

Perjanjian itu pun dinyatakan berakhir secara hukum. Dalam amar putusannya, pengadilan menghukum Koppsa-M untuk membayar dana talangan pembangunan kebun sawit senilai lebih dari Rp 140 miliar.

"Menghukum para tergugat konvensi yaitu tergugat 1 konvensi sampai dengan tergugat 623 konvensi membayar dana talangan (pinjaman) kepada penggugat konvensi sebesar Rp 140.869.808.707,00, sekaligus dan seketika secara tanggung renteng," tegas hakim, Kamis (29/5).

Pengadilan juga menetapkan kebun milik Koppsa-M yang bersertifikat hak milik (SHM) dan terdaftar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kampar sebagai jaminan pelunasan utang.

"Menyatakan sita jaminan atas lahan yang bersertifikat hak milik, yang terdaftar di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kampar (turut tergugat 3 Konvensi)," kata hakim.

Selain itu, para turut tergugat juga diperintahkan untuk patuh pada putusan tersebut.

"Menghukum para turut tergugat konvensi untuk tunduk dan patuh terhadap putusan gugatan ini. Menolak gugatan penggugat konvensi selain dan selebihnya," tegas hakim.

Putusan ini didasarkan pada keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan di persidangan dan memberikan kesaksian di bawah sumpah.

Mayoritas saksi menyatakan bahwa Koppsa-M melakukan wanprestasi dalam pelaksanaan kemitraan dengan PTPN IV.

Para saksi mengungkapkan adanya sejumlah tindakan yang dilakukan koperasi, seperti penguasaan areal secara ilegal, pengusiran tim dari PTPN IV, serta kerja sama ilegal dengan pihak ketiga.

Kerja sama ilegal itulah yang disebut menjadi awal kerusakan kebun Koppsa-M, akibat eksploitasi hasil kebun besar-besaran tanpa perawatan yang memadai.

Kondisi ini disinyalir membuat koperasi kehilangan kemampuan untuk membayar dana talangan. (*)

Tags : koperasi, Koperasi Sawit Koppsa-M, utang Koperasi Sawit Koppsa-M, kasus Koperasi Sawit Koppsa-M, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Riau, petani kecil, Kampar, emak-emak, keranda, News Kota,