PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pemerintah diminta melakukan audit kepatuhan pada perusahaan-perusahaan pemegang izin konsesi di kawasan gambut setelah kajian terbaru dari Aktivis Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) melihat puluhan ribu hektare lahan gambut rentan terbakar di musim kemarau tahun ini.
"Waspada Karhutla di pelupuk mata, laporan terbaru itu mengatakan 3,8 juta hektare Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) – termasuk 2,5 juta hektare lahan gambut – berada pada kerentanan kelas tinggi. Sebanyak 54% dari 3,8 juta hektare itu berada pada area konsesi beserta area penyangganya," kata Ir. Ganda Mora, Pendiri Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA), tadi ini Senin (31/7).
Ia mengatakan audit kepatuhan perusahaan atas ketersediaan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) perlu dilakukan sebelum kebakaran terjadi, "apalagi, fenomena El Nino dikhawatirkan membuat lahan gambut semakin rentan kebakaran khususnya ada di Riau," sebutnya.
“Kalau tidak begitu, maka yang disebut kerentanan, bukan tidak mungkin itu menjadi suatu kenyataan. Nah kalau itu terjadi implikasinya berat karena emisi gas rumah kaca di daerah gambut itu adalah salah satu kontributor emisi gas rumah kaca untuk Indonesia,” ujarnya.
Seorang pejabat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengatakan akan melakukan cross-check lahan gambut ini.
SALAMBA menentukan lokasi yang rentan terhadap karhutla secara statistik menggunakan metode pembangunan model regresi berdasarkan data riwayat karhutla tahun 2015 hingga 2019, dengan beberapa variabel seperti titik panas (hotspot) dan kehilangan tutupan vegetasi.
Data bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Fire Information for Resource Management System (FIRMS) NASA, Global Forest Watch (GFW), serta berbagai sumber lainnya menunjukkan, tingkat kerentanan karhutla pada 24,2 juta hektare Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Indonesia, menjadi tiga kelas kerentanan: kerentanan karhutla kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas rendah.
“Artinya 2,5 juta hektare [lahan gambut] yang berada di kerentanan kelas tinggi ini berarti dia berpotensi terjadinya karhutla, atau dalam artian kalau kita track back ke belakang, mungkin dia punya historis karhutla,” kata Ganda Mora menyikapi yang terjadi.
“Untuk ke depannya. Tentu kita harus bersama-sama siaga, terutama di area yang berisiko tinggi tadi dan juga melakukan langkah langkah pencegahan agar tidak terjadi [kebakaran] di tahun ini.”
Sebanyak 54% dari 3,8 juta hektare KHG dengan kerentanan tinggi karhutla berada pada area konsesi beserta area penyangganya, menurut Pantau Gambut. Sebagian besarnya merupakan konsesi dengan izin Hak Guna Usaha (HGU), yang didominasi perkebunan kelapa sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
SALAMBA menemukan hubungan antara kemunculan karhutla dengan area KHG yang dibebani oleh konsesi perusahaan ekstraktif.
"Berdasarkan riwayat karhutla pada periode tahun 2015-2020 setidaknya sekitar 30% karhutla terjadi pada area gambut yang dibebani konsesi — proporsi tersebut bahkan mencapai 50% pada 2016 dan 2017."
Ganda Mora melihat, area konsesi menjadi perhatian karena perusahaan bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi di dalam wilayah konsesinya.
“Dalam catatan kami, baik konsesi perkebunan atau kehutanan punya kecenderungan dan pola kebakaran berulang dari tahun ke tahun. Setidaknya kami melihat itu di 2015 dan 2019,” kata Ganda.
Menurutnya, di Indonesia biasanya karhutla terjadi pada bulan Februari hingga Maret, kemudian bulan Juli sampai Oktober. Fenomena El Nino, yang diprediksi membuat kemarau semakin kering, akan semakin meningkatkan kerentanan karhutla di Indonesia.
Ganda mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan kebakaran di lahan gambut terus berulang adalah banyak putusan hukum lingkungan yang tidak dieksekusi secara maksimal sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pembakar. Masalah ini juga sudah diakui oleh KLHK.
“Nah, dalam konteks regulasi misalnya wilayah yang pernah terbakar itu tidak boleh kemudian ditanami sebelum dipulihkan atau kemudian dioperasikan lagi. Tapi faktual lapangannya juga berbeda."
Jadi dia menilai lemahnya penegakan regulasi dan penegakan hukum dalam analisanya kemudian itu membuat kebakaran berulang menjadi pola yang terus terjadi dari tahun ke tahun.
Sebelumnya pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor, Prof. Bambang Hero Saharjo kepada media mengatakan temuan lokasi rentan karhutla di dalam area konsesi sebetulnya adalah pengingat bahwa ada salah pengelolaan oleh korporasi sehingga mereka ada dalam kondisi rentan.
Misalnya, tinggi muka air tanah melebihi yang ditentukan oleh regulasi yaitu 40 centimeter.
“Jadi artinya kalau menurut regulasi yang ada PP dan peraturan menterinya itu tinggi muka airnya atau ground water level-nya itu harus kurang dari 40 cm. Begitu lebih dari 40 cm dia akan sensitif, jadi mulai terjadi proses pengeringan ... Maka si areal itu akan semakin sensitif terhadap kebakaran. Nah itu nanti bisa diindikasi dari hotspot dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut Prof. Bambang, temuan ini mestinya segera ditindaklanjuti oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) maupun asosiasi pengusaha sawit dengan melakukan audit kepatuhan perusahaan atas ketersediaan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla sebelum kebakaran terjadi.
Jika perusahaan tidak bersedia melakukan perbaikan, kata Prof. Bambang, mereka dapat dikenakan sanksi administrasi.
“Untuk memastikan kesiapan dari korporasi tidak hanya sekedar pernyataan atau narasi, itu harus dipastikan dengan cara melakukan audit compliance (kepatuhan). Dengan audit compliance itu kita dapat data sesungguhnya, kebenaran data yang terjadi di lapangan,” ujarnya.
“Karena kalau tidak, dan terjadi seperti sebelumnya ada pembiaran-pembiaran. Bukan tidak mungkin tadi yang rentan itu akhirnya menjadi kenyataan.”
“Dengan cara itu, kita berharap peluang kebakaran dari yang dugaan tadi tidak menjadi kenyataan,” kata Prof. Bambang.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, yang membawahi Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut belum dapat memberikan jawaban sampai artikel berita ini diterbitkan.
Tetapi Pejabat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang mewakili lembaga tersebut dalam acara peluncuran kajian ini, Parihutan Sagala, mengatakan akan melakukan cross-check dengan data BRGM.
Sagala, yang menjabat Kasubpokja Restorasi Gambut Papua, mengatakan kajian Pantau Gambut memiliki beberapa batasan sehingga belum tentu datanya sesuai dengan kenyataan di lapangan.
“Kita bisa berbagi informasi dan data ... karena saya pikir karhutla itu enggak menjadi tugas beberapa institusi saja tapi tugas kita semua,” katanya.
Sagala mengatakan saat ini BRGM terus memantau tren hotspot serta kejadian-kejadian karhutla. BRGM juga melakukan Teknik Modifikasi Cuaca (TMC) yang sudah dikerjakan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.
Dia menjelaskan bahwa wilayah kerja BRGM di tujuh provinsi prioritas – Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, Riau, Sumatera Selatan – berada di luar area konsesi perusahaan.
Menanggapi hasil kajian ini, Assurance Director Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Aryo Gustomo, juga menjelaskan bahwa pihaknya telah menggunakan teknologi satelit untuk memantau area konsesi perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota RSPO.
Jika ditemukan titik panas, tim pemantau RSPO akan mengabari perusahaan pemilik konsesi tersebut dan si perusahaan wajib menginvestigasinya.
Pada 2021, RSPO merilis Hot Spot Hub, sebuah platform digital interaktif yang memberikan informasi tentang titik api terverifikasi dan potensi kebakaran di dalam konsesi bersertifikat dan tidak bersertifikat RSPO, serta menyoroti tindakan yang dilakukan oleh anggota untuk memperbaiki situasi.
“RSPO akan terus mempertimbangkan, mempelajari, me-review kalau ada masukan-masukan yang bisa memperkuat sistem yang kita miliki saat ini,” kata Aryo.
Aryo menjelaskan, sejak 2018 RSPO telah memasukkan larangan menggunakan api untuk membuka lahan maupun membakar limbah dalam kriteria sertifikasi untuk sawit berkelanjutan.
RSPO juga mengharuskan perusahaan yang menjadi anggotanya untuk menerapkan pencegahan api semaksimal mungkin dan melakukan kontrol jika terjadi kebakaran. (*)
Tags : Sahabat Alam Rimba, Aktivis Salamba, puluhan ribu hektare lahan gambut rentan terbakar, lahan gambut di Riau, Pemerintah Audit Kepatuhan Perusahaan Pemilik Konsesi,