AGAMA - Masjid dan kuil Hindu kuno berdiri di satu situs yang sama, 'perebutan tempat ibadah berpontesi picu konflik agama di India'
Perselisihan mengenai satu masjid yang dibangun di atas reruntuhan kuil di Varanasi, India, disebut berpotensi memicu ketegangan baru.
Di Varanasi, salah satu kota tertua di dunia, umat Hindu dan Muslim kini beribadah di sebuah kuli dan masjid yang dibangun berdampingan. Kompleks yang dijaga ketat ini menunjukkan perjalanan sejarah yang penuh kegelisahan.
Masjid Gyanvapi dibangun di atas reruntuhan Kuil Vishwanath, satu kuil Hindu abad ke-16 yang megah.
Sebagian kuil itu dihancurkan pada tahun 1669 atas perintah Aurangzeb, kaisar Mughal keenam.
Sekarang, tempat itu berada di ambang perselisihan yang dapat memicu ketegangan baru di India.
Mayoritas penduduk negara ini memeluk Hindu. Islam adalah agama minoritas terbesar.
Sekelompok umat Hindu di Varansi baru-baru ini mengajukan permohonan ke pengadilan untuk berdoa di kuil yang terletak di belakang masjid dan sejumlah tempat lain di dalam kompleks itu.
Perintah kontroversial pengadilan yang mengizinkan survei berbasis video ke dalam masjid itu memantik pro dan kontra. Sebuah poros batu yang merupakan simbol dewa Hindu, Siwa, diklaim ditemukan dalam survei itu. Namun kabar itu dibantah oleh pengurus masjid.
Setelah kejadian itu, sebagian titik di Masjid Gyanvapi disegel pengadilan. Otoritas masjid tidak mendapat kesempatan untuk mengajukan keberatan atas putusan itu.
Kasus tersebut sekarang telah mencapai Mahkamah Agung.
Badan peradilan tertinggi di India itu, Selasa 17 mEI 2022, menyebut bahwa kompleks rumah ibadah tersebut akan "dilindungi". Kegiatan ibadah, kata mereka, akan tetap diizinkan berlangsung di masjid.
Perselisihan ini telah memicu kekhawatiran soal terulangnya perselisihan terkait Masjid Babri yang berlangsung selama beberapa dekade. Masjid yang didirikan pada abad ke-16 di kota suci Ayodhya ini dihancurkan massa dari komunitas Hindu pada tahun 1992.
Pengerusakan Masjid Babri merupakan titik klimaks dari narasi yang digaungkan partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP), yang saat itu berstatus oposisi. Peristiwa tersebut memicu kerusuhan yang lebih luas dan menewaskan hampir 2.000 orang.
Pada tahun 2019, Mahkamah Agung memutuskan bahwa situs keagamaan yang disengketakan di Ayodhya harus diberikan kepada umat Hindu, yang sekarang membangun kuil di sana.
Di sisi lain, umat Muslim diberikan sebidang tanah lain untuk membangun masjid.
Undang-undang tentang tempat ibadah yang dikeluarkan tahun 1991 melarang konversi terhadap tempat ibadah.
Sebaliknya, menurut beleid itu, rumah ibadah harus dirawat sesuai dengan karakter keagamaannya karena "telah berdiri" sejak 15 Agustus 1947 alias hari kemerdekaan India.
Namun, para pengkritik menyebut yang terjadi di Varanasi melanggar aturan itu. Asaduddin Owaisi, seorang pemimpin Muslim terkemuka, mengatakan "masjid itu sudah ada dan akan tetap dibertahankan".
Wakil Kepala Negara Bagian Uttar Pradesh yang berasal dari BJP, Keshav Prasad Maurya, meyakini tidak ada rekayasa dalam penemuan batu bekas kuil tersebut.
"Kebenaran telah terungkap. Kami akan menyambut dan mengikuti perintah pengadilan terkait masalah ini," tuturnya. Meski begitu, tidak sepenuhnya jelas, kebenaran apa yang harus diungkap.
Sejarah Kuil dan Masjid Gyanvapi
Publik umumnya menerima fakta bahwa terdapat sebuah kuil di situs keagamaan tersebut.
Kuil itu termasuk besar dalam skala ukuran dan pengerjaannya, menurut Diana Eck, profesor perbandingan agama dan studi India di Universitas Harvard. Dia mengatakan kuil tersebut terdiri dari tempat suci pusat dan dikelilingi delapan paviliun.
Kurang dari satu abad setelah dibangun, kata Profesor Eck, kuil itu diruntuhkan atas perintah kaisar Mughal, Aurangzeb.
"Setengah bagiannya dibongkar, lalu menjadi fondasi Masjid Gyanvapi," tuturnya.
Profesor Eck berujar salah satu dinding kuil masih berdiri, ditata seperti ornamen Hindu dalam matriks masjid.
"Jika dilihat dari bagian belakang masjid, pemandangan kontras yang dramatis dari dua tradisi adalah bukti: dinding batu berukir dari kuil tua yang megah walau dalam kondisi hancur dan di atasnya terdapat kubah plesteran putih sederhana dari bangunan masjid hari ini," ujarnya.
Fakta bahwa dinding kuil dimasukkan ke dalam bagian masjid, mungkin merupakan pernyataan atau sikap yang dibungkus agama tentang konsekuensi mengerikan jika menentang otoritas Mughal. Pendapat ini dikatakan Audrey Truschke, penulis Aurangzeb: The Man and the Myth.
Para sejarawan meyakini, salah satu alasan mengapa kuil itu diserang oleh Aurangzeb adalah dugaan bahwa orang-orang yang ada di kuil itu memfasilitasi pelarian Shivaji dari penjara.
Shivaji merupakan seorang raja Hindu yang merupakan musuh utama Mughal.
"Kuil yang dilindungi oleh orang-orang yang tunduk pada otoritas negara tapi kemudian menjadi musuh dan menjadi sasaran para penguasa Mughal," kata Richard Eaton, pengajar sejarah Asia Selatan di Universitas Arizona.
Menurut Eaton, setidaknya terdapat 14 kuil yang dapat dipastikan telah dihancurkan oleh pasukan Mughal selama 49 tahun kepemimpinan Aurangzeb.
Pada rentang abad ke-12 dan ke-18, terjadi 80 kasus perusakan atau penghancuran kuil di India.
"Kita tidak pernah tahu jumlah pasti kuil-kuil yang dirusak dalam sejarah India," kata Eaton.
Namun para ahli sejarah yakini, jumlah itu jauh lebih kecil dari klaim berlebihan kelompok sayap kanan yang membuat klaim sedikitnya 60.000 kuil dihancurkan di bawah penguasa Muslim India.
Eaton menjelaskan raja-raja Muslim sejak akhir abad ke-12 dan raja-raja Hindu setidaknya sejak abad ke-7 melakukan penjarahan, mendefinisikan kembali, atau menghancurkan kuil-kuil, yang dilindungi oleh musuh atau pemberontak negara.
"Itu adalah cara normal dilakukan untuk melepaskan penguasa yang kalah dari simbol otoritas kedaulatan mereka sebelumnya, sehingga membuat impoten secara politik," tuturnya.
Menurut pakar sejarah, cara ini bukanlah hal yang luar biasa. Sejarah Eropa juga tidak lepas dari konflik agama dan penodaan gereja.
Di Eropa Utara, misalnya, banyak bangunan Katolik dihancurkan atau dirusak selama pemberontakan kaum Protestan di abad ke-18. Contoh-contoh tersebut termasuk penodaan Katedral Utrecht pada tahun 1566 dan pembongkaran Katedral St Andrews yang hampir selesai di Skotlandia pada tahun 1559.
Namun seperti yang dikatakan oleh Pratap Bhanu Mehta, seorang pengamat terkemuka, "sekularisme (pemisahan agama dan kekuasaan) akan semakin dalam jika membiarkan sejarah menjadi sekedar sejarah, bukan menjadikan sejarah sebagai fondasi etika sekuler".
Menurutnya, perselisihan yang sedang berlangsung di Varanasi hanya dapat berakhir dengan membuka pintu depan komunal lain.
Walau begitu, kekhawatiran soal dampak perselisihan ini masih terlalu dini, kata Swapan Dasgupta, seorang kolumnis berhaluan kanan.
"Belum ada tuntutan untuk penghancuran masjid dan pemulihan keadaan yang ada sebelumnya. Hukum juga tidak mengizinkan ruang lingkup dari tempat suci untuk dimodifikasi," tulisnya.
"Sejauh ini, konflik di Varanasi bertujuan untuk menjamin ruang yang lebih luas bagi para umat saat beribadah," ujarnya seperti dirilis BBC.
Pandangan tersebut juga terlalu menyederhanakan.
Tahun lalu Mahkamah Agung menerima gugatan terhadap undang-undang tentang tempat ibadah, yang dengan sendirinya dapat membuka potensi konflik agama.
"Yang terjadi di Varanasi hanyalah awal dari serangkaian tuntutan tempat ibadah lain yang diklaim kelompok Hindu," kata Madan Lokur, pensiunan hakim Mahkamah Agung India.
Berbagai gugatan seperti ini dapat dengan mudah menyebabkan perselisihan tidak berkesudahan antara komunitas Hindu dan Islam di India. (*)
Tags : Kuil Kuno dan Masjid Gyanvapi, Puncak Emas Tempat Ibadah di India, Perebutan Tempat Ibadah, Agama,