Headline Artikel   2024/06/15 12:44 WIB

Putu Eka Darmawan Berhenti Bekerja dari Kapal Pesiar AS, 'Bartender Jadi Pemulung dan Ekspor Sampah Plastik Hingga Spanyol'

Putu Eka Darmawan Berhenti Bekerja dari Kapal Pesiar AS, 'Bartender Jadi Pemulung dan Ekspor Sampah Plastik Hingga Spanyol'
Seorang pekerja di Rumah Plastik Mandiri membersihkan cacahan sampah plastik.

PUTU EKA DARMAWAN memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai bartender di sebuah kapal pesiar Amerika Serikat, pada 2016 silam.

Dia kemudian kembali ke kampung halaman di Buleleng, Bali, untuk “menjadi pemulung” dan berkutat dengan sampah plastik.

Kini, Eka telah membuat berbagai produk daur ulang plastik, mulai dari furnitur, bahan konstruksi dan interior, hingga campuran aspal dan produk fesyen.

Suara mesin pencacah sayup-sayup terdengar dari lahan seluas 700 m2 di Desa Petandakan, Buleleng, Bali.

Di lahan yang diapit sawah dan jauh dari permukiman warga itu terlihat tumpukan karung berisi sampah plastik sejauh mata memandang.

Karung-karung yang beratnya masing-masing mencapai 40 kilogram tersebut tumpang tindih hingga menyerupai tembok. 

Di sudut lain, segala rupa plastik, dari wadah hingga botol bekas, teronggok begitu saja menunggu untuk diolah.

Eka duduk di atas kursi hasil campuran beragam sampah plastik dengan karakter warna yang unik.

Kontras dengan pemandangan sampah plastik itu, di dalam bangunan semi terbuka yang terletak di tengah area terdapat jajaran kursi tanpa sandaran dengan warna-warni mencolok menyerupai motif marmer, campuran warna kuning, biru dan putih.

Putu Eka Darmawan, 34 tahun, adalah pendiri tempat yang dinamai Rumah Plastik Mandiri itu.

“Saya sekarang jadi pemulung, dan saya bangga,” katanya sembari duduk di atas salah satu kursi tersebut.

Delapan tahun lalu, Eka memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai bartender di sebuah kapal pesiar di Amerika Serikat.

Setelah menikah, dia ingin menetap di kampung halamannya di Buleleng.

“Sisa uang pernikahan dalam rekening saya benar-benar Rp25 juta,” kenangnya.

Dengan modal itu, Eka putar otak membangun usaha yang bisa seimbang antara bisnis dan sosial.

Kala itu, menurut Eka, satu-satunya bisnis yang paling masuk akal dengan modal terbatas adalah mengolah sampah plastik yang ada di lingkungan sekitar. Apalagi, sekitar 30 menit perjalanan dari rumah Eka terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bengkala.

“Bisnis saya dapat, karma saya di [kehidupan] sosial juga dapat. Idealisme saya bertemu di sana dan saya temukan itu di sampah plastik," ungkap Eka.

Namun, Eka segera dihadang dengan kesulitan biaya. Harga berbagai mesin yang diperlukannya untuk mengolah sampah plastik menjadi benda bernilai jual mencapai belasan juta rupiah.

Lagi-lagi, Eka harus putar otak.

“Karena saya tidak bisa beli, saya pelajari konsepnya, saya bikin sendiri. Saya download banyak video di YouTube,” kata Eka.

Eka juga mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat mesin-mesin itu sendiri - dari bengkel ke bengkel hingga dari para pemulung. Berkali-kali mesin rakitannya gagal saat uji coba.

“Percobaan pertama di tahun kedua, percobaan mesin kedua itu di tahun kelima, percobaan ketiga itu di tahun keenam. Nah di percobaan itulah pada akhirnya berhasil,” katanya.

Kini, di Rumah Plastik Mandiri terdapat sembilan alat daur ulang plastik yang didesain Eka dan dirakit para teknisi dari bengkel-bengkel terdekat.

Ada dua mesin penggerak yang diambil dari mesin truk dan L300; tiga buah alat pencacah; satu mesin pengering cacahan; satu mesin blower; dan satu mesin pelebur.

Berkat mesin-mesin itu, Eka dan enam pekerja lainnya di Rumah Plastik Mandiri mampu mengolah sekitar dua ton sampah plastik per hari.

Dari mesin pencacah, plastik yang telah hancur menjadi serpihan sebesar ujung jari dibawa ke garasi rumah Eka untuk diolah.

Di tempat ini pula, Eka biasa menerima tetamu yang datang untuk mempelajari konsep hilirisasi sampah plastik yang dijalankannya.

Siang itu, lima pekerja - salah satunya adalah ayah Eka - memasukkan plastik yang telah dicacah ke mesin pengering bersuhu lebih dari 200 derajat Celsius.

Dari situ, plastik kemudian dicetak menjadi papan berukuran 100x50cm dengan tebal sekitar 1,4cm.

“Papan plastik itu digunakan sebagai pengganti kayu. Saat ini sedang booming, banyak permintaan untuk digunakan sebagai furnitur,” terang Eka.

Eka sendiri telah mengekspor lembaran-lembaran kayu ini Malaysia, Taiwan, hingga Spanyol. Sekali kirim, Eka bisa mengapalkan hingga ratusan lembar papan plastik. Per lembarnya, Eka mematok harga Rp350.000.

“Sudah ada beberapa negara yang kita masuki, dan sekarang sedang penjajakan masuk ke Jepang,” kata Eka, seraya menambahkan bahwa permintaan dari luar negeri masih belum stabil.

Oleh sebab itu, Eka pun dituntut kreatif. Selama delapan tahun menggeluti sampah plastik, Eka telah berhasil membuat bermacam benda daur ulang, mulai dari furnitur, bahan konstruksi dan interior, hingga campuran aspal dan produk fesyen.

Dengan bangga Eka menunjukkan jam tangan daur ulang yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam ini adalah purwarupa produk fesyen yang akan dia luncurkan dalam waktu dekat.

“Kami sedang mencoba. Cita-citanya kalau sudah sempurna baru akan kami jual,” ujarnya.

Bengkel motor milik Luh Putu Suarsini di Jalan Gempol, Banyuning, Buleleng, setiap hari melayani sekitar 50 pemotor.

Di sudut bengkel yang tak pernah sepi pengunjung itu, Putu dan suaminya mengumpulkan berbagai sampah plastik. Yang terbanyak adalah botol plastik wadah oli.

“Kadang botol bekas minuman orang juga saya kumpulkan,” kata Putu.

Secara berkala, tim Rumah Plastik Mandiri akan datang ke bengkel Putu dan menukar sampah yang dikumpulkannya dengan uang. Sekali tukar, Putu berkata bisa mendapat imbalan Rp100 ribu.

“Anak-anak selalu minta uang jajan sebelum berangkat sekolah. Uang hasil penjualan sampah plastik itu untuk menambah uang jajan anak,” kata Putu.

Selain ke bengkel Putu, tim Eka juga rutin menjemput sampah plastik di rumah atau tempat usaha warga Banyuning.

Hasil olahan botol-botol oli pun kemudian bisa diubah menjadi produk bernilai ekonomi.

Salah satu karya Eka dan timnya kini berada di Panamena Coffee & Eatery di Singaraja, Kabupaten Buleleng.

Mulanya, pemilik kafe tersebut, I Gede Mulya Pradipta, penasaran dengan furnitur serupa yang pernah ia lihat di sebuah beach club tersohor di Bali.

Dia tidak pernah tahu bahwa produsen furnitur dari sampah plastik itu ternyata warga Singaraja, satu daerah dengannya.

“Seiring berjalannya waktu, ternyata ketemu, dia [Eka] orang Singaraja. Produksinya di Singaraja, produksi barang yang sama,” ungkap Mulya.

Mulya lantas membeli satu set furnitur Eka senilai Rp8 juta untuk kafenya, harga yang dirasa wajar untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) seperti dirinya. Ditambah lagi, dia mendapat jaminan perawatan gratis dari Eka.

Kepada muda-mudi Singaraja yang berkunjung ke kafenya, Mulya dengan bangga memamerkan meja “sampah plastik” karya warga lokal.

“Ketika saya bilang produk yang kalian duduki ini berasal dari sampah, itu bisa memicu mereka,” kata Mulya.

"Orang-orang di Singaraja jadi punya harapan, karena barang keren ini sumbernya dari rumah kita sendiri."

Sepanjang 2023, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut 19% dari 22.986.742 ton sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia adalah sampah plastik.

Eka memperkenalkan sampah plastik kepada anak-anak.

Ini berarti, ada 4.367.480 ton sampah plastik per tahun. Sampah plastik sebanyak itu, setara dengan berat lebih dari 500.000 truk kontainer.

Di Bali, menurut Bali Partnership, sebuah kelompok kerja dari pemerintah daerah hingga akademisi, diperkirakan ada sekitar 303.000 ton sampah plastik setiap tahunnya.

Bagi Eka, ini berarti bahan baku untuk usaha seperti miliknya melimpah ruah. Namun berdasarkan pengalamannya, dulu sampah plastik seolah memiliki kasta.

“Ada sampah plastik yang kastanya tinggi, ada sampah plastik yang kastanya rendah, bahkan ada yang tidak punya kasta. Itulah yang membuat masalah sampah plastik tidak kelar-kelar,” tutur Eka.

“Kasta” sampah plastik yang dimaksud Eka adalah golongan sampah plastik berdasarkan tingkat kesulitan dalam pengolahan dan nilai ekonomi ketika dijual ke tempat pengolahan sampah.

Jenis plastik PET atau Polyethylene Terephthalate, yang lazim digunakan sebagai bahan dasar produk komersial seperti botol air minum kemasan tergolong mudah diolah. Ketika dihancurkan dan diolah plastik PET dapat menjadi kain polyester, dakron isi bantal, dan karpet.

Sementara jenis plastik HDPE atau High-Density Polyethylene yang lebih tebal dari plastik PET, tergolong lebih mudah didaur ulang dan diterima di hampir seluruh pusat daur ulang di dunia.

Keduanya dianggap memiliki "kasta” lebih tinggi.

Sementara, jenis plastik yang tergolong “plastik yang kastanya rendah”’ adalah LDPE atau Low-density Polyethylene seperti kantong plastik karena sulit didaur ulang.

Adapun plastik jenis PP atau Polypropylene yang mudah dijumpai dalam kemasan mi instan atau jajanan, sulit untuk didaur ulang.

Demikian halnya PS atau Polystyrene, jenis plastik yang biasanya digunakan untuk membuat garpu, sendok plastik dan styrofoam. Keduanya, sebut Eka, dianggap “tak berkasta”.

Masalah kasta sampah plastik ini pernah dirasakan Eka saat mulai membangun Rumah Plastik Mandiri.

Pada awalnya, usaha Eka fokus pada pengumpulan sampah plastik yang kemudian dikirim ke industri pengolahan di Pulau Jawa.

Kala itu, industri daur ulang menolak untuk mengolah sampah plastik berkasta rendah yang dikumpulkan oleh masyarakat. Alhasil, Eka harus menombok dan merogoh kocek dalam-dalam untuk menebusnya.

Padahal, belakangan Eka menemukan bahwa kantong plastik pun bisa bernilai ketika diolah menjadi bahan campuran aspal.

Pada 2023, Eka mengolah 25 ton cacahan sampah plastik untuk campuran aspal yang digunakan untuk pembangunan dua ruas jalan di Bali.

Kala itu, permintaan datang dari Dinas Pekerjaan Umum setempat.

Tahun ini, sekitar 35 ton cacahan sampah plastik olahan Eka dipakai untuk membangun satu ruas jalan di Kabupaten Buleleng.

“Butuh ratusan tahun bagi alam untuk mengurai sampah plastik. Pertanyaannya, mengapa [plastik] yang dibuat industri tidak diselesaikan oleh industri? Mengapa alam yang harus menyelesaikannya?” tanya Eka.

Jika butuh ratusan tahun untuk mengurai plastik, ia melanjutkan, artinya daya tahan (durability) plastik sangat kuat.

“Tempatkan durability itu pada tempat yang seharusnya. Contohnya, Anda punya meja yang tidak akan hancur selama ratusan tahun, bukankah itu sebuah investasi?”

Bagi Eka, plastik juga merupakan bukti peradaban manusia. Di masa depan, penggunaan plastik nyaris tak akan bisa dikurangi, kata dia.

“Yang paling mungkin kita lakukan untuk mengubah masalah menjadi peluang adalah tidak menggunakan plastik virgin (murni) atau produk plastik baru.”
Mengedukasi anak-anak

Saat ini ada banyak inisiatif untuk mengatasi sampah plastik di Bali. Namun menurut Eka, yang membedakan Rumah Plastik Mandiri dengan yang lainnya adalah inisiatifnya “tidak seperti apa yang dilakukan swasta pada umumnya, tidak seperti apa yang dilakukan pemerintah pada umumnya.”

Eka yang tergabung dalam Asosiasi Bank Sampah Indonesia (Asobsi), menjelaskan bahwa pada umumnya tidak semua jenis sampah plastik diambil dan diolah oleh swasta dan pemerintah. Namun, di Rumah Plastik Mandiri, semua jenis sampah plastik diterima.

Eka juga menggabungkan skema hulu dan hilir dalam satu titik, yakni transaksi sampah plastik antara masyarakat dengan Rumah Plastik Mandiri, pengolahan, hingga produksi barang bernilai.

“Tidak hanya mengumpulkan dan mengolah sampah plastik saja, saya juga membuat skema bisnisnya. Harapannya, hasil dari bisnis itu bisa membiayai skema sosial dan edukasi yang kami lakukan di hulunya,” papar Eka.

Edukasi itu yang Eka andalkan untuk mengubah persepsi masyarakat tentang sampah plastik.

"Bagi mereka, sampah plastik ini bisa menjadi tabungan," tambah Eka.

Inisiatif ini awalnya dia bangun dari edukasi pada anak-anak di Desa Petandakan.

“Anak-anak penasaran dengan apa yang saya lakukan. Lalu mereka mulai mengumpulkan sampah dan punya tabungan [dari penjualan sampah plastik].”

“Ketika tabungannya sudah cukup, mereka beli tas, bahkan ada yang beli sepeda. Dari situ ada pembuktian kepada orang tua mereka,” kenang Eka.

“Ketika ada hasilnya, para orang tua akhirnya juga ikut mengumpulkan sampah plastik.”

Kini, edukasi yang Eka lakukan terhadap masyarakat sekitar mulai membuahkan hasil. Eka mengaku sudah jarang melihat pembakaran sampah di desanya.

“Sekarang, orang-orang menumpuk sampah plastiknya di halaman,” tambahnya. Mereka sengaja mengumpulkan sampah untuk dijual kembali.

Delapan tahun menjalani usaha ini, Eka mengaku masih banyak kekurangan, terutama urusan modal.

“Kami tidak dibiayai siapa pun, perkembangan kami lambat. Tapi dengan semua kelemahan yang kami punya, kami dapat bertahan sampai delapan tahun,” tukas Eka.

Meski begitu, Eka berkata masih semangat untuk berkreasi. Dia mengaku belum menemukan batasan kegunaan sampah plastik dalam kehidupan manusia.

“Sampah plastik bisa menjadi penolong manusia, juga bisa membunuh manusia. Itu kan pisau bermata dua,” tutup Eka.

Sampah plastik baru saja tiba dan sedang ditimbang.

Dalam World Economy Forum pada 2020, Menteri Koordinasi Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut bahwa pada 2025 mendatang, jika tidak ada langkah yang diambil, maka sampah plastik yang tidak tertampung dan hanyut hingga laut Indonesia dapat mencapai 780.000 ton.

Di Davos, Swiss, itu Luhut kemudian memaparkan rencana pemerintah Indonesia untuk mengatasi polusi sampah plastik dengan “visi yang radikal”.

“Yakni mengurangi kebocoran sampah plastik di laut sebesar 70% dalam lima tahun ke depan,” ujarnya.

Empat tahun berlalu, Peneliti Sampah Plastik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Reza Cordova mengatakan sampah plastik yang bocor hingga ke laut memang sudah menurun sebesar 37% dari target, atau sekitar 350.000 ton.

“Namun, untuk mengejar target hingga 70% pada 2025 mendatang, Indonesia harus mengurangi sekitar 200.000 ton lagi dalam waktu 1,5 tahun. Apakah itu bisa kita lakukan?” tanya Reza.

Data BRIN pada 2018 menunjukkan jumlah sampah plastik yang hanyut hingga ke lautan mencapai 615.000 ton. Angka itu diperkirakan bertambah sebesar 5% setiap tahunnya.

Langkah yang dilakukan Putu Eka Darmawan, menurut Reza, merupakan contoh inisiatif individu yang secara tidak langsung mendukung visi ambisius pemerintah.

“Sayangnya, dalam hal ini, baru masyarakat secara individual saja yang menjadi ujung tombak untuk pengelolaan sampah, padahal seharusnya pemerintah bisa memimpin lebih dahulu,” tutup Reza.

Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2023 lalu, jumlah sampah yang tidak terkelola mencapai 7,775,279 ton. Sebanyak 18% dari angka itu merupakan sampah plastik yang mencapai hampir 1,4 juta ton. (*)

Tags : Putu Eka Darmawan, Bartender Jadi Pemulung, Limbah Plastik diekspor Hingga Spanyol, Daur ulang, Polusi, Bisnis, Kaum muda, Wiraswasta, Indonesia,