WACANA spiritualitas dalam ekonomi modern bukan hal baru lagi. Hermawan Kartajaya dalam catatannya, pernah menyebut jenis spiritual benefit/keuntungan yang berbasis spiritual. suatu bentuk keuntungan yang dilandasi oleh prinsip spiritual dan keyakinan dalam perilaku ekonomi.
Dalam prinsip ekonomi Islam, misalnya, awal pengelolaan aset publik berorientasi pada kemaslahatan bersama dalam batasan syar'i dan untuk kepentingan jangka panjang/akhirat. prinsip ekonomi Islam dengan nyata menumbuhkan produktifitas secara adil dan merata.
Ekonomi Islam juga membatasi dalam hal apa aset aset itu bisa menjadi milik bersama/berserikat: seperti air dan gas bumi, ia idealnya aset bersama yang dikelola negara dengan adil untuk kemakmuran bersama, bukan memakmurkan pemilik modal.
Dari beberapa poin di atas, penulis ingin menunjukkan bahwa aset sebagai aktiva yang bernilai dengan basis keekonomian dan spiritualitas.
Tentu dalam hal ini ia bersifat tidak tampak, namun memberikan potensi "daya"/ sumber daya dalam merefleksikan kehidupan dan mencapai ketinggiannya.
Maka ia disebut aset spiritual. secara prinsipil, sifat aset yang ideal adalah bertumbuh dan melimpah serta memberikan dampak yang lebih banyak melampaui harapan bendawi/aktiva bendawi semata.
Dalam wacana ini, ibadah puasa dan Ramadan sebagai wahana utama dalam membangun aset spiritual. dalam bentuk aktiva amal salih yang dimaksimalkan dan digandakan.
Demikian pula seluruh rangkaian amal yang bernilai pahala akan membentuk aset berupa "cahaya" dan " Rahmat" Allah yang menumbuhkan makna dalam hidup di dunia ataupun di akhirat.
Ramadan sebagai bulan agung dan bulan latihan, sangat relevan menjadi pangkal pembangunan aset spiritual untuk kemaslhatan pasca Ramadan dan keuntungan di akhirat kelak. Karena sudah tentu efek dari kumulatif aset spiritual itu akan memengaruhi realitas fisik dan memungkinkan tumbuhnya ide ide yang penuh rahmat.
Tags : aset spiritual, ramadan,