Artikel   2023/04/03 23:27 WIB

Ramadhan Tahun 80-an, 'Meriam Bambu dan Petasan Meninggalkan Kenangan Mendalam'

Ramadhan Tahun 80-an, 'Meriam Bambu dan Petasan Meninggalkan Kenangan Mendalam'

TIAP generasi punya kenangan sendiri saat menghadapi Ramadhan. Dalam menghadapi Ramadhan tahun 80-an meriam bambu dan petasan meninggalkan kenangan mendalam.

"Begitu pula saya. Ramadhan di era 80-an atau jaman saya duduk di bangku SMP dulu punya makna khusus yang meninggalkan kenangan mendalam. Era 80-an saya tinggal di Bengkalis. Saat itu kawasan ini masih sepi," kata H. Darmawi Wardhana Zalik Aris, Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) menceritakan.

Hal yang pertama kami beli saat memasuki Ramadhan adalah petasan.

Era waktu 80an petasan sama sekali tidak dilarang. Mereka biasanya berjualan di pasar-pasar. Petasan yang paling terkenal jaman itu adalah Karapan Sapi, bintang, dan petasan cabe, sebutnya.

"Karapan sapi memang bukan yang terbesar tapi terlaris. Suaranya keras.Petasan bergambar bintang cukup keras tetapi tak sekeras Karapan Sapi. Kalau petasan cape biasanya dijual renteng tetapi suaranya tidak begitu keras," tuturnya.

"Kalau yang lebih besar dari Kerapan Sapi banyak. Tapi kami terlalu takut menyalakannya," sambung Darmawi mengenang.

"Percaya atau tidak, saya dan teman-teman dulu selalu punya cara untuk "memeriahkan suasana". Saat semua orang  baru saja berbuka puasa, kami sudah main petasan," ceritanya.

Saat tarawih hampir semua tetangga yang muslim pergi ke mesjid. Biasanya jalan ramai dengan orang yang berjalan kaki. Dulu tak ada acara sinetron dan lainnya di televsi atau iinternet sehingga ibadah bisa fokus.  

Tapi ada juga yang ke masjid sekedar shalat Isya lalu nongkrong di warung warung atau janjian dengan pujaan hati.

"Habis belum ada sms atau handphone, jadi susah kalau mau janjian. Ketemunya ya pas tarawih," ujarnya.

Saat sahur selalu ramai oleh warga kampung yang berkeliling sambil berteriak: Sahur, Sahur, Sahur.  Zaman now, sudah sedikit sekali pesertanya, katanya lagi.   

Tak kalah seru adalah masa muda-muda dulu buat meriam bambu (bledugan) menggunakan mesiunya dari karbit. Bunyinya keras sekali seperti meriam biasa.  

"Dahulu hidup dikampung rumah-rumah masih jauh jaraknya, jadi suara meriam tak terlalu mengganggu. Kalau tak hati-hati kobaran api dari lubang sumbu bisa mengenai rambut atau alis," katanya sambil tersenyum.

Kalau ngabuburit saat itu, kata Darmawi lagi, biasanya main sepeda, kelereng, atau layangan.

"Main sepeda biasanya kami cari tempat agak jauh ke dekat area hutan. Di sana kami masih bisa dapati rambutan tak bertuan. Bisa kami petik dan bawa pulang (kalau sedang musim). Main kelereng, kasihan anak sekarang lahan perkarangan semakin sempit," sebutnya.

Paling seru main layangan dari atas bukit. Bisa lupa waktu, kata dia lagi.

Jaman 80-an tak ada internet, tv kabel, tv swasta, atau smarphone. Hanya ada TVRI, itupun baru sore hari mengudara dan acaranya hampir seremonial semua.  

Saat menjelang Lebaran suasana di kampung jadi ramai. Kartu lebaran di toko-toko buku jadi rebutan. Berbagai model tersedia. Dari yang gambar masjid, kartun, hingga kaligrafi. Kantor pos kebanjiran surat.

Sekarang apakah masih ada yang mengirim kartu Lebaran?

Darmawi menjawab spontan; tentu tak ada lagi ...

"Sedangkan saat Lebaran, tuan rumah akan marah kalau tamu yang bertandang tak makan dulu. Jadi siap-siap saja kekenyangan. Kalau sekarang kebiasaan ini mulai hilang. Tamu hanya datang sebentar, salaman, terus pulang. Kue di meja tamu pun tak sempat dicicipi. Sekarang kue Lebaran malah jadi penghias meja saja," kata dia. (*)

Tags : ramadhan, kenangan ramadhan tahun 80-an, ramadhan main meriam bambu dan petasan, ramadhan tahun 80an meninggalkan kenangan mendalam,