LINGKUNGAN - PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) sepakat untuk merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) perusahaannya yang ditolak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sekretaris Jenderal Kementerian LHK Bambang Hendroyono mengatakan, RAPP telah memahami kesalahannya dan akan memperbaiki RKU sesuai aturan yang berlaku.
“RAPP akan segera membuat perbaikan yang terjadi sejak 30 Oktober 2017 lalu dan mereka harus segera memperbaikinya. RAPP akan bisa menyelesaikan secepat mungkin karena sudah banyak hal yang bisa dituntaskan,” kata Bambang usai bertemu dengan manajemen RAPP di kantor Kementerian LHK, pada media, Selasa (24/10).
Bambang menuturkan, RAPP diminta untuk tidak memasukkan rencana penanaman jenis akasia-eucalyptus di fungsi lindung ekosistem gambut dalam RKU. Rencana penanaman di fungsi lindung dapat dilakukan dengan tanaman jenis setempat.
“Terus juga disebutkan rencana pemulihan dengan berbagai cara,” kata Bambang.
Dengan disepakatinya perbaikan tersebut, KLHK menjamin jika pemerintah tidak akan menghentikan izin RAPP. Sehingga, RAPP masih dapat melakukan operasi di Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dimilikinya.
“Jadi tidak berdampak kepada kegiatan di lapangan. Seluruh kegiatan berjalan seperti biasa,, tetapi jangan sampai ada ditemukan melakukan alih fungsi hutan,” ujar Bambang.
Selain itu, Bambang juga menyebut jika RAPP akan menjadi offtaker dari areal perhutanan sosial yang berada di sekitar HTI mereka.
Hal ini, kata Bambang, dapat menjadi sumber bahan baku untuk mendukung industri RAPP.
“Ini penting dikarenakan PT RAPP sudah akan mewujudkan buku RKU-nya tadi dengan kegiatan pemulihan ekosistem gambut dalam rangka menjaga usahanya dan juga menjaga kelestariannya,” kata dia.
Direktur Hubungan Korporasi PT RAPP Agung Laksamana memastikan akan segera melakukan perbaikan atas RKU perusahaannya.
Selain itu, RAPP juga akan melanjutkan operasi HTInya yang telah dihentikan sejak 18 Oktober lalu.
“Kami mendapat kepastian bahwa kami tetap bisa melakukan operasi kecuali di fungsi lindung gambut,” kata Agung.
Agung menyatakan tak akan ada tenaga kerja yang dipecat dengan dibolehkannya RAPP beroperasi.
“Kami akan langsung mengkomunikasikan ini ke seluruh tim. Kami juga sudah kirimkan surat resmi,” kata Agung.
Sementara Ketua Umum Independen Pembawa Suara Transparansi [INPEST] Ir. Ganda Mora S.H M.Si justru lebih menilai RAPP sebaiknya bisa ikuti prosedur pasal 110A, Undang-Undang Cipta Kerja [UUCK], karena diduga perusahaan milik Sukamto Tanoto itu terlibat kecurangan dalam usaha pekerjaan HTInya.
"Mereka diduga terlibat melakukan alih fungsi lahan seluas 1.290 Ha di Simalinyang, tetapi perusahaan itu boleh pinjam pakai sesuai UUCK guna nantinya untuk masyarakat tempatan," sebutnya.
Pada lahan konsesi HPHTI milik RAPP kini sudah berubah fungsi menjadi tanaman non tanaman kehutanan yakni di jadikan kebun kelapa sawit seluas lebih kurang 1.290 hektar.
"Kami menduga itu merupakan areal peruntukan tanaman kehidupan yang di berikan kepada masyarakat tempatan," katanya.
Menurutnya, dari sudut pandang UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang mengatur tentang perlindungan hutan dan kawasan hutan maupun UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah sektor kehutanan juga bisa di lihat pada PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Perusahaan seharusnya sudah membagikan lahan itu kepada masyarakat tempatan sebagai lahan tanaman kehidupan yang terus menopang kehidupan masyarakat dalam bentuk kelompok tani minimal 2 hektar per keluarga.
Maka prosedur pinjam pakai lahan untuk satu daur dapat dilakukan dengan ketentuan membayar denda keterlanjuran, mengingat areal tersebut diperuntukkan bagi masyarakat tempatan sehingga memenuhi syarat untuk di ajukan pinjam pakai kepada kementerian kehutanan.
Mereka merupakan warga tempatan memiliki kartu tanda penduduk setempat dan sudah mendiami daerah tersebut cukup lama dan seharusnya memperoleh maksimal 5 hektar untuk setiap keluarga, "sehingga diharapkan pihak RAPP bisa membantu masyarakat untuk mengurus pinjam pakai sesuai Pasal 110A dan 110B Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mengatur tentang kegiatan usaha yang dilakukan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja sesuai Pasal 110A".
UUCK mengatur kewajiban menyelesaikan persyaratan bagi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan, dengan ketentuan membayar biaya perhitungan denda administrasi untuk menduduki kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2021.
"Peraturan ini mengatur tata cara penegakan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak dari denda administratif di bidang kehutanan," sebutnya.
Tetapi sanksi administrasi ini, kata Ganda, berupa denda dikenakan kepada pelanggar ketentuan undang-undang yang bersifat administratif keterlanjuran dengan ketentuan umur produktif kelapa sawit 10 tahun dengan tarif denda dari persentase keuangan per tahun (Rupiah) yaitu 25.000.000x 20 % (tutupan rendah) per hektare atau sebesar Rp. 5.000.000.
Sehingga denda yang harus dibayar adalah sebesar 1.290x 10 tahun atau sebesar minimal Rp. 64,5 miliar sesuai dengan hitungan pajak keterlanjuran, karena sangat memenuhi kriteria dalam proses pinjam pakai untuk masyarakat tempatan maksimal 5 ha per keluarga.
"Bila tidak dilaksanakan pembayarannya, justru malah menimbulkan kerugian negara dan bisa dikenakan pidana. Untuk menghindari masalah itu sebaiknya segera lah dilakukan prosedur tersebut," terangnya. (*)
Tags : PT Riau Andalan Pulp and Paper, RAPP Mengaku Salah, Usaha Kerja Jalankan Hutan Tanaman Industri, RAPP Harus Bayar Rp645 Miliar, RAPP Sudah Lakukan Alih Fungsi Lahan, Lingkungan Alam,