Sebanyak 63,83 persen Muslim setuju jika pesantren atau ormas punya usaha tambang.
JAKARTA — Hasil survei nasional Religious Environmentalism Actions (REACT) tentang pengetahuan sikap dan perilaku Muslim Indonesia terhadap lingkungan dan perubahan iklim menunjukkan adaya dualitas peran agama, khususnya menyikapi isu tambang.
Survei yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) tersebut mengungkapkan, meski mayoritas responden Muslim tahu dan yakin akan terjadinya perubahan iklim dan dampak negatif dari aktivitas ekonomi seperti pertambangan, sebagian besar orang Islam ternyata masih melihat usaha tambang sebagai peluang ekonomi yang penting.
“Temuan ini menunjukkan sikap umat yang mendua. Di satu sisi, banyak yang setuju kalau kerusakan lingkungan itu disebabkan oleh aktivitas ekonomi seperti tambang, tetapi di sisi lain masyarakat Muslim di Indonesia cenderung setuju pesantren atau ormas memiliki bisnis tambang untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi,” jelas Iim Halimatusa’diyah, Koordinator Survei Nasional REACT – PPIM UIN Jakarta pada Peluncuran Survei Nasional REACT di Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Survei ini mewawancarai 3,397 responden berusia 15 tahun ke atas dari seluruh provinsi di Indonesia. Survei ini menemukan, hampir 70 persen Muslim Indonesia sangat setuju dan setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan.
Meski demikian, 63.83% Muslim juga setuju jika pesantren/ormas memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk meningkatkan kondisi ekonomi. Dilihat dari afiliasi ormas Islam, Muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah paling setuju (69.91%) bahwa perubahan iklim terjadi karena aktivitas ekonomi seperti pertambangan dan perkebunan sawit.
Sementara itu, meskipun secara umum semua Muslim dari berbagai afiliasi ormas setuju dengan kepemilikan pertambangan, Muslim yang berafiliasi dengan NU paling tidak setuju (29,88%) pesantren/ormas memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk meningkatkan kondisi ekonomi.
Iim merespon temuan di atas melalui dua pertanyaan penting untuk didiskusikan. “Pertama, adakah tambang yang ramah lingkungan? Lalu kedua, apakah pesantren atau ormas bisa mengelola tambang yang ramah lingkungan sekaligus mensejahterakan umat?,” ujar Iim.
Menurut Iim, fakta ini menunjukkan, betapa dilematisnya persoalan ramah lingkungan dan kepentingan ekonomi.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan dua penafsiran tentang Green Islam. Menurut dia, umat Muslim Indonesia perlu secara cermat memahami Green Islam sebagai “habitat kecil” atau small habitat (al-bi’ah al-sughra) dan “habitat besar” atau big habitat (al-bi’ah al-kubra).
Ulil menyatakan tidak mempersoalkan bila umat Muslim turut terlibat dalam aktivisme lingkungan al-bi’ah al-sughra.
“Pada level ini, saya tidak punya keberatan apa pun. Seperti yang ditujukan survei PPIM, umat Muslim memang harus terlibat pada persoalan sampah, polusi, hancurnya biodiversitas, sampai isu kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri ekstraktif,” ujar dia.
Sementara, Ulil mengingatkan umat Muslim Indonesia untuk hati-hati terlibat dalam isu lingkungan pada kategori al-bi’ah al-kubra.
Ulil mencontohkan al-bi’ah al-kubra sebagai perdebatan global isu lingkungan, terutama isu perubahan iklim, seperti yang terjadi di belahan Amerika bagian utara.
“Kita harus kritis terhadap diskursus isu lingkungan pada level al-bi’ah al-kubra jika tidak menginginkan Islam pada posisi pinggiran atau periferal dan hanya justifikasi untuk isu lingkungan. Karena isu lingkungan pada level ini seringkali menimbulkan polarisasi, seperti yang terjadi pada negara-negara di Amerika bagian utara, di Amerika Serikat, Kanada, atau juga Australia, yang bisa menyebabkan target-target emisi yang disepakati di Paris Agreement mundur,” jelas Ulil.
Direktur Eksekutif Muhammadiyah Climate Center Dr Agus Sulaiman Djamil monegasken, umat semestinya proaktif dan bersinergi dalam memuliakan bumi dan bertindak karena kewajiban agama, bukan sebatas karena komitmen banyak pihak.
Djamil menyoroti temuan survei PPIM UIN Jakarta, hampir 70% Muslim Indonesia sangat setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan.
Kondisi ini menurut Jamil perlu mendapat perhatian, meski banyak komunitas keagamaan telah aktif bergerak di isu lingkungan, namun permasalahan lingkungan terus terjadi.
“Indonesia dalam situasi dan posisi sangat istimewa sekaligus kritis dalam masalah iklim dunia ini” ujar Djamil, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah
Selain pertambangan dan sawit, menurut Djamil, penulis buku Islam dan Lautan ini, menjelaskan penyebab kerusakan lingkungan lainnya yaitu karbon.
“Terkait penyebab perubahan iklim, selain petambangan juga disebabkan karena karbon”, ucap Djamil. (*)
Tags : konsesi tambang, konsesi tambang untuk ormas, lahan tambang untuk ormas, ormas islam, soal tambang, survei soal tambang, survei PPIM UIN soal lingkungan green islam, islam dan lingkungan, islam yang hijau, ormas soal konsesi lahan tambang, keppres konsesi lahan tambang untuk ormas,