PEKANBARU - Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) menyoroti persoalan regulasi dan kebijakan terkait desa-desa yang berada dalam kawasan hutan.
'Desa yang masuk dalam kawasan hutan belum dibenahi."
“Apakah data Kementerian Desa sama dengan data Kementerian Kehutanan? Karena ini menyangkut nasib desa-desa yang selama ini justru menjadi korban regulasi,” kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum), Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN), Jumat.
Menurutnya, kebijakan yang tumpang tindih justru membuat masyarakat adat dan desa tertinggal terjebak dalam kemiskinan struktural.
Larshen mengungkapkan, berdasarkan data Kementerian Kehutanan, terdapat 25.863 desa yang masuk dalam kawasan hutan dengan sekitar 9,2 juta rumah tangga terdampak.
Namun, data yang disampaikan Kementerian Desa berbeda, sehingga menurutnya perlu ada sinkronisasi lintas kementerian.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini mencontohkan Desa yang ada di Riau, di mana masyarakat adat ditahan karena menebang pohon di kawasan hutan yang sebenarnya merupakan tanah dan pohon warisan leluhur mereka.
Sebaliknya, perusahaan dengan izin konsesi justru leluasa melakukan eksploitasi hutan dalam skala besar.
“Kita ingin menegakkan regulasi, tapi jangan sampai Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Konservasi justru menabrak hak konstitusi rakyat. Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebutkan negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (KHMPP) Satya Wicaksana ini juga menyoroti dampak ekonomi yang dialami masyarakat desa.
Ia meminta pemerintah serius mencari solusi, termasuk dengan memperjelas status hutan adat yang selama ini masih sering dimasukkan ke dalam hutan negara.
Menurutnya, tanpa regulasi yang jelas, desa-desa dalam kawasan hutan akan terus menjadi korban, sementara kesejahteraan rakyat hanya menjadi slogan.
“Kita ingin menyegarkan satu regulasi misalnya menegarkan Undang-Undang Kehutanan. Jadi daerah-daerah adat, pegunungan, daerah yang tidak bisa mendapatkan hak konstitusinya mendapatkan kesejahteraan dari negara,” tukasnya
Menurutnya, masyarakat desa terkait meminta kepastian karena wilayah mereka tumpang tindih dengan kawasan hutan.
“Kalau negara saja gagal memberikan kepastian statusnya, kayaknya untuk memberikan kesejahteraan akan lama sekali didapatkan oleh rakyat,” ujarnya.
Dia mengakui, menetapkan suatu desa maupun menerbitkan sertifikat lahan transmigrasi adalah negara, baik melalui gubernur atau bupati.
Di luar persoalan desa transmigran, terdapat pula masyarakat yang telah menghuni suatu desa sejak abad ke-18, jauh sebelum muncul gagasan negara Indonesia.
Namun, tempat tinggal mereka kemudian dipersoalkan karena dinilai berada di dalam kawasan hutan.
“Jadi menurut saya, persoalan terbesar kita bukan rakyat, tapi negara. Negara lah yang kemudian tidak mampu berembug di antara mereka untuk memutuskan status desanya,” tuturnya.
“Kenapa? Tidak cuma persoalan tumpang tindih hutan dan tambang, ternyata tumpang tindih desa juga terjadi,” tambah dia.
Menurut Larshen, konflik perebutan ruang antara manusia, tumbuhan, dan hewan pasti akan terjadi karena populasi manusia bertambah.
"Masalah timbul ketika ketiganya berbenturan pada saat yang bersamaan."
“Nah, dengan ini, negara harus bersikap tidak boleh kemudian benturan ini tanpa jalan keluar,” tutur Larshen.
Ia mengaku prihatin dengan orang-orang desa yang menjadi tersangka hanya karena mencangkul atau memelihara ayam di halaman belakang rumah.
Orang itu dinilai melakukan tindak pidana karena beraktivitas di kawasan hutan.
Jadi menurut Larshen, solusi yang tepat ditempuh untuk menyelesaikan persoalan itu adalah enclave atau melepaskan desa dari kawasan hutan. (*)
Tags : desa, desa di kawasan hutan, gabungan rakyat prabowo gibran, garapan, larshen yunus, persoalan desa dalam kawasan hutan,