
PEKANBARU - Relawan Prabowo Gibran menyoroti kinerja perusahaan konstruksi PT Totalindo Eka Persada (TEP) yang menimbulkan berbagai permasalahan soal pekerjaan proyek di kawasan kampus Universitas Riau (UNRI).
"Mungkin juga TEP tersangkut soal Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) melalui Online Single Submission (OSS)".
"Seperti pada proyek pembangunan fasilitas pendidikan di kawasan kampus UNRI di hentikan. Nah, ini mungkin TEP tak memilik LSBU, jadi banyak menimbulkan masalah," kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN), Rabu (11/12).
"Kita sudah mendapat informasi kalau proyek itu tidak dilanjutkan, karena tak ada kejelasan terkait pembayaran upah pekerja," sambungnya.
Menurutnya, perusahaan itu melanggar Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang mendorong Pemerintah untuk menciptakan sistem perizinan terpadu.
TEP yang dipimpin Donald Sihombing, ternyata pernah beberapa pekan terakhir sempat menjadi perbincangan masyarakat, pasca di tangkap.
Beberapa minggu terakhir, rumah mewah di kota Medan milik Wakil Direktur (Wadirut) Perusahaan TEP atas nama Salomo Sihombing juga ikut disita KPK.
"Tetapi kontrak TEP sudah diputus, lantas proyek sudah dihentikan. Rektor UNRI seharusnya dapat memberikan penjelasan di hadapan publik," kata Larshen Yunus yang juga sebagai Ketua DPD I KNPI Riau ini.
Rektor UNRI, Prof Dr Hj Sri Indarti SE M.Si dikonfirmasi ponselnya lebih mengarahkan kebagian stafnya.
Larshen Yunus kembali menyebutkan, proyek senilai Rp.840 miliar yang bersumber dari dana Asia Development Bank (ADB), Kementerian Ristek Dikti dan UNRI itu terpaksa berhenti semenjak bulan April lalu.
"Malah para pekerja sub kontraktor TEP tak juga menerima bayaran sejak bulan Febuari tahun 2024," kata Larshen Yunus yang juga salah satu kelompok Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu.
Dia memperkirakan penderitaan para buruh pekerja di TEP sepertinya lebih parah dari sekedar seorang pembantu (babu).
"Mereka tetap bertahan hidup selama lebih kurang 8 bulan menunggu upah yang terus tanpa kepastian. Seakan ini menjadi sebuah gambaran pelanggaran HAM dilingkungan pendidikan," ujarnya.
Proyek itu sendiri, sebut Larshen, merupakan satu dari tiga yang dimiliki TEP di kawasan kampus UNRI. Proyek itu berada di Civil Work Riau (CWR) 2.
Informasinya, kata Larshen lagi, perwakilan dari PT Batu Tiras Sejahtera (BTS) selaku sub kontraktor TEP, Annisa dan William Napitupulu mengaku sudah hampir 1 tahun 6 bulan menanti pembayaran.
"Dari pengakuan mereka, pekerjaan terakhir dibayarkan bulan Februari 2024. Sejak saat itu tidak ada pembayaran dan pekerjaan berhenti pada April 2024," kata Larshen mengulang pengakuan William.
William mengaku pekerjaan yang tak dibayar bukan hanya di BTS, namun ada sekitar 10 sub kontraktor yang mengalami hal sama.
Jadi pengakuan dari Annisa dan William Napitupulu tidak dibayarkannya proyek tersebut setelah kontrak dari TEP diputus, sebab proyek yang harusnya tuntas akhir tahun 2023 lalu itu tak tuntas dan habis masa kontrak.
Sementara pihak UNRI sendiri belum mengambil kebijakan. Merasa tak ada jalan keluar, para pekerja lalu memasang spanduk agar proyek disetop. Spanduk itu dipasang oleh vendor, sub kontraktor dan mandor proyek di lapangan.
Para pekerja mengaku TEP dan UNRI saling lempar tangan. Bahkan, mengaku akan dibayar setelah pemeriksaan dari BPKP tuntas.
"Janji saat pemeriksaan selesai baru dibayar. Sekarang sudah selesai pemeriksaan juga tidak ada kejelasan. Padahal kalau presentase pekerjaan sudah hampir 80 persen ini," kata para pekerja. (*)
Tags : universitas riau, proyek di kampus unri, masalah akut kontraktor, pt totalindo eka persada, proyek kontruksi pt tep terhenti, News Kota,