"Riau provinsi penghasil sawit terbesar di pulau Sumatera, namun ditengah pandemi akhir-akhhir ini cerita tentang petani sawit dan pabrik kelapa sawit (PKS) mengalami nasib sama intinya menghadapi kerugian"
RIUPAGI.COM, INDRAGIRI HULU - Berbagai peraturan yang diterbitkan pemerintah nyatanya tidak menjamin perbaikan nasib petani sawit. Petani sawit masih miskin dan lemah. Padahal mereka yang hanya menguasai lahan sawit yang luasannya tak seberapa. Bahkan berbagai penilaian bahwa peraturan-peraturan yang diterbitkan gagal menyelamatkan petani sawit. Pola pengelolaan perkebunan yang diharapkan mendekatkan kesejahteraan ke petani sawit, alih-alih tercapai malah semakin menempatkan petani di jurang kemelaratan.
[Untuk mendukung sawit, beragam kebijakan dibuat pemerintah. Antara lain, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, PP Nomor 24 tahun 2015 tentang Badan Pengelola Dana Perkebunan dan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Evaluasi Perijinan dan Peningkatan Produktivitas Sawit] ...
Lihat saja seperti disebutkan Yanto, salah saseorang petani swadaya di Desa Pematang Jaya, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu [Inhu], Riau ini yang mengelola lahan sawit dengan dana mandiri dan dikerjakan sendiri. Petani ini terlihat model kemitraannya tidak memiliki posisi tawar kuat, lemah dan masih miskin. Pertanyaan kemudian adalah mengapa nasib petani sawit di Inhu sebagian terlihat masih belum membaik di negeri lumbung sawit?
Lahan yang dikelola milikinya adalah tanah terakhir bagi para petani sawit di Desa Pematang Jaya untuk pangan. Namun dalam perjalanannya, selalu saja ketika menjual hasil panen sawit ke PKS PT Persada Agro Sawita [PAS] petani merasa di 'monopoli' dari segi harga untuk perkilogramnya. "Perusahaan sangat diuntungkan dengan harga Rp1970 per kg nya. Ini tentunya kemudian memaksa masyarakat menghadapi kerugian, sementara di harga PKS lainnya seperti [PT SSS Rp2180, PT SIR Rp2170, PT MAS Rp2220, PT Regunas Rp2240 dan disejumlah PKS lainnya masih menetapkan harga Rp2055]," sebutnya.
Menurutnya, jika PT PAS bertahan dengan harga TBS Rp1970 per kg, memungkinkan petani tidak akan menyerahkan buah sawit secara masif ke tangan perusahaan, "bagaimanapun juga bukan perusahaan itu yang membangun kebun para petani untuk pemasokan dan kelanjutan pengelohan buah sawit," sebutnya.
Yanto mengkhawatirkan, petani akhirnya akan menjual buah ke tengkulak yang bersekutu dengan perusahaan lain yang tentunya akan memperoleh harga tak menentu [bisa rendah-tinggi]. Nasib petani tak berubah, katanya, begitupun tantangan terbesar petani skala kecil adalah berhadapan dengan individual grower’s yang menguasai lahan di atas 25 hektare hingga 250 hektare yang juga bisa menghalangi kemitraan para petani kecil dengan pabrik di sekitarnya.
Lain lagi ceritanya disebutkan Iskandar, yang juga petani kecil di Desa Pematang Jaya. Menurutnya, kebanyakan petani sawit saat ini memperoleh kebun sangat kecil antara 0,5 hektare sampai kurang dari 2 hektare. Petani sawit terpaksa melakukan barter lahan karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok. Aturan semestinya melindungi dan memberdayakan petani. Namun perusahaan betul-betul dijaga oleh pemerintah untuk menjamin usahanya sementara masyarakat tetap miskin.
"Seharusnya perusahaan [PT PAS] harus membangun kebun plasma tiga tahun setelah memperoleh HGU. Dari sisi produksi, sawit baru milik petani akan berbuah setelah empat tahun ditanam. Artinya, pada kondisi seperti itu perusahaan yang membangun kemitraan dengan masyarakat tidak lantas melakukan pemotongan dengan dalih buah kotor tapi tidak dilakukan greading yang benar," jelasnya.
Pencemaran lingkungan
Sepertinya hantaman isu lingkungan juga menghinggap ke perusahaan pabrik kelapa sawit ini. Seperti apa aktifitas pabrik yang masih menjadi sorotan masyarakat ditengah pandemi ini? Ketua Komisi III DPRD Inhu Taufik Hendri mengaku kalau pihaknya melakukan inspeksi mendadak pada Kamis 7 Mei 2020 kemarin di PKS PT PAS, hasilnya ditemukan dugaan pencemaran lingkungan. "Kami masuk ke lokasi pabrik, asap dari pabrik merusak lingkungan," katanya.
Pabrik sawit yang beroperasi di Talang Jerinjing Rengat Barat itu disebutkan melakukan pembakaran Janjang Kosong hingga menyebabkan pencemaran udara dan berdampak negatif bagi lingkungan sekitar terutama masyarakat setempat dan tanaman, ternak di areal. "Kita sudah melihat langsung proses pembakaran Jankos dengan menggunakan alat pembakar hingga menimbulkan asap tebal, mengepul kehitaman tinggi di udara yang berdampak negatif bagi warga. "Incenerator itu sebaiknya berada jauh dari pemukiman penduduk," sebut Taufik pada wartawan kala itu.
Incenerator terlihat jelas mengeluarkan gumpalan asap, bahkan dapat membuat mata perih jika terlalu dekat, jika proses pembakaran tidak mengikuti aturan bisa berdampak luas ke depannya. "Setahu kami Jankos tidak boleh dihancurkan dengan cara dibakar," sebutnya menambahkan hasil temuan akan di teruskan kepada instansi terkait, baik kabupaten, provinsi maupun pusat, Sebab tindakan pembakaran Jankos yang dilakukan PT PAS secara jangka panjang sangat beresiko tinggi bagi kesehatan ekosistem setempat.
PT PAS juga disebutkan melakukan pembakaran berjam-jam, asap dan partikel lain yang dikeluarkan sangat mempengaruhi lingkungan penduduk. Hal ini tidak boleh dibiarkan, masyarakat harus berperan aktif dimana saja, jika ada perusahaan pabrik merusak lingkungan harus segera melaporkan, kata Alhamran Ariawan SH MH, Praktisi Hukum dan Lingkungan asal Inhu dalam bincang-bincangnya belum lama ini di Pekanbaru.
Dia meminta semua pihak peduli lingkungan dan semua perusahaan ikuti aturan agar tidak merusak lingkungan yang bisa menjadi penyebab terganggunya kesehatan masyarakat. "Saya mendukung instansi terkait, penegak hukum bertindak tegas tanpa tebang pilih, jika ada bukti yang kuat," kata Alhamran Ariawandi.
Ia mengatakan, semua pihak seperti masyarakat, pemerintah, penegak hukum untuk bersama berperan aktif mengawasi, menghentikan semua aktivitas perusahaan yang membandel di wilayah Indragiri Hulu.
Menyikapi kerugikan petani sawit akhir-akhir ini selama pandemi berlangsung Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengecam perusahaan yang merugikan petani. “Perusahaan perkebunan atau pabrik pengolahan sawit (PKS) hendaknya berperan ikut membina petani sawit, bukan hidup dari petani sawit,” kata Ketua Umum [Ketum] DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Ir Gulat Manurung MP C.APO.
“Bila potongan itu benar 10% hingga 12% tanpa didasari greading yang benar, itu tidakan yang kurang terpuji bagi suatu perusahaan yang semestinya menjadi pengayom petani,” tutur Gulat Manurung.
Gulat Manurung menjanjikan bahwa Apkasindo segera turun untuk mem-folow up keluhan petani. “Sungguh tindakan itu tidak dibenarkan, dan jelas pemotongan dengan dalih buah kotor tapi tidak dilakukan greading yang benar, jelas salah,” ujarnya.
Kalangan petani sawit di Inhu mengeluhkan tindakan pemotongan 10% hingga 12% bahkan terkadang ada yang sampai 15% setiap TBS yang dikirim ke PKS. Tindakan itu diakui Gulat Manurung sangat merugikan karena pemotongan itu tidak dilandasi dasar yang jelas. Pabrik melakukan pemotongan semena mena dan disamaratakan, tanpa ada pemilahan.
Setiap hari tak kurang dari 200 ton sawit petani yang masuk ke PKS artinya dengan potongan 10% paling tidak 600 ton TBS petani yang tidak dibayar, tapi sawitnya diolah pabrik. Dengan harga rata rata Rp 1500/kg, maka setidaknya Rp900 juta pabrik telah mengambil hak petani setiap bulan dan Rp90 juta hak negara dari kewajiban pajak PPn 10%. Kondisi ini menurut petani sudah berlangsung hampir 2,5 tahun. Sebelumnya pabrik memperlakukan pemilahan melalui tahun tanam dengan potongan 3% hingga 4%.
Bambang, Manager bahkan yang juga disebut sebagai Marketing PKS PT PAS dikonfirmasi lewat ponselnya pihaknya akan melakukan perbaikan apabila fasilitas yang ada di PKS PT PAS di nilai tidak memenuhi ketentuan. "Kami siap untuk menerima masukan dan kritikan, dan siap memperbaiki, hal ini akan disampaikan kepada pimpinan perusahaan," sebutnya, Rabu (4/3).
Tentang harga TBS petani yang disebutkan perusahaan cenderung monopoli harga, Ia berkata; situasi pandemi mengubah segalanya aktifitas pabrik dan kami sebelumnya sudah membicarakan hal itu dengan petani. "Jadi tidak selalu harga yang turun, pada biasanya kami menetapkan harga yang cukup untuk petani. Masalah ini tentunya perusahaan memiliki penilaian dan pemeriksaan baik soal kualitas dan mutu terhadap buah yang masuk," kata Bambang yang mengaku setiap pabrik tentu berbeda-beda dalam melakukan penetapan harga TBS.
Menurut Bambang yang mengaku baru bertugas di PT PAS tiga buan terakhir, kondisi saat sekarang ini bagi petani sulit untuk memahami situasi sekarang dialami perusahaan, dia mengaku petani disekitar pabrik merupakan mitera mandiri perusahaan, "tentunya kami tetap menjaga hubungan kerjasama dengan petani," sebutnya yang tak ingin menjelaskan kebenaran soal tudingan petani adanya pemotongan 10% hingga 12% bahkan sampai 15% dari buah sawit tanpa melakukan greading terlebih dahulu. (rp.sul/*)
Tags : kelapa sawit, petani kelapa sawit, Inhu, pabrik kelapa sawit, pks penerima buah sawit,