JAKARTA - Petani di berbagai daerah semringah mendengar rencana pemerintah menyetop impor beras, gula dan garam konsumsi, serta jagung pakan ternak pada 2025. Namun, para pakar ragu kebijakan itu bisa berjalan secara berkelanjutan.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan yakin Indonesia bisa menyetop impor empat komoditas tersebut pada 2025, sebelum kemudian mencapai swasembada pangan sepenuhnya pada 2027.
"[Di 2025], kita tidak impor jagung untuk pakan, tidak impor garam untuk konsumsi, tidak impor gula untuk konsumsi, [...] tidak impor beras untuk konsumsi," kata Zulkifli pada 9 Desember lalu.
Pakar menyebut penghentian impor empat komoditas tersebut bisa terjadi di 2025 karena berlimpahnya stok yang ada hari ini.
Namun, di tahun-tahun berikutnya, hal yang sama belum tentu terulang lagi, entah karena fenomena iklim tertentu, serangan hama, atau sesederhana pemerintah salah menghitung perkiraan produksi dan kebutuhan dalam negeri.
"Bisa dua tahun itu jebloknya produksi beras kalau muncul El Nino," kata Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).
"Ya, kalau begitu, impor lagi."
Bila pemerintah tidak berhati-hati, imbuhnya, kelangkaan komoditas pangan justru bisa terjadi dan ujungnya harga barang-barang akan menjulang.
Karena itu, Indonesia disebut masih rentan berpaling pada impor untuk menjaga ketahanan pangannya.
Toni Kartika Hadi, petani padi di Grobogan, Jawa Tengah, menyebut rencana pemerintah menghentikan impor beras pada 2025 adalah "kabar yang bagus".
"Logikanya, kalau impor itu nanti disetop, berarti pemerintah akan memaksimalkan hasil pertanian yang ada di Indonesia," kata Toni, 51 tahun, yang juga menjabat ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Putat di Grobogan.
Dengan tidak adanya tambahan pasokan beras dari impor, Toni berharap harga gabah naik. Oleh karenanya, kata dia, para petani bisa bersemangat meningkatkan produksi.
Suyatmin, petani lainnya di Grobogan, menyampaikan hal senada. Ia mengaku "sangat senang" bila pemerintah menyetop impor, yang disebutnya kerap membuat harga gabah "hancur".
"Impor itu sangat meresahkan petani di Grobogan karena saat panen raya itu kalau ada impor harganya hancur. Keuntungan sedikit. Semisal harusnya untung Rp10 juta, jadi Rp5 juta saja. Habis di biaya produksi," kata Suyatmin, 44 tahun.
Pemerintah yakin tidak perlu mengimpor beras di 2025 karena berlimpahnya stok beras nasional saat ini dan produksi yang diproyeksikan meningkat tahun depan.
Menurut perhitungan pemerintah, stok beras Bulog pada akhir 2024 bakal menyentuh 1,95 juta ton.
Di saat yang sama, stok beras yang beredar di masyarakat diperkirakan lebih dari 6 juta ton. Maka, total stoknya sekitar 8 juta ton.
"Ini akan dicatat sebagai stok tertinggi mungkin dalam lima tahun terakhir," kata Zulkifli Hasan, 26 November lalu.
Pada 2025, pemerintah optimistis produksi beras bakal menyentuh 32 juta ton, sementara konsumsinya hanya 31 juta ton.
Sebagai perbandingan, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras 2024 sekitar 30,34 juta ton, sementara kebutuhan domestiknya menurut Bulog mencapai 31,21 juta ton.
Dari angka-angka tersebut, mestinya defisit beras tahun ini hanya sekitar 870.000 ton. Namun, sejak awal tahun, pemerintah memutuskan untuk mengimpor 3,6 juta ton beras di 2024.
Itu karena turunnya produksi beras sejak akhir 2023 dan mundurnya panen raya dari biasanya pada Februari-Maret ke April-Mei 2024 sebagai dampak El Nino. Bila tidak mengimpor, BPS sempat menghitung Indonesia bakal defisit beras hingga 2,83 juta ton pada Januari-Februari 2024.
Walhasil, karena telanjur mengimpor beras dalam jumlah besar, setelah panen raya Indonesia memiliki stok berjumlah besar.
Maka, justru aneh bila pemerintah mengimpor beras pada 2025, kata Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB.
Menurut perhitungan Andreas, stok beras nasional di awal 2025 akan menyentuh sekitar 6 juta ton, di bawah perkiraan pemerintah sebesar 8 juta ton.
Namun, katanya, itu pun sudah terhitung bagus dan sudah memenuhi rasio stok terhadap penggunaan (stocks-to-use ratio) ideal sebesar 20%.
Dan, karena El Nino dan dampaknya telah berlalu, ia bilang wajar produksi beras tahun depan melonjak.
"Dengan stok yang sangat aman, stocks-to-use ratio 20%, produksi naik, ya ngapain impor beras?" kata Andreas.
"Pemerintah enggak melakukan apa pun juga pasti enggak perlu impor beras."
Pertanyaannya: apakah ini akan berkelanjutan? Apalagi, keputusan menghentikan impor diambil utamanya karena stok beras yang tengah berlimpah.
"Enggak lah," tegas Andreas.
Ada dua faktor utama yang menurut Andreas bisa membuat Indonesia mengimpor beras lagi: fenomena iklim dan serangan hama.
Bila El Nino kembali terjadi, kekeringan disebut bisa melanda Indonesia dan menyebabkan para petani gagal panen. Imbasnya, produksi beras bakal "jeblok" lagi, kata Andreas.
"Bisa dua tahun itu jebloknya kalau El Nino kuat," ujarnya. "Ya, kalau begitu, impor lagi."
Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, sependapat dengan Andreas.
Ia bilang pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya memang telah membangun banyak bendungan dan jaringan irigasi primer dan sekunder. Namun, yang masih kurang adalah jaringan tersier dan kuarter yang bisa mengalirkan air dari bendungan ke sawah-sawah di saat terjadi kekeringan.
"Air itu tidak akan bisa mengalir ke sawah kalau salurannya enggak ada. Itulah yang terjadi di beberapa tempat," kata Khudori.
Karena itu, pemerintah didorong membangun saluran-saluran tersier dan kuarter tersebut agar bisa setidaknya meminimalkan dampak El Nino di masa depan.
Sementara itu, Andreas dan Khudori bilang serangan hama tidak akan terhindarkan bila pemerintah hanya fokus menggenjot produksi.
Saat satu lahan terus ditanami komoditas yang sama tanpa jeda, kata Khudori, siklus hidup hama untuk komoditas tersebut pun tidak akan terputus dan ujungnya banyak tanaman yang akan rusak.
Belum lagi jika masa tanam dan panen tidak serentak. Bila begitu, Khudori bilang hama dapat dengan mudah berpindah dari satu lahan ke lahan lain yang belum panen.
"Itulah yang terjadi hari-hari ini," kata Khudori.
"Jadi hari ini ada yang tanam, besok ada yang panen. Terus begitu. Jadi itu yang membuat hama dan penyakit tidak terputus siklusnya."
Sekarang saja, petani padi di Grobogan kerap kelimpungan menghadapi hama.
Toni, ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Putat di Grobogan, bilang serangan tikus adalah "momok". Dan, katanya, hingga kini para petani setempat belum menemukan cara yang tepat untuk menanganinya.
Dari sana, Toni meminta pemerintah membudidayakan Tyto alba, yang dikenal pula sebagai burung hantu lumbung atau Serak Jawa, untuk membantu petani membasmi tikus-tikus sawah.
Selain itu, pemerintah diharapkan mendampingi dan memberikan pemahaman lebih pada para petani agar bisa bertani dengan lebih efisien, termasuk dalam hal menjaga kesuburan tanah dan terkait cara menanam yang benar.
"Pemakaian herbisida atau bahan-bahan kimia lain memengaruhi kualitas tanah. Agar bisa membuat tanah itu subur kembali, besar harapan kita untuk bisa mendapatkan ilmu untuk itu," kata Toni, yang sehari-hari menggarap sawah satu hektare.
Salah satu pekerjaan rumah pemerintah untuk memastikan keberlanjutan kebijakan penghentian impor beras adalah meningkatkan produktivitas petani. Strategi ini termasuk mendorong penggunaan benih dan pupuk yang tepat serta membantu petani menjaga kesuburan tanah, kata Khudori.
"Enam tahun terakhir, produktivitas padi itu stagnan," ujarnya.
"Lahan-lahan sawah kita itu sudah sakit. Itu harus disembuhkan. Ditanami apa pun, kalau tempat tanamnya itu tidak sehat, hasilnya pun tidak akan bagus," kata Khudori.
Dan, tak lupa, pemerintah diminta menangani masalah yang timbul karena maraknya tengkulak.
"Di sini, di tingkat bawah ada tengkulak kecil, kemudian ke tengkulak besar, baru kita ke tengkulak di luar kota," kata Toni.
"Harapan kita, tidak banyak tengkulak yang ada di sini. Jadi pemerintah bisa menstabilkan harga, dan hasil pertanian itu bisa dibeli langsung oleh pemerintah."
Mirip dengan beras, pemerintah yakin tidak perlu mengimpor gula untuk kebutuhan konsumsi pada 2025 karena berlimpahnya stok akhir tahun dan proyeksi kenaikan produksi di tahun depan.
Produksi gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi ditargetkan menyentuh 2,6 juta ton pada 2025, naik dari 2,46 juta ton pada 2024 dan 2,27 juta ton pada 2023.
Sementara itu, Badan Pangan Nasional menyebut stok gula konsumsi bakal menyentuh 1,4 juta ton di akhir 2024.
Jumlah produksi 2025, ditambah stok akhir tahun 2024, disebut cukup untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi domestik.
Apalagi, menurut Asosiasi Gula Indonesia, kebutuhan gula konsumsi dalam negeri bakal turun menjadi sekitar 2,8 juta ton pada 2025 dari yang secara historis berkisar di 3 juta hingga 3,1 juta ton. Ini disebut terjadi karena menurunnya daya beli masyarakat.
Khudori menilai perhitungan pemerintah tersebut masih masuk akal, meski berisiko.
Menurutnya, rata-rata konsumsi GKP Indonesia adalah 240.000 ton per bulan. Bila stok akhir tahun mencapai 1,4 juta ton, berarti ia cukup untuk memenuhi kebutuhan kira-kira enam bulan hingga Juni 2025.
Masalahnya, kata Khudori, proses penggilingan tebu untuk diolah jadi gula biasanya dimulai pada Mei dan mencapai puncaknya pada Juni, bertepatan dengan saat habisnya stok.
Karena itu, bila kebutuhan gula domestik melonjak sebelum Mei 2025 dan stok habis lebih cepat dari perkiraan, Indonesia bisa mengalami defisit gula konsumsi.
Sebagai catatan, bulan puasa dan hari raya Idul bakal jatuh di Maret tahun depan. Saat itu, kebutuhan gula konsumsi biasanya melonjak.
"Yang krusial itu di situ. Jadi pemerintah harus memastikan setidaknya stok di Mei, Juni itu aman," kata Khudori.
"Pemerintah harus punya stok. Jadi kalau situasi memang 'panas', artinya harga bergejolak, pemerintah punya stok yang digunakan untuk melakukan intervensi."
Dwi Andreas Santosa lebih pesimistis dibandingkan Khudori.
Ia dengan tegas mengatakan tidak percaya dengan data produksi dan kebutuhan gula konsumsi yang disampaikan pemerintah.
Apalagi, katanya, data tersebut hingga kini masih dikeluarkan kementerian atau lembaga terkait, bukan Badan Pusat Statistik (BPS) yang lebih bisa dipercaya.
"Saya tidak pernah percaya dengan data yang dikeluarkan oleh kementerian yang bersangkutan," kata Andreas.
"Ya pastilah banyak kepentingan masuk ke situ. 'Wah, ini kita ada program swasembada gula. Kita naikkan produksinya.' Ya itu dinaikkan di atas kertas. Dan, bagaimana caranya pokoknya naik."
Karena itu, menurut Andreas, kemungkinan akan terjadi kelangkaan gula konsumsi tahun depan, yang membuat harga naik dan masalah klasik terjadi: "merembesnya" gula industri ke pasar konsumsi.
Maksudnya, gula kristal rafinasi (GKR) yang seharusnya digunakan industri kemudian dijual di pasar dengan harga yang lebih mahal sebagai gula konsumsi.
Dengan begitu, Andreas bilang ujung-ujungnya pemerintah akan tetap mengimpor gula konsumsi pada 2025.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan sebelumnya mengatakan pihaknya akan berusaha keras untuk menggenjot produksi gula konsumsi untuk menghindari impor pada tahun depan.
"Kita akan tingkatkan terus, mulai dari pengembangan bibit yang baru, kemudian juga manajemen perkebunan gula yang baru, juga kerja sama dengan para pelaku UKM. Bisa," kata Zulkifli pada 9 Desember.
Andreas bilang urusannya tak semudah itu.
Untuk mengembangkan varietas tebu baru sehingga dapat meningkatkan produksi gula, katanya, dibutuhkan waktu lama, bisa lima hingga bahkan belasan tahun.
Di sisi lain, menurut Andreas, sulit bagi pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi atau perluasan ladang tebu karena terbatasnya lahan yang ada, kecocokan lahan, dan persaingan penggunaan lahan untuk menanam komoditas lain.
"Ekstensifikasi kan enggak bisa kayak membalikkan telapak tangan," ujar Andreas.
"Ekstensifikasi sekarang, lalu tahun depan diharapkan menghasilkan, ya enggak mungkin. Dan, hampir semua program ekstensifikasi kan gagal total selama 40 tahun terakhir."
Mansur, ketua Kelompok Tani Dalom Sakti di Way Kanan, Lampung, juga menyebut sejumlah tantangan untuk meningkatkan produksi di lapangan.
Menurutnya, masalah yang dihadapi petani tebu setempat mencakup cuaca yang tidak menentu, serangan hama, terbatasnya pupuk subsidi yang disalurkan pemerintah, serta biaya perawatan yang tinggi.
Idealnya, kata Mansur, 1 hektare lahan tebu membutuhkan 1 ton pupuk. Namun, ia bilang tiap petani di kelompok taninya hanya mendapat pupuk subsidi 0,8 ton per hektare. Dan, jatah pupuk itu dibatasi hanya untuk 2 hektare lahan per orang.
Padahal, 25 petani tebu di Kelompok Tani Dalom Sakti mengelola lahan seluas total 80 hektare, atau rata-rata 3,2 hektare per orang.
Biaya perawatan lahan tebu yang tinggi juga memaksa para petani setempat kerap meminjam uang dari bank dan perusahaan swasta tempat mereka bermitra.
Harga jual ke perusahaan pun disebut kerap naik-turun, yang membuat pendapatan petani tebu tak menentu.
Namun, biar begitu, Mansur merasa setidaknya perusahaan swasta lebih terasa kehadirannya dibandingkan pemerintah.
"Kami petani tebu ini kan dibina perusahaan," kata Mansur.
"Enggak ada campur tangan dari pemerintah."
Maka, meski kebijakan pemerintah menghentikan impor gula konsumsi bisa meningkatkan harga, Mansur mengaku antara "senang dan tidak senang" melihatnya.
Menurutnya, seharusnya pemerintah dapat bertindak lebih jauh untuk membantu para petani tebu.
"Harapan saya untuk pemerintah itu, bina kami, petani ini, entah bagaimana caranya agar dengan modal semaksimal mungkin, rendemen bisa tinggi, tonasenya juga bisa tinggi, biar petani itu bisa sejahtera," kata Mansur.
Rencana pemerintah menyetop impor garam konsumsi pada 2025 dan garam industri pada 2027 sebenarnya telah melewati tenggat yang pemerintah buat sendiri.
Sebelumnya, Peraturan Presiden No. 126/2022 telah mengatur percepatan pengembangan industri garam agar seluruh kebutuhan garam nasional dapat dipenuhi dari dalam negeri mulai 2024.
Pengecualian hanya diberikan pada garam untuk industri klor-alkali (CAP), yang masih boleh diimpor karena produksi domestik dianggap belum memadai.
Saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR pada 6 November lalu, Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Miftahul Huda bahkan mengatakan saat ini Indonesia telah swasembada garam konsumsi, tidak harus menunggu tahun depan seperti kata Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan.
Namun, perbedaan data yang disampaikan sejumlah pejabat pemerintah membuat sulit untuk memastikan angka produksi dan kebutuhan garam dalam negeri yang sesungguhnya.
Bila merujuk perkiraan Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), total kebutuhan garam nasional menyentuh 4,7 juta hingga 4,8 juta ton.
Ini mencakup 1,9 juta ton garam konsumsi, 2,2 juta hingga 2,3 juta ton garam CAP, 600.000 ton garam untuk industri aneka pangan, dan 6.000 hingga 7.000 ton garam untuk industri farmasi.
Sementara itu, menurut Zulkifli, produksi garam nasional ditargetkan mencapai 2,25 juta ton tahun depan. Ini di luar stok garam 800.000 ton sisa 2024 dan impor garam untuk industri sejumlah 1,7 juta ton yang telah ditetapkan untuk 2025.
Berarti, total produksi, stok, dan impor tersebut kurang lebih setara dengan jumlah kebutuhan garam yang disampaikan AIPGI.
"Permintaan impornya tadi hampir 2,5 juta ton untuk yang industri, tapi kita kasih hanya 1,7 juta ton," kata Zulkifli pada 9 Desember.
"Selebihnya, kita minta sama [produsen garam lokal] untuk mengolah garamnya agar juga bisa dipergunakan untuk industri."
Abdul Halim, direktur eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, mengatakan Indonesia memang punya kapasitas untuk swasembada garam, apalagi mengingat luas lahan garam Indonesia yang mencapai puluhan ribu hektare.
Masalahnya, kata Halim, hanya di keseriusan pemerintah untuk mendampingi para petani atau petambak untuk meningkatkan kualitas garam yang diproduksinya.
Saat ini, garam konsumsi diwajibkan memiliki kandungan natrium klorida (NaCl) setidaknya 94% atas dasar bahan kering, sementara untuk garam industri kandungan NaCl-nya minimal 97%.
Padahal, kandungan NaCl garam rakyat biasanya di bawah 90%.
"Kalau di masyarakat itu berapa pun garam yang dibutuhkan mereka sanggup untuk melakukan produksi itu," kata Halim.
"Sangat mampu. Masalahnya hanya di kualitasnya saja."
Karena itu, bila ingin mengandalkan produksi garam domestik, Halim mendorong pemerintah untuk mendampingi para petani garam dari tahap input hingga output.
Ini termasuk memberi pembekalan soal modal, teknologi yang memadai agar bisa berproduksi dengan baik entah di musim panas ataupun hujan, pun proses produksi yang tepat dari pengaliran air laut ke lahan hingga iodisasi dan pengemasan garam.
"Pemerintah perlu bekerja sama dengan kampus-kampus yang sudah memiliki kapasitas penelitian untuk mengembangkan hasil garam yang diproduksi petambak garam kita agar dia bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri," ujar Halim.
Susan Herawati, sekretaris jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), juga mengatakan selama ini para petambak masih memproduksi garam dengan cara-cara tradisional tanpa teknologi yang memadai.
Belum lagi, kata Susan, banyak orang telah meninggalkan profesi petambak garam, entah karena krisis iklim yang memicu gagal panen berulang kali atau keputusasaan menghadapi serbuan garam impor di pasar-pasar tradisional yang membuat harga garam rakyat anjlok.
"Petambak garam ini dibiarkan berjuang sendiri dengan segala problemnya. Kemudian, negara tidak melakukan mekanisme kontrol terhadap garam-garam impor yang masuk ke Indonesia," kata Susan.
"Otomatis, anak-anak petambak, anak-anak nelayan itu enggak mau jadi petambak garam ataupun jadi nelayan. Karena dia sudah menjadi saksi bagaimana orang tuanya setengah mati menjadi nelayan dan petambak garam."
Sucipno, petani garam di Dusun Bangkal, Pamekasan, Jawa Timur, pun mengeluhkan kehadiran tengkulak yang disebut kerap "memainkan harga" sehingga menyulitkan hidup para petani setempat.
Sucipno, 46 tahun, menjual garamnya ke tengkulak dengan harga Rp800.000 hingga Rp900.000 per ton. Padahal, di musim panen tahun lalu ia mengaku masih bisa mendapat harga Rp3 juta per ton.
"Karena yang tahu jalan itu semuanya tengkulak," kata Sucipno.
"Kecuali dari pabrik mau langsung turun ke petani, insyaallah bisa langsung tanpa harus ada tengkulak."
Kini, setidaknya Sucipno melihat titik cerah dari keputusan pemerintah menghentikan impor garam konsumsi.
Kebijakan itu, katanya, bisa jadi mendorong para petani garam di Pamekasan, yang berada di Pulau Madura, untuk giat berproduksi lagi setelah sebelumnya menahan diri karena harga yang tak bersahabat.
"Harapan kami dari rakyat kecil, pemerintah bisa membuat petani garam itu lebih maju lagi dengan benar-benar menyetop impor dari luar," ujar Sucipno.
"Karena produksi garam yang ada di Madura insyaallah masih cukup kalau memang betul-betul mau dikeluarkan semua sama petani. Cuma, kebanyakan petani masih menunggu harga [membaik]."
Susan dari KIARA menegaskan pemerintah mesti menangani segala masalah di lapangan tersebut, sembari merancang peta jalan dengan target-target yang terukur, bila benar-benar ingin mewujudkan swasembada garam.
Karena, imbuhnya, swasembada garam itu tidak akan terjadi jika pemerintah hanya mengandalkan stok, yang kebetulan sedang berlebih hari ini.
"Jika hanya mengandalkan stok, kalau tahun depan ada gagal panen bagaimana?" ujar Susan.
"Ya keran impornya bakal dibuka lagi."
Pemerintah memproyeksikan produksi jagung nasional bakal menyentuh 16,68 juta ton di 2025, jauh di atas kebutuhan domestik yang kira-kira 13 juta ton. Sementara itu, stok jagung akhir tahun 2024 diperkirakan 3,67 juta ton.
Karena itu, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan optimistis bisa menyetop impor jagung pakan ternak tahun depan.
"[Justru] bisa ekspor kita," kata Zulkifli pada 9 Desember lalu.
Untuk jagung konsumsi, pemerintah pun membatasi impornya jadi hanya sekitar 900.000 ton di 2025, di bawah permintaan awal pelaku industri sejumlah 1,7 juta ton.
"Yang kekurangannya 800.000 ton, kita usahakan untuk melatih petani kita agar kualitasnya sesuai yang dibutuhkan [industri]. Karena jagungnya sama saja," ujar Zulkifli.
Khudori mengatakan, stok jagung 3,67 juta ton di akhir tahun 2024 bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik selama kira-kira tiga bulan pertama di 2025, sebelum musim panen tiba pada Maret-April.
Namun, ia mengingatkan agar pemerintah menyiapkan fasilitas pergudangan yang mumpuni agar stok jagung bisa disimpan dengan baik. Cadangan itu kemudian dapat dikeluarkan bila terjadi paceklik atau panen tak sesuai harapan.
"Karena bisa saja produksi berlebih, tapi karena enggak bisa dijaga dan ada jamur, jadi enggak bisa digunakan oleh pabrik pakan, enggak bisa digunakan oleh peternak, sehingga mereka teriak-teriak enggak cukup dan harus impor," kata Khudori.
"Padahal dari total produksi selama setahun, seharusnya kita surplus."
Di sisi lain, Dwi Andreas Santosa meragukan akan ada kenaikan produksi jagung signifikan tahun depan.
BPS memperkirakan produksi jagung 2024 mencapai 15,21 juta ton. Bila angkanya menyentuh 16,68 juta ton di 2025 sesuai proyeksi pemerintah, berarti akan ada kenaikan 9,66%.
Padahal, kenaikan produksi dari 2023 ke 2024 saja hanya sebesar 2,93%.
"Kalau saya justru melihatnya produksi stagnan atau turun di 2025," kata Andreas.
Itu karena pemerintah sedang gencar-gencarnya menggenjot produksi beras, dan biasanya lahan jagung yang dikorbankan untuk menjadi sawah demi menanam padi, ujar Andreas.
Dan, bila produksi jagung tak sesuai harapan, sementara kebutuhannya melonjak tinggi, dikhawatirkan harga pakan ternak akan naik, yang berujung pada naiknya harga ayam dan telur.
Muhammad Sainal Arifin, peternak ayam petelur di Merauke, Papua Selatan, kini pun mengaku telah kesulitan memenuhi kebutuhan pakan ternaknya.
Arifin memiliki 1.000 ekor ayam, yang membutuhkan kira-kira 60 ton jagung per bulan. Namun, karena petani jagung lokal hanya bisa memasok 10 ton per bulan, ia terpaksa membeli pakan instan dari luar pulau, termasuk Surabaya, Jawa Timur, dan Makassar, Sulawesi Selatan.
"Kalau kami ya berharap jagung ada di sini dan jangan sampai datang pakannya dari luar," kata Arifin.
"Artinya perputaran uang itu kan biar di sini semua."
Haryanto, pengurus salah satu komunitas petani jagung di Merauke yang memasok pakan ternak ke Arifin, memiliki harapan serupa.
Ia menyambut baik rencana pemerintah menghentikan impor jagung pakan ternak, yang diharapkan dapat meningkatkan harga dan mendorong perbaikan kesejahteraan petani setempat.
"Imbasnya, harga pasti lebih bagus," kata Haryanto, yang kini menjual jagungnya seharga Rp5.000 per kilogram.
Namun, harapannya pemerintah tak berhenti di situ. Pemerintah disebut perlu memberi pendampingan dan edukasi kepada para petani jagung lokal, termasuk untuk mengembangkan bisnis dan meningkatkan produktivitas lahannya.
"Jangan sampai menghentikan impor, lantas tidak ada solusi lebih lanjut," ujar Haryanto.
Trimo, petani jagung lainnya di Merauke, mengaku telah berulang kali gagal panen, entah karena jaringan irigasi yang tak berfungsi maksimal di saat kemarau atau kesulitan mengakses pupuk dengan harga terjangkau.
"Kadang-kadang terlambat pengairannya jadi akhirnya pertumbuhan jagung juga kurang normal," kata Trimo.
"Akhirnya terlambat tumbuh, terus akhirnya mati."
Bila itu terjadi, Trimo terpaksa harus menanam ulang jagung. Kerugian dari penanaman ulang ini disebut menyentuh Rp5 juta hingga Rp7 juta per hektare.
Kartini Samon, koordinator LSM internasional GRAIN yang mengadvokasi sistem pangan berbasis komunitas dan keberagaman, menyerukan agar pemerintah memperluas peran Bulog.
Bulog diharapkan tak hanya menyerap produksi domestik dan menjaga stabilitas harga beras, tapi juga komoditas lainnya seperti gula dan jagung.
"Seperti gula, jagung, sebenarnya itu kan juga sumber pangan yang penting, dan petani Indonesia relatif masih cukup banyak yang memproduksi. Jadi menurut saya proses penyerapannya harus diperbaiki juga," kata Kartini.
Dan, Kartini menegaskan, perubahan besar tidak bisa dicapai dalam semalam, termasuk dalam hal menyetop impor sejumlah komoditas pangan strategis.
Meski kebijakan itu disambut baik petani, bila pemerintah menerapkannya tanpa perencanaan dan persiapan matang, Kartini bilang bisa muncul dampak berantai yang justru merugikan masyarakat.
"Perubahan dalam semalam itu bisa jadi bermasalah," kata Kartini.
"Komoditasnya bisa jadi langka, harga-harga naik, dan dampaknya bisa dirasakan konsumen luas". (*)
Tags : Pangan, Ekonomi, Pertanian, Indonesia, Perubahan iklim, Kekeringan, Keamanan pangan,