JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menyediakan vaksin Covid dosis ketiga (booster) kepada masyarakat umum mulai tahun depan masih bersifat dinamis dan bisa berubah, termasuk opsi vaksin berbayar.
"Terkait vaksinasi dosis ketiga tentu kita siapkan skemanya, tetapi untuk implementasinya sendiri masih harus dibahas lebih lanjut. Masih banyak yang harus kita kaji. Jadi kebijakan ini masih sangat dinamis sifatnya," kata juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi dirilis BBC News Indonesia, Jumat (27/08).
Dalam Rapat dengan Komisi IX DPR Rabu lalu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan rencana vaksin dosis ketiga bagi masyarakat umum mulai tahun depan dengan skema biaya yang ditanggung pemerintah maupun skema berbayar - dengan kisaran biaya Rp100.000. Siti mengungkapkan skema berbayar itu bisa berubah. "Tentunya kita memfokuskan terutama pada PBI ya [Penerima Bantuan Iuran] untuk pemberian vaksinasi dosis ketiga. Tapi tidak menutup kemungkinan juga hal yang sama bisa terjadi kalau kondisi pandemi ini terjadi dan tentunya dari sisi bahwa ini adalah secara nasional, artinya memang upaya bersama karena kondisi dan situasi yang seperti kita alami saat ini ya kemungkinan kebijakan itu masih bisa berubah," ujarnya.
Siti Nadia menekankan bahwa prioritas pemerintah saat ini adalah menyelesaikan vaksinasi dosis pertama dan dosis kedua karena saat ini masih banyak sekali masyarakat yang belum mendapatkan dosis pertama maupun dosis kedua. Target kita ini masih ada 161 juta orang yang harus kita vaksinasi saat ini."
WHO belum menyarankan vaksin dosis ketiga
Sebelumnya, rencana pemerintah Indonesia menyediakan vaksin Covid-19 dosis ketiga atau booster kepada masyarakat awal tahun depan mendapat sorotan dari berbagai kalangan, mulai dari WHO, pakar kesehatan, lembaga konsumen hingga warga. Mereka berpandangan sebaiknya pemerintah fokus meningkatkan cakupan pemberian dosis pertama dan kedua dulu, yang saat ini masih di kisaran 20%.
Menanggapi hal itu, Penasihat Senior untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, Diah Saminarsih, menyatakan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyarankan untuk booster pada saat ini karena prinsip-prinsip moral dalam prinsip equity dan keberadilan yang harus dikedepankan dalam kondisi pandemi saat ini. "Masih banyak orang dari kelompok populasi rentan juga yang belum divaksin secara lengkap dalam dua dosis," ujar Diah.
Guru Besar di Fakultas Kedokteran UI, Profesor Tjandra Yoga Aditama, menyarankan agar pemerintah lebih terfokus pada peningkatan cakupan vaksinasi covid yang masih sekitar 20%. "Lebih baik sekarang kita meningkatkan pemerataan dulu. Kalau direncanakan 2022 kita lihat lagi perkembangan, mungkin ada kebijakan yang dibuat lebih firm lagi," ujarnya.
Sedangkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, menyarankan pemerintah harus fokus dulu untuk vaksin dosis pertama dan dosis kedua yang sampai sekarang belum mencapai target. "Soal booster boleh direncanakan, tapi tidak boleh di-blowup lebih dulu melainkan bagaimana menuntaskan vaksinasi untuk sekitar 180 juta penduduk seperti yang ditargetkan itu," ujar Tulus.
Nusa Tenggara Timur termasuk provinsi yang masih minim pasokan vaksin Covid di tengah tingginya antusiasme warga untuk mendapatkannya. Van Riwu Terry, 35 tahun, mengaku hingga kini masih belum mendapat vaksin Covid walau tiga kali mencoba ikut program vaksinasi di Kota Kupang, ibu kota NTT, dalam dua bulan terakhir.
Masalahnya sama, pasokan terbatas tapi terlalu banyak warga yang daftar. Dia mengaku sebenarnya mendapat jadwal vaksinasi April lalu. Namun, badai siklon Seroja yang menghantam NTT membuat pegiat LSM itu tidak bisa memenuhi jadwal vaksin karena fokus mengirim bantuan logistik kepada para korban. Namun, begitu ada waktu, dia tidak kunjung bisa divaksin juga. "Masalahnya, ketika ada waktu vaksinnya habis, apalagi vaksin pertama. Dua bulan ke belakang itu vaksin pertama di Kota Kupang sangat sulit," ujar Van.
Bahkan, ungkap dia, ada suatu kampus yang menyelenggarakan vaksinasi gratis namun berakhir ricuh. Gara-gara vaksinnya sedikit tapi yang mau divaksin membludak. "Saya juga mau vaksin sejak dua bulan lalu tapi antreannya itu gila, Bang. Tidak berjarak. Jadi mau vaksin juga takut," ujar warga Kabupaten Kupang itu.
Pengalaman serupa dirasakan oleh Nana Haibara (22). Warga Kabupaten Sumba Barat itu sampai kini satu-satunya di keluarganya yang sudah divaksin Covid. Antrian vaksinasi di lingkungannya langsung membludak begitu vaksin covid menjadi syarat untuk beraktivitas dan bepergian. Namun ini tidak diimbangi dengan persediaan yang memadai. "Kalau dari pihak Puskesmas di sini kuotanya 50 dan 100 per hari. Jadi 100 untuk Sinovac dan 50-nya untuk AstraZeneca. Kadang bergantian. Padahal jumlah penduduknya lumayan banyak. Jadi harus datang pagi-pagi untuk dapat nomor antrian untuk bisa dapat vaksinnya."
Dia mengungkapkan adik-adik dan para keponakannya kesulitan untuk mendapat vaksin karena harus berebut di tengah keterbatasan kuota. "Jarak dari rumah ke puskesmas kan lumayan jauh kalau mau antre ke sana butuh waktu untuk jalan. Waktu tiba di puskesmas, ternyata sudah full dan sudah ada yang mendahului," ujarnya.
Itu sebabnya Nana langsung mengkritik begitu ada rencana pemerintah untuk menyediakan vaksin dosis ketiga untuk masyarakat, apalagi bila berbayar. "Sangat tidak setuju, karena yang paling merasakan adalah orang-orang dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Vaksin yang gratis pun masih berebut. Jangan sampai pelayanan kesehatan menjadi media bisnis yang menguntungkan orang-orang tertentu, tapi masih banyak yang kesusahan mendapat," ujarnya.
Kritik soal rencana penyediaan dosis ketiga vaksin Covid-19 itu juga dilontarkan oleh pakar kesehatan Profesor Tjandra Yoga Aditama. Pemberian dosis ketiga saat pandemi masih belum berakhir mengingatkan dia pada sebuah perumpaan dari rekannya di WHO, yaitu sama saja memberi jaket pelampung ekstra kepada penumpang yang sudah memakainya di kapal yang tenggelam. "Buat apa beri jaket dua ke satu orang, sementara yang lain belum dapat.
Menurutnya, dengan cakupan penerima vaksin dua dosis masih sekitar 20%, lebih baik pemerintah memberikan vaksin ke lebih banyak orang. "Peningkatan jumlah cakupan itu harus jadi prioritas utama. Kalau masih 20% memang tidak pada tempatnya membagikan jaket tambahan kepada orang tertentu sementara orang lain tidak punya jaket sama sekali. Kalau untuk petugas kesehatan itu pertimbangannya berbeda," kata Tjandra, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI.
Kalau vaksin booster direncanakan pada awal tahun 2022, sementara pandemi Covid ini masih sangat dinamis, maka bisa terjadi perubahan dari waktu ke waktu. "Lebih baik sekarang kita meningkatkan pemerataan dulu. Kalau direncanakan 2022 kita lihat lagi perkembangannya, mungkin ada kebijakan yang dibuat lebih firm lagi," ujarnya.
Penasihat Senior untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, Diah Saminarsih, mengingatkan bahwa suplai vaksin di dunia masih terlalu sedikit. Dia menyarankan, ketimbang menyediakan dosis tambahan, "lebih baik diprioritaskan bagi mereka yang belum divaksin, termasuk kelompok-kelompok populasi yang rentan, karena suplainya belum cukup untuk dibagi ke semua orang yang membutuhkan dua dosis lengkap".
Apalagi, lanjutnya, sekarang dunia makin cepat memproduksi vaksin dan makin banyak vaksin yang mendapat persetujuan penggunaan darurat. "Sehingga perkembangan ini bisa dipakai untuk mengejar cakupan vaksinasi," ujar Diah.
Dalam paparannya saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR Rabu (25/08) Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan lebih dari 58 juta orang (28,17%) sudah menerima dosis pertama vaksin Covid dan untuk dosis kedua sebanyak 32,7 juta jiwa lebih (15,74%). Namun, di saat yang sama, Menkes mengungkapkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan rencana untuk vaksin Covid-19 dosis ketiga atau vaksin booster untuk masyarakat umum.
Penyediaan booster bisa dimulai awal 2022 jika target vaksinasi tercapai. "Rencananya kapan pemerintah akan melakukan suntik ketiga? Kalau kita semakin cepat kita harapkan di Januari [target vaksinasi] sudah selesai semua, awal tahun depan kita sudah melakukan suntik ketiga," ujar Budi.
Vaksin covid efek sampingnya lebih kecil
Studi telaah terhadap vaksin Covid-19 menunjukkan bahwa vaksin AstraZeneca memang meningkatkan risiko penggumpalan darah dan kondisi serius lainnya yang dapat mengakibatkan pendarahan. Namun studi tersebut juga menemukan bahwa munculnya risiko yang sama setelah infeksi virus corona jauh lebih tinggi.
Tim peneliti yang dipimpin Universitas Oxford itu juga menemukan peningkatan risiko stroke setelah vaksinasi dengan Pfizer - tetapi lagi-lagi pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada setelah infeksi. Para peneliti mengatakan bahwa ini sekali lagi menunjukkan manfaat "sangat besar" dari vaksinasi. Hasil ini diumumkan setelah koroner menyatakan pada Kamis kemarin (26/08) bahwa presenter BBC Radio Newcastle Lisa Shaw meninggal karena komplikasi dari vaksin AstraZeneca.
Perempuan berusia 44 tahun itu meninggal pada Mei lalu setelah mengalami sakit kepala selama seminggu menyusul suntikan dosis pertamanya. Ia menderita pembekuan darah di otak. Tim peneliti memeriksa catatan medis lebih dari 29 juta orang yang menerima dosis pertama vaksin Covid antara bulan Desember dan April, serta hampir 1,8 juta orang yang terinfeksi virus.
Studi tersebut, yang diterbitkan dalam British Medical Journal, mencari komplikasi yang terjadi hingga 28 hari setelah suntikan vaksin atau infeksi virus. Para peneliti menemukan bahwa untuk setiap 10 juta orang yang divaksinasi dengan vaksin AstraZeneca:
Dan untuk setiap 10 juta orang yang divaksinasi dengan vaksin Pfizer, ditemukan:
Peneliti utama Prof. Julia Hippisley-Cox mengatakan bahwa penting bagi masyarakat untuk menyadari risiko vaksin, namun tetap dalam konteks, mengingat risiko itu akan semakin tinggi bila terinfeksi Covid-19. Peneliti lainnya Prof. Aziz Sheikh menambahkan bahwa temuan ini "dengan jelas menekankan" pentingnya vaksinasi untuk mengurangi risiko penggumpalan darah dan pendarahan ini. Vaksinasi, katanya, menawarkan "manfaat yang sangat besar bagi kesehatan masyarakat". (*)
Tags : Virus Corona, Indonesia, Vaksin,