AGAMA - Barangkali, semua pelajar Muslim di Tanah Air mengetahui reputasi Universitas al-Azhar. Kampus yang berdiri sejak 970 Masehi—lebih dari seribu tahun silam—itu berlokasi di Mesir. Hingga kini, banyak anak Indonesia yang bercita-cita meneruskan pendidikan tinggi di sana.
Sejak 2019, Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia mendirikan Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab (PUSIBA) di Jalan Ujung Harapan Bahagia, Babelan, Bekasi, Jawa Barat. Menurut Direktur PUSIBA Ustaz Muhammad Arifin, lembaga tersebut merupakan representasi Pusat Bahasa Arab al-Azhar, yang bermarkas di Kairo.
PUSIBA bertujuan mempermudah para pelajar yang ingin berkuliah di luar negeri, utamanya Mesir. Khususmnya bagi calon mahasiswa al-Azhar asal Indonesia, mereka bisa mengikuti kelas bahasa Arab sebelum terdaftar di kampus tersebut.
“OIAA Cabang Indonesia pun menjalin kerja sama dengan Pimpinan Pusat OIAA di Kairo terkait pelaksanaan kelas bahasa di Indonesia,” katanya.
Apa saja yang menjadi keunggulan PUSIBA? Apakah bahasa Arab menjadi syarat mutlak bagi calon mahasiswa al-Azhar dari luar Mesir? Seperti apa tips menguasai bahasa Alquran itu? Berikut perbincangan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan alumnus Universitas al-Azhar itu beberapa waktu lalu.
Secara umum, bagaimana minat mahasiswa asal Indonesia untuk berkuliah di Universitas al-Azhar Mesir?
Sampai sekarang masih sangat tinggi. Trennya cenderung naik. Pada 2021, misalnya, ada sebanyak 5.216 calon mahasiswa yang mendaftar seleksi calon mahasiswa (al-Azhar) yang diselenggarakan oleh Kemenag (Kementerian Agama RI). Memang, yang lolos dan benar-benar berangkat ke Mesir tak sebanyak itu.
Sebelumnya, (total) peminat ada di kisaran tiga ribu orang. Pernah sampai lebih dari lima ribu orang. Dari jumlah itu, dalam catatan kami, kebanyakan calon berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Kalau dari luar Jawa, ada Aceh, Sulawesi Selatan, dan NTB (Nusa Tenggara Barat).
Artinya, al-Azhar tetap menarik bagi pelajar Tanah Air?
Minat yang cukup besar itu, bagi saya pribadi, menggembirakan. Boleh jadi, salah satu daya tariknya adalah kebesaran nama al-Azhar. Apalagi, al-Azhar menawarkan beasiswa dalam bentuk biaya kuliah gratis. Jadi, mahasiswa dan orang tuanya relatif hanya perlu menyiapkan biaya hidup, semisal sewa rumah, makan-minum, transportasi, dan sebagainya.
Al-Azhar sudah berusia lebih dari seribu tahun. Lembaga ini bertahan dengan manhaj wasathiyyah-nya (moderat). Itu mungkin juga menjadi pertimbangan calon mahasiswa untuk mengambil pengalaman langsung dari universitas tua itu.
Menurut Anda, apa saja yang paling penting dipersiapkan pelajar apabila ingin menjadi mahasiswa al-Azhar?
Tantangan terbesarnya masih pada bahasa Arab. Tidak jarang, calon mahasiswa yang dianggap atau merasa menguasai bahasa Arab, ternyata belum sesuai dengan standar bahasa Arab di al-Azhar. Dalam hal ini, mahasiswa asal Indonesia memang dapat dikatakan “kalah” jika dibanding dengan mahasiswa asal negara-negara Afrika.
Mahasiswa kita banyak yang malu atau kurang percaya diri untuk berbicara bahasa Arab dengan mahasiswa negara-negara lain. Kadang kala, begitu pula sewaktu berbicara dengan dosen. Sementara, mahasiswa asal Afrika banyak yang berani bicara walaupun pada awal-awal mungkin banyak salahnya.
Selain kendala bahasa, apa ada lagi?
Jumlah mahasiswa yang relatif banyak dan menumpuk di Kairo. Dahulu, sebelum terjadi krisis politik Mesir tahun 2011 dan seterusnya, mahasiswa asing disebar di kampus-kampus al-Azhar di luar Kairo. Lantas, tampaknya atas pertimbangan situasi-keamanan, al-Azhar mengeluarkan kebijakan, semua mahasiswa asing harus berada di kampus utama di Kairo.
Nah, jumlah mahasiswa asing yang cukup banyak berdampak pada beberapa hal terkait keimigrasian. Begitu pula dengan pergaulan serta harga sewa kos yang cenderung naik. Kalaupun ada yang relatif murah, tempatnya biasanya jauh dari kampus dan agak kumuh.
Biaya hidup juga (menjadi soal). Kabar yang berkembang di sebagian masyarakat—entah dari mana sumbernya—mengatakan, mahasiswa asing di Mesir bisa bekerja. Akibatnya, tidak jarang kita temukan mahasiswa yang nekat ke Kairo hanya dengan modal tiket keberangkatan dan biaya hidup selama satu atau dua bulan. Mereka berharap, setelah itu bisa bekerja untuk membiayai hidupnya. Padahal, kenyataannya tidak bisa begitu.
Tak dibenarkan bagi mahasiswa asing di Mesir untuk bekerja sambil kuliah. Di samping akan memecah konsentrasi belajar, pada akhirnya kuliahnya jadi tidak maksimal. Dan bekerjanya pun tidak maksimal.
Apakah ada kemudahan bagi pelajar yang ingin menguasai bahasa Arab sebelum kuliah di al-Azhar?
Sebenarnya, al-Azhar punya kebijakan mengenai keharusan mahasiswa asing untuk mengikuti kelas bahasa terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mereka boleh mengikuti perkuliahan di kampus. Tentu, ada latar belakangnya mengapa al-Azhar mengeluarkan kebijakan itu.
Namun, dampak kebijakan itu ternyata cukup banyak. Mahasiswa yang sudah menyelesaikan kelas bahasa dalam satu atau dua bulan, misalnya, di tengah-tengah perkuliahan sudah berjalan, menjadi seolah-olah berada dalam keadaan menggantung. Kelas bahasa sudah selesai, sedangkan masa perkuliahan sudah berjalan. Mahasiswa tidak bisa ikut kuliah di tengah jalan.
Akibatnya, mahasiswa harus menunggu kuliah di tahun akademik berikutnya. Itu juga berdampak pada masalah keimigrasian, seperti izin tinggal yang habis. Dari situlah, ada inisiasi dari Kemenag bersama Syekh al-Azhar untuk membuka cabang kelas bahasa di Indonesia.
Bagi calon mahasiswa asal Indonesia, kelas bahasa sudah bisa diikuti sebelum yang bersangkutan terdaftar di kampus al-Azhar. Dalam pelaksanaannya secara teknis, Kemenag meminta OIAA (Organisasi Internasional Alumni al-Azhar) yang melaksanakan. OIAA Cabang Indonesia pun menjalin kerja sama dengan Pimpinan Pusat OIAA di Kairo terkait pelaksanaan kelas bahasa di Indonesia.
Apa hasil dari kerja sama itu?
Dibukanya Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab (PUSIBA) sebagai cabang dari Pusat Bahasa Arab al-Azhar di Kairo. Itu merupakan solusi ideal untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa kita di Kairo.
PUSIBA dibuka secara resmi pada Juli 2019. Peresmiannya dihadiri Deputi Syekh al-Azhar, Penasihat Syekh al-Azhar, dan sejumlah pejabat tinggi di al-Azhar maupun Pimpinan Pusat OIAA Kairo. Dari pihak Indonesia, Menteri Agama RI saat itu hadir dan menandatangani prasasti peresmian PUSIBA bersama dengan Deputi Syekh al-Azhar.
Apa saja yang telah dilakukan PUSIBA dalam mempersiapkan calon mahasiswa baru?
PUSIBA berfungsi sebagai “administrator”, pelaksana teknis dari kelas persiapan bahasa Arab bagi calon mahasiswa al-Azhar asal Indonesia. Kurikulum, buku ajar, tenaga pengajar, jam belajar, metode pengajaran, sepenuhnya dikendalikan langsung oleh Pusat Bahasa Arab al-Azhar di Kairo.
Kami hanya melakukan proses pendaftaran untuk mereka (calon mahasiswa) mengikuti tes penentuan level, lalu pendaftaran ulang, membantu kendala teknis peserta didik, dan hal-hal teknis lainnya.
Selain itu, kami juga mengamati peserta didik dari waktu ke waktu dengan melihat hasil ujian kenaikan level. Mereka yang tampak lemah dan lemah sekali, diupayakan ada pendampingan dari tenaga pengajar Indonesia yang sudah lulus pelatihan guru di Pusat Bahasa Arab al-Azhar. Tentu hal ini tidak mudah. Ada peserta yang memang motivasi dirinya rendah sehingga memilih untuk tidak melanjutkan. Saya kira, adanya PUSIBA ini menjadi salah satu bentuk “seleksi alam".
PUSIBA secara berkala juga mengadakan kuliah-kuliah umum dengan menghadirkan sejumlah tokoh nasional, baik dari lingkup pemerintahan maupun alumni al-Azhar. Temanya berkisar pada wawasan kebangsaan, wasathiyah al-Azhar, dan motivasi dari alumni yang cukup menonjol di Tanah Air.
Apa saja saran dari Anda untuk para pelajar yang ingin menguasai bahasa Arab secara cepat dan tepat?
Pertama, cintailah bahasa Arab. Ada kasus di mana peserta PUSIBA mengalami beberapa kali tidak naik level. Setelah kita dalami, ternyata ia merasa terpaksa dalam belajar bahasa Arab. Ia ingin kuliah di Turki, tetapi orang tuanya kepingin dia belajar ke Mesir saja. Akhirnya, ya seperti itu. Dia tidak suka bahasa Arab dan akhirnya kurang berhasil.
Kedua, penguasaan bahasa Arab—atau bahkan bahasa apa pun—itu mencakup empat kemahiran, yakni mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Nah, ada sekolah atau pesantren yang lulusannya sangat menonjol dalam kemahiran membaca kitab, tetapi agak lemah dalam mendengar dan berbicara.
Maksud saya, seorang pembelajar bahasa Arab harus menyadari betul, suka atau tidak suka, ia harus menguasai empat kemahiran itu secara seimbang. Kalau sudah seimbang, barulah ia bisa dikatakan menguasai bahasa asing tertentu.
Ketiga, manfaatkan kemudahan internet. Sering-seringlah melatih diri dengan cara, umpamanya, mendengarkan berita-berita berbahasa Arab, lagu-lagu berbahasa Arab, atau bahkan lawak atau drama dalam bahasa Arab.
Memang, yang kita temukan di internet sering sekali menggunakan bahasa tidak baku atau bukan fusha. Namun, ada yang fusha juga kok. Di samping itu, memahami bahasa ‘ammiyyah juga sebenarnya membantu untuk memahami bahasa fusha, terutama dalam hal struktur bahasa.
Keempat, banyak-banyaklah berlatih. Kata orang, bahasa itu sejenis keterampilan atau seni. Umpamanya, bermain gitar atau instrumen musik lainnya. Walaupun kita bisa bermain gitar, kalau tidak sering-sering berlatih lama-lama akan lupa juga. Berlatih menggunakan bahasa Arab mengharuskan kita untuk rajin mendengar, membaca, menulis—semisal menulis catatan harian dalam bahasa Arab—dan mengobrol dalam bahasa Arab.
Pembiasaan itu sekarang kami sediakan di PUSIBA dalam program-program yang kami sebut sebagai Madinatul Fusha. Sifatnya pilihan. Peserta PUSIBA yang ingin penguatan, dipersilakan mengikuti program berasrama ini.
Terkenang Masa Kuliah di Mesir
Ustaz Muhammad Arifin telah lama berkiprah di dunia pendidikan bahasa Arab. Direktur Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab (PUSIBA) itu mengaku sangat berutang budi pada para gurunya, baik di dalam maupun luar negeri.
Sebelum menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar pada 1990 silam, dirinya belajar di Universitas Islam Darussalsam (Unida) Gontor, Jawa Timur. Waktu itu, kampus tersebut masih bernama Institut Pendidikan Darussalam (IPD). Dua tahun lamanya ia mengabdi di sana.
Kemudian, M Arifin lolos seleksi calon penerima beasiswa untuk bisa berkuliah di al-Azhar, Kairo, Mesir. “Saya sangat berterima kasih kepada Gontor. Modal bahasa Arab yang saya dapatkan di Gontor, alhamdulillah, bisa mengantarkan saya lulus seleksi penerima beasiswa,” kata Ustaz Arifin kepada Republika, baru-baru ini.
Di al-Azhar, ia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas ad-Dirasat al-Islamiyah wa al-‘Arabiyyah atau Studi Islam dan Bahasa Arab. Selama bertahun-tahun, dirinya mendapatkan berbagai ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.
“Yang sangat berkesan bagi saya adalah interaksi dengan teman-teman mahasiswa dari berbagai negara. Karena saya menerima beasiswa, saya tinggal di dalam asrama mahasiswa asing penerima beasiswa,” ucap dia.
Di rantau, Arifin tetap berupaya melanjutkan hobinya, yakni membaca koran. Jangan samakan kondisinya dengan sekarang. Dahulu, sumber informasi hanyalah media cetak, radio, atau televisi. “Dengan beasiswa yang relatif tidak terlalu besar, saya alhamudlillah bisa berlangganan dua koran dan satu majalah,” ujar dia.
Di samping untuk menambah wawasannya, dia berlangganan koran dan majalah itu untuk mendalami gaya bahasa Arab para penulis atau kontributor media. Kebetulan, itu sesuai dengan jurusan yang ia tempuh pada jenjang pendidikan berikutnya.
Menurutnya, al-Azhar cukup akomodatif terhadap kepentingan para mahasiswa. Mereka yang berkuliah di sana relatif juga tidak dipungut biaya kuliah. Paling-paling, lanjutnya, hanya biaya administrasi, semisal untuk daftar ulang, membuat kartu mahasiswa, kartu ujian, dan sebagainya.
“Dengan begitu, mahasiswa hanya perlu biaya untuk beli buku-buku kuliah dan biaya hidup. Jika dibandingkan dengan biaya kuliah di Indonesia hampir sama. Nah, mungkin banyak yang berpikir, daripada kuliah di Indonesia, sekalian saja kuliah di al-Azhar Mesir. Toh biayanya sama,” ungkap Ustaz Arifin. (*)
Tags : universitas al-azhar, kairo, mesir, bahasa, hiwar ,