JAKARTA - Kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Salah satu "harta karun" yang berpotensi menjadi sumber energi bersih andalan masa depan RI adalah energi geothermal atau panas bumi.
Tak tanggung-tanggung, "harta karun" sumber energi bersih Indonesia ini merupakan terbesar kedua di dunia.
Namun demikian, pemanfaatannya hingga kini masih belum optimal. Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi mengungkapkan, dari potensi 24 Giga Watt (GW) panas bumi yang dimiliki Indonesia, tercatat baru hanya 2,4 GW saja yang dimanfaatkan.
"Kita memiliki seperti apa yang saya bilang tadi 24.000 Mega Watt (MW), cuman sampai sekarang baru 2.400 MW yang jalan, di 4 tahun terakhir kalau gak salah cuman 300 MW, artinya very slow, kita sudah 40 tahun di Geothermal, jadi saya rasa kita sudah mengerti bottlenecking-nya," kata dia dalam acara Energy Corner, seperti dirilis CNBC Indonesia, Selasa (19/3/2024).
Sebagai informasi, kapasitas pembangkit listrik terpasang Indonesia hingga Desember 2023 mencapai 72.976 MW. Artinya, kontribusi PLTP saat ini hanya sekitar 3%.
Apabila utilisasi PLTP Indonesia dapat dimaksimalkan hingga mencapai 100%, pemanfaatan sumber energi geothermal dapat mencapai 32% dari total kapasitas pembangkit listrik saat ini.
Berdasarkan data dari Pertamina dan ThinkGeoEnergy yang diolah tim CNBC Indonesia Research, menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara terdepan dalam hal pemanfaatan geothermal, dengan kapasitas tinggi, instalasi yang terbesar, dan utilisasi yang cukup baik.
Meski demikian, Indonesia jangan sampai terlena. Pasalnya, sejumlah negara kini juga mulai serius dalam menggenjot pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi bersih.
Beberapa di antaranya yaitu Kenya dan Turki.
Melansir Think GeoEnergy, Kenya melakukan penambahan pembangkit listrik 35 MW pertama dari tiga pembangkit listrik di Menegai.
Tidak hanya itu, Julfi Hadi mengatakan Kenya saat ini menjadi salah satu negara yang cukup terdepan di Afrika dalam pengembangan panas bumi.
Hal tersebut dapat terlihat dari berbagai kebijakan pemberian insentif yang diberikan pemerintah setempat untuk energi bersih ini.
"Di Kenya negaranya yang jauh di belakang kita itu maju karena mereka memikirkan geothermal itu harus ke depan. Jadi banyak insentif yang dia taruh yang akan membuat lari geothermal. Kalau di Turki ada feed in tariff," kata dia dalam acara Energy Corner.
Melansir ESI Africa, Pemerintah Kenya menetapkan kebijakan feed-in tariff untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Kebijakan ini telah menetapkan dari awal bahwa produsen EBT telah memiliki target penjualan yang jelas, termasuk ke pemerintah, untuk memastikan keberlanjutan pendapatan suatu projek.
Selain itu, Pemerintah Kenya juga mengatur, bila ada produksi energi bersih berlebih, maka dapat disalurkan kembali ke jaringan listrik.
Aturan ini memungkinkan konsumen untuk mengekspor kelebihan energi surya, mendorong konsumsi dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan pada jaringan listrik.
Sedangkan di Turki, terdapat kebijakan, bagi proyek yang memenuhi syarat yang diatur pemerintah, dapat mendapatkan sertifikat insentif investasi yang diumumkan oleh Kementerian Perindustrian dan Teknologi. Jumlah total investasi untuk proyek yang memenuhi syarat adalah Turkish Lira 90,45 miliar.
Oleh sebab itu, Julfi berharap, para pengembang panas bumi dapat berdiskusi dengan pemerintah, agar pengembangan panas bumi di Indonesia dapat jauh lebih menarik.
Mengingat, pengembangan panas bumi di Tanah Air sudah dimulai sejak 40 tahun yang lalu.
Menurut Julfi, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat pengembangan panas bumi di Tanah Air masih berjalan lambat.
Misalnya, commercial project yang masih belum dapat diterima oleh investor, sehingga untuk mendapatkan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) untuk energi panas bumi sangat lama.
"Jadi mendapatkan PPA sangat lama ya, masalahnya apa ya, ini adalah resource core business di mana eksplorasi ini masih harus di-manage, harus diperbaiki, jadi untuk mendapatkan masih lama," katanya.
"Kita duduk bersama untuk mendapatkan dukungan contoh tadi early production, bisa gak regulasinya mendukung early production 3 tahun. Contohnya, kalau di Kenya dari dua sumur saja itu bisa langsung disambungkan, kalau kita kan harus 55 MW," kata dia.
Julfi mengatakan, pihaknya mempunyai bisnis model dalam mempercepat rencana Commercial Operation Date (COD) suatu PLTP, sehingga pembangunan dan operasional pembangkit bisa mulai lebih cepat, dari yang sebelumnya membutuhkan waktu paling tidak 7-10 tahun, maka dengan teknologi baru diperkirakan bisa lebih cepat menjadi "hanya" 3-4 tahun.
Julfi mengatakan pihaknya akan memulainya terlebih dahulu dengan menggenjot PLTP skala kecil. Menurut dia, dengan teknologi terbaru, pengembangan PLTP ini akan lebih efisien dengan capex yang lebih rendah.
"Efisien bagaimana? Maksud saya tadinya kita cuman main di high temperature 220, dengan teknologi sekarang 150 sudah bisa di-develop, jadi lebih banyak dan lebih bagus, well yang tadinya kecil-kecil bisa dimasukkan," tuturnya.
Menurut Julfi, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat pengembangan panas bumi di Tanah Air masih berjalan lambat. Salah satunya yaitu commercial project yang masih belum dapat diterima oleh investor.
Dengan pengembangan yang lebih cepat, tentunya ini dapat lebih menguntungkan untuk pengembangan geothermal, mengingat penggunaan dari panas bumi yang dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lebih panjang. (*)
Tags : geothermal, panas bumi, pltp,