Politik   17-05-2025 22:15 WIB

Riau Ingin Lepas dari Premanisme, KNPI: 'Tapi Sepertinya Hanya Lips Service Saja'

Riau Ingin Lepas dari Premanisme, KNPI: 'Tapi Sepertinya Hanya Lips Service Saja'
Larshen Yunus, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Riau.

Riau ingin lepas dari premanisme hingga tercipta rasa aman dan nyaman.

PEKANBARU - Gubernur Riau (Gubri), Abdul Wahid, menegaskan komitmennya untuk memberantas premanisme yang masih menjadi ancaman bagi ketertiban dan keamanan masyarakat di Provinsi Riau.

Keinginan Gubri untuk Riau ingin lepas dari premanisme ini mendapat tanggapan dari Larshen Yunus, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Riau.

"Saya khawatir ini hanya lips service saja, masyarakat pun sudah terlanjur miring dengan pernyataan itu," sebutnya seperti Sabtu (17/5) tadi.

"Kita lihat lebih 100 hari kerja, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di 12 Kabupaten Kota se Riau tetap berjalan seperti biasanya, tidak ada yang mencolok," ungkapnya.

Menurutnya, soal premanisme, itu semua dampak dari kebijakan pemerintah yang terbukti tidak pro dengan kepentingan rakyat.

Diakuinya, masalah premanisme belakangan ini mendapatkan perhatian serius dari publik.

"Kalau sudah menghambat, mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, berarti harus ditindak," tambahnya.

"Premanisme merupakan tindakan yang merugikan masyarakat, karena biasanya memaksakan kehendak dan mengambil hak orang lain. Premanisme itu sudah pasti negatif," kata dia.

"Mereka ingin penghasilan besar tanpa mau bekerja keras, dan biasanya memaksakan kepentingan pribadi atau kelompok dengan cara yang salah. Itu jelas salah," sebutnya.

Tetapi Gubri Abdul Wahid menyadari premanisme timbulkan rasa ancaman bagi ketertiban dan keamanan masyarakat.

“Saya menyambut baik atas gerakan memberantas premanisme. Karena ini penting untuk menjaga kondusivitas di lingkungan masyarakat, pergerakan ekonomi dan investasi,” kata Gubri Abdul Wahid usai menghadiri kegiatan Halalbihalal bersama Majelis Ulama Indonesia di Gedung Daerah Balai Serindit, Jumat (16/5) kemarfin.

Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Daerah dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seluruh warga.

Menurut Abdul Wahid, premanisme merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu kondusivitas wilayah.

Kondisi tersebut, jika dibiarkan, tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga berpotensi menurunkan minat investor untuk menanamkan modal di Riau.

Ia menilai pemberantasan premanisme adalah langkah penting yang harus segera dilakukan secara menyeluruh.

Pemerintah Provinsi Riau memandang bahwa keamanan merupakan fondasi utama dalam mendukung suksesnya pembangunan di berbagai sektor.

Abdul Wahid menyebutkan bahwa kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas akan terwujud apabila situasi keamanan dapat terjaga dengan baik. Maka dari itu, segala bentuk gangguan, termasuk aksi premanisme, tidak bisa ditoleransi.

“Salah satu penentu sukses atau tidaknya pembangunan itu adalah orang (Masyarakat) merasa nyaman. Sementara kenyamanan itu tercipta apabila ada keamanan. Keamanan ini terkadang bisa terganggu akibat ulah dari premanisme,” terangnya.

Sebagai bagian dari upaya konkret, Pemerintah Provinsi Riau telah menjalin kerja sama dengan aparat penegak hukum (APH) untuk menindak tegas para pelaku premanisme.

Kolaborasi ini diharapkan mampu memperkuat penegakan hukum di lapangan, sekaligus memberi efek jera bagi pelaku yang kerap meresahkan masyarakat.

“Saya mendukung penuh upaya pemberantasan premanisme ini, kita bersama Pak Kapolda dan Pak Danrem bersatu dalam rangka menciptakan keamanan di masyarakat,” katanya.

Abdul Wahid menyampaikan bahwa pemberantasan premanisme tidak hanya penting untuk sektor keamanan, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian daerah.

Kondisi wilayah yang aman dan tertib akan meningkatkan daya tarik Riau sebagai destinasi investasi yang potensial bagi pelaku usaha, baik dari dalam maupun luar negeri.

Menurutnya, lingkungan yang bebas dari premanisme juga dinilai akan memperkuat stabilitas sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Dengan terciptanya rasa aman, warga dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dengan tenang, termasuk dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan usaha.

Pemerintah daerah, lanjut Abdul Wahid, akan terus memantau dan menindaklanjuti segala laporan masyarakat terkait aksi premanisme di berbagai wilayah.

Respons cepat dari aparat dan sinergi antarinstansi akan menjadi kunci dalam menekan angka kriminalitas serta menjaga nama baik Riau sebagai daerah yang ramah dan aman.

“Saya minta aparat penegak hukum untuk menindak tegas semua kegiatan premanisme. Kita tidak mau premanisme menjadi salah satu penghalang tumbuhnya perekonomian dan investasi di Riau,” tegas Wahid.

Dengan komitmen kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat, Gubernur Riau optimistis bahwa Provinsi Riau dapat terbebas dari premanisme.

Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga ketertiban lingkungan serta melaporkan setiap tindakan yang mengarah pada kekerasan dan intimidasi demi menciptakan Riau yang aman, damai, dan sejahtera.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab dalam memberantas premanisme?

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini menekankan pentingnya peran aparat kepolisian dalam menangani praktik premanisme.

Ia juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melawan tindakan yang merusak kehidupan sosial.

"Tugas menindak itu tentu ada pada kepolisian. Tapi, masyarakat juga harus berani melawan karena premanisme itu tidak baik dan tidak boleh dibiarkan," imbuh dia.

Tetapi pihak kepolisian terlebih dahulu melakukan pendekatan preventif dan edukasi sebelum mengambil tindakan hukum, "ya alih alih mengedepankan langkah preventif dan preemptif melalui sosialisasi dan pembinaan."

"Pembinaan ini penting agar mereka bisa berkontribusi secara positif dalam menjaga ketertiban dan mendukung iklim investasi yang kondusif," lanjut Larshen Yunus.

Fenomena tentang premanisme bukan sekadar tindakan ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam.

Menurutnya, praktik ini (Premanisme) merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari perspektif sosial maupun hukum.

Masalah lain, tentu dengan adanya kondisi ekonomi yang sulit memaksa seseorang mencari cara untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar.

"Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, turut memperburuk keadaan. Ketika anggaran daerah dipotong, sumber pemasukan banyak yang menghilang. Ini berdampak besar bagi masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya masih mendapat limpahan dana dari proyek-proyek pembangunan,” jelasnya.

Dalam konteks yang lebih luas, Larshen menyoroti kesenjangan sosial yang semakin melebar sebagai faktor pendorong maraknya aksi premanisme.

Ia menilai bahwa kelompok elit oligarki dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah mereka di berbagai platform media sosial dan ruang publik, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya.

Sementara itu, di sisi lain, masih banyak masyarakat yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan dalam kondisi yang semakin sulit akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi.

Fenomena ini, menurutnya, tidak hanya sekadar menciptakan kecemburuan sosial biasa, tetapi juga membentuk rasa frustrasi kolektif di kalangan masyarakat kelas bawah.

Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi memicu perasaan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat mendorong sebagian kelompok masyarakat untuk melakukan tindakan menyimpang, termasuk aksi pemalakan.

“Kondisi ini semakin parah ketika ketidakadilan sosial ini terus berulang, sementara di sisi lain, budaya konsumtif semakin dipertontonkan tanpa kontrol,” ujarnya.

Menurut Larshen, tindakan premanisme ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi karena dampaknya yang semakin meluas terhadap kestabilan sosial dan dunia usaha.

Ia menekankan bahwa penegakan hukum harus diterapkan secara tegas, tanpa pandang bulu, serta tidak boleh terhambat oleh kepentingan politik atau kedekatan kelompok tertentu dengan aparat.

"Tetapi mereka hanyalah bagian kecil dari permasalahan besar yang dihadapi oleh negara."

“Yang lebih berbahaya dan memiliki dampak sistemik jauh lebih luas adalah para pejabat yang secara terang-terangan mencabik-cabik konstitusi demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, menciptakan kebijakan yang tidak adil, serta membiarkan ketimpangan sosial semakin melebar,” ujarnya dengan tegas.

Ketua Umum (Ketum) Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) ini menambahkan bahwa negara harus hadir untuk melindungi para pengusaha dari tekanan semacam ini. Jika praktik ini terus dibiarkan dan hukum tidak ditegakkan dengan serius, maka dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para pelaku usaha, tetapi juga oleh masyarakat luas.

“Karena itulah, pemerintah perlu mengambil langkah tegas dengan menertibkan premanisme serta memberikan jaminan perlindungan kepada para pengusaha agar mereka dapat menjalankan bisnisnya tanpa rasa takut atau tekanan dari kelompok mana pun,” pungkasnya.

Jadi Larshen Yunus menilai, seiring biaya ekonomi yang terus semakin tinggi, iklim investasi akan semakin terganggu, dan pada akhirnya, stabilitas sosial bisa berada dalam ancaman yang lebih besar. Situasi seperti ini bisa memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang berkepanjangan, serta menumbuhkan sikap apatis terhadap hukum. (*)

Tags : premanisme, riau, riau ingin lepas dari premanisme, komite nasional pemuda indonesia, knpi riau,