JAKARTA - Pemerintah berlomba dengan waktu untuk memastikan pasokan air bersih di Ibu Kota Nusantara [IKN] dapat memenuhi kebutuhan ribuan aparat sipil negara (ASN) yang tahun ini ditargetkan bermukim di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Baru-baru ini, pemerintah melalui TNI Angkatan Udara mendatangkan mesin pompa transmisi air minum dari Guangzhou dan Shandong di China. Sementara itu, target pemasangan jalur pipa air bersih lebih dari 15 kilometer terus dikebut.
Di sisi lain, selama puluhan tahun, sebagian penduduk di sekitar IKN harus membeli air bersih karena kualitas air tanah dan air permukaan yang tidak layak konsumsi.
Pakar hidrologi meyakini penyediaan air bersih di IKN akan lebih mahal dibandingkan di Jakarta karena kompleksitasnya.
Lalu, bagaimana penyediaan air bersih bagi warga yang akan tinggal di IKN dalam waktu jangka panjang?
Syarariyah adalah warga Penajam Paser Utara yang terdampak langsung pembangunan IKN karena rumahnya masuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan [KIPP].
Perempuan 49 tahun ini berbagi pengalaman mengakses kebutuhan air bersih bagi rumah tangganya sehari-hari.
Syara – panggilan Syarariyah – mengaku sudah sejak pertengahan tahun 1970-an membeli air bersih saat musim kemarau. Tapi di musim penghujan saat debit air Sungai Sepaku naik, keluarganya bisa menggunakan air sumur untuk dikonsumsi.
“Meskipun dulu kita pakai [air] sumur atau pakai sungai, nggak ada kita kesusahan air sama sekali. Soalnya air sumur sendiri bisa kita ambil, kita saring dulu, baru kita rebus,” katanya.
Namun, beberapa dekade terakhir air sumur dan sungai sudah tidak lagi bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. “Selalu kita beli. Beli air bersih untuk mandi, untuk masak,” katanya.
Menurut kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], secara geologi wilayah IKN tersusun dari batuan yang berumur sangat tua dan solid. Air yang menyerap ke tanah akan melalui banyak lapisan lempung, batubara serta gambut yang mempengaruhi kualitas air sumur.
Air tanah di IKN, dan wilayah gambut cenderung berkadar besi dan banyak ditemui sulfida, sehingga air berpotensi mengandung endapan pirit. Akibatnya, air tanah bersifat asam. Air yang mengandung pirit cenderung memiliki warna jingga hingga merah.
Oleh karena itu, air bersih menjadi barang berharga bagi Syara dan penduduk di sekitar IKN. Air bersih itu dibeli warga melalui saluran perusahaan air minum daerah, atau pedagang air.
Untuk memenuhi kebutuhan hariannya, Syara membeli air dari pedagang yang dikirim dari Desa Suka Raja berjarak 13 kilometer dari rumahnya. Satu hari, Syara membeli satu tandon air (sekitar 1.200 liter) dengan harga Rp100.000.
Kata dia, harga ini meningkat dua kali lipat setelah proyek IKN dimulai.
“Tahun 2019 itu masih harga Rp50.000. Ya, mentok itu kalau lagi kemarau ya Rp80.000. Sekarang mahal,” kata Suraya.
Ia juga mengaku tak bisa mengandalkan air tadah hujan untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Karena kita mau tampung air hujan saja di atap itu, debunya luar biasa,” katanya sambil mengeluhkan dampak pembangunan IKN yang membuat jalan berlumpur, dan ketika musim panas menerbangkan debu.
Setidaknya ada tiga sumber air yang bisa digunakan di IKN: air tanah [air sumur galian atau bor], air permukaan (sungai, embung, danau, sumur resapan dan laut), serta air hujan yang ditampung dalam skala rumah tangga.
Badan Geologi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] melaporkan karakteristik kesesuaian wilayah inti IKN “dalam kondisi sulit air”.
“Disarankan untuk menggunakan air permukaan atau alternatif lain,” kata Tatan Hidayat, Subkoordinator Pusat Tanah dan Geologi Tata Lingkungan di Badan Geologi seperti dikutip dari Antara.
Kawasan inti IKN, kata Tatan, termasuk dalam “kesesuaian lahan sedang hingga tinggi”, sehingga pembangunan perkotaannya memerlukan biaya sedang hingga tinggi karena kebutuhan air agak sulit terpenuhi.
Anjuran menggunakan air permukaan sebagai air baku juga pernah diutarakan dosen fakultas sains dan teknologi Universitas Airlangga, Nurina Fitriani.
Ia mendorong IKN menjadi kota spons – kota yang dapat menampung dan mengelola air hujan sebagai air baku. “Yakni melalui pembangunan dan sumur resapan air,” katanya.
Ditambah lagi, curah hujan yang cukup tinggi di Penajam Paser Utara mencapai 2.400 mm per tahun, merupakan potensi sumber air yang bisa digunakan untuk memenuhi ketersediaan air bersih.
Sejauh ini, pemerintah mengambil langkah membuat empat bendungan secara bertahap hingga 2058 mendatang. Satu bendungan, yaitu Bendungan Sepaku Semoi sudah rampung dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada awal bulan Juni.
“Ini akan menjadi sumber air baku bagi air minum di Ibu Kota Nusantara dan juga sebagian untuk Kota Balikpapan,” kata Jokowi.
Proyek Bendungan Sepaku Semoi yang dimulai 2020 ini berbiaya Rp836 miliar. Kapasitas tampungnya 16 juta meter kubik dengan luas genangan 322 hektare. Jumlah air ini setara dengan kebutuhan 500.000 rumah tangga selama tujuh bulan.
Namun, aliran air bersih dari bendungan ini belum benar-benar tersalurkan sepenuhnya karena diperlukan jaringan pipa.
PT Brantas Abipraya [Persero] salah satu perusahaan plat merah yang bertanggung jawab atas proyek infrastruktur pengairan, membuat klaim akan mempercepat pembangunan jaringan pipa transmisi air minum Sistem Penyediaan Air Minum [SPAM].
"Dengan adanya SPAM Sepaku ini nantinya dapat meningkatkan kualitas penyediaan air minum bagi masyarakat. Brantas Abipraya membangun dua paket pekerjaan, di antara SPAM Sepaku Paket 1 sepanjang 5,343 km dan SPAM Sepaku Paket 2 sepanjang 10,528 km,” kata Sugeng Rochadi, Direktur Utama Brantas Abipraya dalam keterangan resminya.
Selain Bendungan Sepaku Semoi, sumber air baku IKN juga berasal dari Sungai Sepaku.
Ketua Satuan Tugas [Satgas] Pelaksana Pembangunan Infrastruktur IKN, Danis Hidayat Sumadilaga, mengatakan kebutuhan air bersih IKN akan dialirkan dari intake Sungai Sepaku dengan kapasitas 300 liter per detik setidaknya sudah tersedia pada perayaan HUT RI, 17 Agustus 2024 mendatang.
"Pembangunan pipa sepanjang 16 kilometer dari intake Sungai Sepaku ke reservoir besar dengan kapasitas 2x6000 kubik sudah 97%,“ katanya kepada wartawan seperti dikutip dari media Prokal.
Di tengah giat penyediaan air bersih untuk IKN, TNI AU melaporkan telah memboyong mesin pompa transmisi air minum dari Guangzhou dan Shandong di China.
"Dari Lanud Raden Sadjad [Natuna] pesawat lalu mengantar mesin pompa air minum ke Lanud Dhomber Balikpapan, Kalimantan Timur," kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara, Ardi Syahri kepada Antara.
Kejar tayang penyediaan air di IKN dilakukan di tengah target pemerintah memboyong Aparatur Sipil Negara [ASN] tahun ini.
Pada Februari lalu, jumlah ASN yang direncanakan menempati IKN gelombang pertama sebanyak 17.000 orang. Tapi target terus direvisi, semakin berkurang.
Dalam sejumlah kesempatan, pejabat pemerintah mengiming-imingi insentif dan promosi karier bagi ASN yang bersedia dipindahkan ke IKN.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dalam keterangan resminya mengatakan ASN yang bersedia bertugas ke IKN merupakan petarung dan menjadi momentum penilaian.
“Ini saya sudah buka kemarin, di Kemendagri hampir 6.000-an karyawannya, itu sudah 200 rebutan mau ke sini [IKN], dan saya sendiri saya sangat siap untuk gelombang yang pertama,” kata Tito.
Bagaimana pun kualitas air di IKN dan Pulau Jawa berbeda, kata Ahmad Munir, pakar hidrologi dari Serayu Institute.
“Jadi data dan fakta baik kondisi hidrologi, ekologi, geomorfologi, maupun kondisi geografis di wilayah IKN yang kita sebut Ibu Kota Nusantara di Penajam Paser Utara itu karakteristik hidrologi agak berbeda dengan Ibu Kota Jakarta,” katanya merujuk pada air tanah maupun air permukaan.
Ia melanjutkan, kualitas air baku di Jawa dipengaruhi oleh tutupan batuan vulkanik yang mampu menyaring air dengan baik, sedangkan di Kalimantan cenderung didominasi tutupan gambut. Oleh karena itu, pengelolaan air baku di Jawa “tidak begitu repot” dibandingkan di IKN.
“Untuk Ibu Kota Nusantara yang ditempatkan di Penajam Paser Utara itu mau tidak mau ya harus menggunakan pendekatan teknologi,” kata Munir.
Kadar air di wilayah gambut cenderung memiliki kandungan besi, sehingga memberikan rasa tidak enak saat diminum. Jika kandungan besinya cukup tinggi maka air akan mempunyai sifat karsiogenik/pemicu kanker, dapat menyebabkan kerusakan gigi dan gangguan pencernaan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi penyaringan yang lebih kompleks agar dapat diubah menjadi air baku.
Sejauh ini, kata dia, rencana dan langkah awal yang diambil pemerintah sudah tepat: menjadikan air permukaan sebagai air baku untuk kebutuhan hidup warga IKN kelak. “Itu satu-satunya cara yang paling pas, karena masyarakat tidak mungkin mengandalkan air permukaan secara alamiah, kalau tidak dibuat bendungan,” katanya.
Namun, Munir menggaris bawahi kemungkinan harga air bersih di IKN akan lebih mahal dibandingkan di Jakarta.
Musababnya, teknologi untuk mengubah air permukaan menjadi air bersih di IKN lebih kompleks dan mahal. Belum lagi pembangunan waduk hingga jaringan pipa.
“Artinya ketika harus menyediakan air sistem perpipaan, juga harus membuat jaringan perpipaan baru, membuat sistem pendistribusian yang baru, tentu itu secara cost jauh lebih besar dibanding di Jawa,” tambah Munir.
Selain itu, ia juga berharap pemerintah konsisten menjadikan IKN sebagai kota spons – tidak menggunakan air tanah sebagai air baku.
Jika tidak, maka tak ada beda IKN dengan Jakarta dalam mengeksploitasi air tanah yang mengakibatkan permukaan tanahnya semakin tenggelam.
“Pemanfaatan air baku permukaan itu betul-betul menjadi kunci. Betul-betul menjadi kunci untuk kelanjutan Ibu Kota Nusantara. Tanpa itu, dampak ekologinya akan sangat besar,” katanya.
Sementara Ketua Satgas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN, Danis H. Sumadilaga belum ada respons. (*)
Tags : Masyarakat, Indonesia, Air, IKN, Lingkungan, Alam, Pelestarian ,