JAKARTA - Ribuan kontainer berisi komoditas seperti besi baja, tekstil, hingga barang elektronik tertahan dan menumpuk beberapa bulan di Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan beberapa pelabuhan lainnya.
Pemerintah telah merevisi aturan lama yang dianggap sebagai penyebabnya. Namun pengamat menilai kasus ini tak akan terjadi apabila ada koordinasi yang lebih baik antar kementerian.
Terungkapnya persoalan ribuan kontainer tertahan di sejumlah pelabuhan, memaksa pemerintah Indonesia untuk menempuh langkah "relaksasi aturan impor".
Keputusan ini diambil dalam rapat internal bersama Presiden Joko Widodo, Jumat (17/05).
Menurut rilis Kementerian Perdagangan, penumpukan ribuan kontainer berisi bahan baku di pelabuhan terjadi akibat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 tahun 2023.
Agar barang-barang dalam ribuan kontainer itu "bisa keluar", Kementerian Keuangan lalu mengeluarkan keputusan pendukung Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2024.
Aturan yang berisi "relaksasi impor" ini mulai berlaku mulai 17 Mei 2024.
"Sesuai arahan Presiden, pemerintah akan berperan aktif mendukung percepatan penyelesaian masalah ini," kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto, Sabtu (18/05) malam, dalam siaran persnya, seperti dikutip Kompas.id.
Mulai Sabtu (18/05), puluhan kontainer telah dikeluarkan secara bertahap dari Pelabuhan Tanjuk Priok dan pelabuhan lainnya. Sebelumnya ada sekitar 26.000 kontainer di sejumlah pelabuhan di Indonesia.
Namun menurut seorang pengamat kebijakan, persoalan tertahannya ribuan kontainer itu tak akan terjadi apabila ada koordinasi yang lebih baik antar kementerian.
Dia mengatakan, seharusnya hal itu tak perlu terjadi apabila Peraturan Perdagangan nomor 36 tahun 2023 dibuat dengan tidak “asal-asalan” dan ada koordinasi yang lebih baik antar-kementerian.
“Maksud saya 'asal-asalan' itu tidak matang menghitung atau membuat feasibility study-nya. Padahal, kebijakan publik itu dibuat untuk menyelesaikan masalah. Justru ini menimbulkan masalah,” ungkap pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo.
Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Arif Sulistiyo, membantah anggapan bahwa Permendag Nomor 36 Tahun 2023 dibuat tanpa perhitungan matang.
Ia mengatakan aturan tersebut dirancang berdasarkan penilaian dampak regulasi yang dilakukan oleh seluruh Kementerian dan Lembaga pengusul.
Sebelumnya, Permendag Nomor 36 tahun 2023 tak hanya dikeluhkan oleh pengusaha dan produsen, karena dianggap menghambat kemudahan impor, tapi juga oleh para pekerja migran.
Pasalnya, barang-barang para pekerja migran yang dikirim berbulan-bulan sebelum 10 Maret 2024 tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Jawa Timur, dan Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Jawa Tengah.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 guna membatasi barang impor yang dijual kembali oleh pelaku jasa titip alias jastip.
Namun dalam pelaksanaannya, peraturan ini justru merugikan pekerja migran.
Dalam pemberitaan BBC News Indonesia, pekerja migran mengeluh barang-barang pribadi yang dikirim lewat jasa ekspedisi ke keluarga mereka malah tertahan di bea cukai.
“Kemarin korbannya itu enggak tanggung-tanggung. Masa beli celana dalam saja pajaknya sampai Rp800.000? Itu eskploitatif sekali terhadap buruh migran,” ujar Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Sekar Bumi), Karsiwen.
“Kaos – padahal sudah dipakai, bukan barang baru – juga dikenai pajak waktu masuk ke Bandara Soekarno Hatta. Akhirnya dibuang.”
Imbas menuai protes dari kalangan pekerja migran serta warganet, pemerintah mengumumkan rencana untuk merevisi Permendag Nomor 36 tahun 2023.
Bahkan ternyata, kebijakan tersebut membuat puluhan ribu kontainer menumpuk di pelabuhan.
Kontainer tersebut berisi barang-barang impor, termasuk bahan baku untuk produsen dalam negeri berupa besi baja, tekstil, kipas, lampu, kabel fiber optik, tas, pompa, dan komponen otomotif.
Dalam keterangan resmi, Juru Bicara Kemenko Perekonomian, Haryo Limanseto, mengatakan Permendag 36 tahun 2023 dan turunan-turunannya menimbulkan kendala perizinan impor yang mengakibatkan penumpukan kontainer.
Sebab, sebanyak 17.304 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dan 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak belum bisa keluar karena belum terbitnya persetujuan impor (PI) dan pertimbangan teknis (Pertek).
Akhirnya, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang berlaku mulai 17 Mei 2024.
Aturan ini kemudian disusul oleh terbitnya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 17 Tahun 2024 yang berfungsi untuk mendukung Permendag baru.
Pada Sabtu (18/05), Menteri Keuangan, Sri Mulyani bersama dengan Wakil Mendag, Jerry Sambuaga dan Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menghadiri pelepasan 13 kontainer di JICT, Tanjung Priok dan 17 kontainer dari Tanjung Perak.
"Untuk Permendag ini, dibutuhkan Keputusan Menteri Keuangan yang hari ini juga akan saya keluarkan, juga sudah ditandatangani dan keluar, sehingga sudah lengkap untuk bisa menjalankan Permendag 8 Tahun 2024 dan untuk aturan pelaksanaannya," ujar Sri Mulyani, Sabtu (18/05).
Persetujuan impor komoditas awalnya diusulkan oleh Kementerian Perindustrian lalu dicantumkan dalam Permendag Nomor 36 Tahun 2023.
Namun kini, syarat itu dicabut dengan berlakunya Permendag Nomor 8 Tahun 2024.
Artinya, impor komoditas elektronik, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, peralatan rumah tangga, alas kaki, pakaian jadi, aksesoris serta tas dan katup tidak lagi memerlukan pertimbangan teknis (pertek).
Sedangkan, komoditas besi baja, tekstil, dan produk tekstil masih perlu disertai laporan survei dalam negeri.
Namun, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santoso, ada jenis-jenis komoditas dengan kode penyelarasan tertentu yang masih memerlukan pertek, khususnya komoditas yang termasuk dalam perdagangan global.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan di tengah permasalahan perizinan impor akibat Permendag Nomor 36 tahun 2023, Bea Cukai “terkena getahnya” karena mewakili 18 kementerian dan lembaga di perbatasan.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah Indonesia seringkali membuat kebijakan yang “mentok” saat berjalan di lapangan. Terbukti, katanya, dengan betapa sulit mendapatkan izin impor.
“Kita pandai membuat aturan tapi tidak dapat dijalankan karena sengaja dibuat susah-susah,” ujarnya.
Sementara, pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, mengatakan Permendag yang lama dibuat tanpa koordinasi yang baik antara lembaga dan kementerian tekait.
Sehingga, sekarang untuk menyelesaikan permasalahan itu Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian perlu turut andil.
“Jadi dampak kebijakan tidak dihitung dengan benar, koordinasinya tidak bagus. Itu memperlihatkan bahwa birokrasi kita masih punya mentalitas egoisme sektoral tinggi,” kata Roy.
Sehingga menurut Roy, kebijakan Permendag 36/2023 yang dibuat dengan “asal-asalan” kemudian menimbulkan masalah ketimbang menjadi solusi permasalahan.
Ia mengatakan kebijakan di Indonesia masih banyak yang dibuat dengan minim harmonisasi dan sinkronisasi. Akibatnya, banyak peraturan yang menjadi tumpang-tindih dan bahkan tabrakan satu sama lain karena kementerian lebih cenderung bekerja sendiri.
“Di tingkat Presiden saja ada banyak kebijakan yang tabrakan. Di tingkat menteri, tingkat kepala daerah itu tabrakan satu sama lain. Belum lagi tingkat undang-undang,” ujarnya
Senada, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengatakan Permendag 36 tahun 2023 kesannya "grasah-grusuh" sejak awal karena minimnya koordinasi dengan para pemegang kepentingan.
Ia menilai kebijakan yang bertujuan memajukan produksi dalam negeri itu akhirnya malah merugikan produsen di hilir yang bahan bakunya tertahan.
“Di hilir, banyak [produsen] diantaranya yang tidak bisa memproduksi karena adanya Permendag ini.
“Seharusnya investor bisa masuk ke dalam sini untuk mendirikan produksi bahan baku, tapi menjadi kontraproduktif karena berlaku dan dicabutnya aturan,” kata Andry.
Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Arif Sulistiyo, menjelaskan bahwa kebijakan impor tidak bertujuan untuk menghambat impor bahan baku atau bahan penolong yang dibutuhkan produsen dalam negeri.
Oleh karena itu, dalam Permendag terbaru pemerintah memberikan kemudahan impor bagi importir pemegang Angka Pengenal Importir Produsen atau Industri (API-PI) dengan pengecualian wajib laporan surveyor.
“Tentunya langkah-langkah yang kita ambil tetap mengedepankan upaya kita untuk menjaga industri dalam negeri dan investasi,” kata Arif, Senin (20/05).
Lebih lanjut, ia membantah anggapan bahwa Kemendag kurang koordinasi dengan kementerian terkait.
Arif menegaskan bahwa regulasi kebijakan impor “sudah dibahas secara teknis” melalui rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto.
“Kemenko Perekonomian sebagai penyelenggara mengundang semua kementerian dan lembaga yang terlibat… jadi Kemendag tidak sendiri,” ungkap Arif, yang menambahkan “tidak ada tumpang-tindih” dalam aturan larangan dan pembatasan impor.
Ia juga mengatakan bahwa Kementerian Keuangan sudah sepatutnya terlibat dalam pengawasan ekspor-impor karena kawasan pabean berada di bawah naungan Ditjen Bea dan Cukai.
“Sudah semestinya sebagai bagian dari pemerintah, semua kementerian dan lembaga yang terkait dalam pengaturan dan implementasi pengawasan kebijakan impor bekerja sama sesuai dengan kewenangan masing-masing,” tutur Arif. (*)
Tags : Ribuan Kontainer, Kontainer Berisi Besi Baja, Tekstil, Hingga Elektronik Tertahan, Perdagangan, Kontainer Menumpuk, Pelabuhan Indonesia,