
PEKANBARU - Universitas Riau (UNRI) punya sektor perkebunan kelapa sawit yang mampu menunjukkan dampak positif bagi lingkungan sekitar.
"Hasil riset LPPM kebun sawit bisa sejahterakan petani."
"Setelah menyimak paparan hasil kajian dari tim LPPM UNiversitas Riau yang membuktikan dampak positif industri sawit dari sisi kesejahteraan, cukup bagus. Paling tidak menjadi perspektif baru yang selama ini komoditas sawit memberikan dampak pada perekonomian nasional dan petani sawit,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, Selasa (30/8) kemarin.
Joko Supriyono mengakui, terlihat dari indikator kesejahteraan petani sawit seperti mobilitas penduduk, pendidikan keluarga petani, kesehatan dan gizi, transportasi (kendaraan pribadi), rekreasi, komunikasi (Handphone/smartphone), kebutuhan listrik dan asuransi dan aktivitas sosial.
Dampak positif lainnya, sebutnya, yaitu pengembangan perkebunan kelapa sawit mampu menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperbaiki pembagian pendapatan, dan meningkatkan pengetahuan petani melalui usahatani kelapa sawit.
Hasil kajian yang dilakukan tim LPPM Universitas Riau pada 2021 telah menyampaikan pada kegiatan ‘Sosialisasi Dampak Penerapan Tarif BLU BPDPKS Terhadap Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan’, yang diadakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di Kuta, Bali.
GAPKI yang menghadiri mewakili pelaku usaha perkebunan kelapa sawit menanggapi positif hasil riset UNRI ini.
“Setelah menyimak paparan hasil kajian dari tim LPPM UNiversitas Riau yang membuktikan dampak positif industri sawit dari sisi kesejahteraan, cukup bagus. Paling tidak menjadi perspektif baru yang selama ini komoditas sawit memberikan dampak pada perekonomian nasional dan petani sawit,” ujarnya.
Menurutnya hal tersebut menjadi bukti apa yang selama ini sering dipromosikan, diskusikan dan dibahas terbukti.
Hasil kajian dari LPPM Universitas Riau tidak sekedar hipotesa atau feeling tetapi ada buktinya yang dibuktikan dengan kajian melalui metodologi yang tidak asal-asalan. Yang menguatkan fakta, yang selama ini diyakini.
“Namun, tugas selanjutnya yang dikerjakan adalah bagaimana hasil kajian didesiminasikan dan dipublikasikan secara luas pada masyarakat luas,” kata Joko.
"Terutama yang sudah menyampaikan isu-isu negatif sawit, hasil kajian dari LPPM Univ Riau bisa menjadi counter. Dan, saya berharap bisa diterbitkan menjadi jurnal ilmiah," Sebut Joko.
"Itu yang menjadi keinginan bagi kami (pelaku industri sawit). Kenapa, karena sumber dari isu-isu negatif sawit, kalau ditelusuri berasal dari luar Indonesia," sambungnya.
Seperti diketahui, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak mengerti dan mendapatkan informasi negatif sawit dan menerima apa adanya (menelan mentah-mentah).
Dengan adanya hasil kajian ilmiah dari LPPM Universitas Riau, dan sudah bisa membuktikan adanya kesejahteraan dampak dari industri sawit. Dan, memberikan informasi yang berbeda.
“Tetapi, tidak sedikit dari kalangan akademisi yang memandang miring industri sawit. Untuk itu, jurnal ilmiah dibutuhkan industri sawit dan stakeholders sawit, knowlegde/kajian ilmiah industri sawit, itu penting bisa menjadi preferensi,” tegas Ketua Umum GAPKI dua periode ini.
"Tantangannya, kita harus banyak memproduksi jurnal ilmiah untuk mendukung industri sawit. dengan adanya BPDPKS mestinya jurnal-jurnal ilmiah diperbanyak dengan berbagai topik/tema," katanya lagi.
Sehubungan dengan tarif layanan BLU BPDPKS (pungutan ekspor CPO dan produk turunannya), ia menambahkan, selanjutnya lebih pada substansi terkait dengan dampak dari tarif layanan BLU BPDPKS terhadap perkebunan dan industri sawit berkelanjutan. Sebenarnya bisa dilihat dari sisi sawit berkelanjutan.
“Tarif (levy) sebenarnya bisa memberikan support yang berdampak jangka panjang. Karena selama ini berdiskusi sawit berkelanjutan yang dimasalahkan selalu pendanaan. Dari jaman Bea Keluar (BK) belum ada Levy, BK digunakan untuk pengembangan industri dan belum pernah berhasil. Jaman (rezim) BK, tuntutan dari industri sawit bagaimana bisa menggunakan dana BK dan belum pernah berhasil,” jelas pria lulusan Universitas Gajah Mada itu. (*)
Tags : kebun sawit, universitas riau, sawit di Komplek Akademik, perghuruan tinggi, sawit sejahterakan petani,