JAKARTA - Rokok murah membanjiri pasar Indonesia, tetapi bisnis ini sudahkah melakukan tanggungjawabnya pada efek yang ditimbulkan.
"Tanggung jawab perusahaan bisnis rokok pada efeknya harus diperhatikan."
"Tanggung jawab sosial korporasi, atau yang lebih dikenal sebagai CSR (Corporate Social Responsibility) adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh sebuah perusahaan terhadap efek yang terjadi akibat bisnis yang mereka lakukan," kata Ketua Umum [Ketum] Nasional Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Ir. Ganda Mora M.Si, Selasa (28/5/2024).
INPEST yang menyoroti soal penggunaan anggaran negara, kriminal ekonomi dan perlindungan konsumen ini juga menyebut, tidak hanya perusahaan kecil, perusahaan besar pun ramai-ramai meluncurkan produk rokok murah.
Tidak disangka-sangka sekarang banyak pabrikan the big three Tanah Air yakni PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam, dan PT Djarum memproduksi rokok murah atau meluncurkan ulang produk mereka dengan kemasan lebih sedikit.
Laporan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan 42% dari perokok persisten saat ini mengatakan akan mengurangi pengeluaran untuk merokok dan 24% dari mereka beralih ke rokok yang lebih murah.
Sementara itu, riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah masih melanjutkan untuk merokok saat pandemi meskipun kesulitan secara ekonomi dan cenderung untuk beralih ke rokok yang lebih murah.
Salah satu produk rokok murah yang diluncurkan HM Sampoerna adalah Marlboro Crafted Authentic. Produk yang diluncurkan pada Maret 2022 dijual di bawah di kisaran Rp 8.000-Rp 10.000 dengan isi 12 batang per pack.
Ganda Mora menjelaskan mahal dan murahnya harga rokok tentu saja sangat relatif bagi setiap orang.
Namun, jika dilihat dari bahan mentah, kemasan, dan faktor lain maka harga rokok murah untuk kelas Sigaret Kretek Mesin (SKM) adalah di bawah Rp 17.000-18.000 ribu per pack, kelas SPM di bawah kisaran Rp 25.000/pack, Sigaret Putih Tangan (SPT) di bawah Rp 10.000 per pack, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di bawah Rp 15.000.
"Banyaknya rokok murah yang baru beredar melanda di dalam negeri," katanya.
Sampoerna mengeluarkan rokok lama dengan jumlah yang sedikit, di antaranya adalah Marlboro Filter Black (untuk 12 batang harga Rp 20.600 per pack) dan Philip Morris Magnum 12 (Rp 18.300/pack).
Produk baru yang diluncurkan di antaranya Marlboro Crafted Authentic (Rp 8.000-10.000 per pack) dan Marlboro Advance (Rp 17.00-19.000/pack).
Djarum meluncurkan produk seperti Djarum Super Next dan Djarum Wave yang dibanderol Rp 16.000 untuk 12 batang. Djarum juga mengeluarkan varian Djarum 76 Madu Hitam (Rp 12.000-13.000 per pack).
Wismilak meluncurkan Wismilak Golden ARJA yang dibanderol dengan harga Rp 8.000-9.000 per pack dengan isi 12 batang.
Rokok murah dari produse lainnya adalah Minak Djinggo Rempah dari PT Nojorono Tobacco International (harga Rp 10.000/pack), dan City Lite By Ares produksi PR Sejahtera (Rp 14.000-16.000 per pack).
Kansas American Blend (Rp 11.000-12.000 per pack), Aroma Mile (Mild) produksi Nojorono Group (Rp 15.000-16.000 per pack), dan Esse Bana Pop 12 batang produksi KT&G Group (Rp 21.000/pack).
Terdapat juga Camel Mild Intense Blue (Rp 20.000 per pack) dan Camel Mild Option Yellow Kretek (Rp 15.000-16.000 per pack) produksi PT. Karya Dibya Mahardhika dan Hero Casual Bold dari Hero Casual (Rp 13.000-16.000 per pack).
Selain yang beredar secara nasional, terdapat beberapa rokok yang peredarannya sangat kencang di daerah tertentu.
Sejumlah rokok yang penjualannya kencang di daerah tertentu dengan produk baru setelah 2020 di antaranya adalah Gudang Baru Premium (Rp 15.000 per pack), Mozza (Rp 11.000 per pack), dan Super 57 Madjoe (Rp14.000 per pack).
Beragam produk PT Panen Boyolali dengan merk Lodjie seperti Lodjie 99, Lodjie Ijo, (Rp 6.000-10.000 per pack), rokok 169 produksi PR Sayap Bintang Sayap Insan Malang (Rp 7.000-8.000 per pack), Aroma Mile (Rp 16.000 per pack) dan Aroma Slim (Rp 9.000 per pack) produksi PT A.T.I Kudus, Sukun Exective produksi PR Sukun Kudus (Rp 19.000-21.000 per pack), dan rokok Juara Ginseng produksi KT&G (Rp 10.000 per pack).
Tetapi seperti disebutkan Ganda Mora, INPEST ini melihat ada efek yang terjadi terhadap lingkungan (ekologi) serta terhadap efek sosial.
"CSR sebuah perusahaan sepatutnya menyentuh dulu hal-hal yang terkait dengan bisnis mereka secara langsung," kata dia.
Menurutnya, setelah kewajiban itu tunai, barulah perusahaan tersebut dapat melakukan kegiatan CSR dalam bentuk lain. Namun sayangnya di Indonesia penerapannya bergeser sangat jauh," sebutnya.
"CSR lebih sering dimaknai sebagai sumbangan dana oleh perusahaan untuk kegiatan yang sifatnya non-profit."
Sementara dalam hal industri rokok, ada begitu banyak tanggung jawab sosial yang mereka abaikan.
Yang pertama dan utama adalah tanggung jawab terhadap efek rokok pada kesehatan manusia, baik perokok maupun orang-orang di sekitarnya.
"Alih-alih bertanggung jawab, industri rokok cenderung membantah efek rokok terhadap kesehatan. Mustahil kita bisa menyaksikan ada perusahaan rokok yang menyantuni perokok yang sakit akibat merokok," kata dia.
Menurutnya, industri rokok juga tutup mata terhadap perokok di bawah umur. Alih-alih melakukan usaha mencegah anak-anak remaja merokok, industri rokok justru menjadikan mereka sebagai target pemasaran.
"Di Indonesia masih sangat banyak perokok mengabaikan tata krama. Orang bisa merokok di sembarang tempat, seperti dalam angkutan umum, atau tempat umum," sebutnya.
"Lalu mereka dengan enteng membuang puntung rokok sembarangan, menjadi sampah yang mengotori lingkungan. Yang lebih mengerikan, ada banyak perokok yang dengan enteng menyulut rokok di depan anak-anaknya, menjadikan mereka perokok pasif."
"Apa yang dilakukan industri rokok terhadap hal itu? Tidak ada. Mereka menghabiskan entah berapa puluh miliar uang setiap tahun untuk berbagai iklan dan sponsor. Adakah yang memberi pendidikan kepada para perokok? Tidak," jawabnya.
Menurutnya, industri rokok masih menjadi tulang punggung pendapatan negara melalui setoran cukai dan pajak.
Industri tersebut juga ikut menopang perekonomian negara melalui penciptaan lapangan kerja mulai dari petani, penggiling tembakau, agen penjual, hingga karyawan pabrik.
Sejarah industri pengolahan tembakau atau rokok di Indonesia bisa dirunut sejak abad ke-17 melalui pedagang dari Belanda.
Rokok yang semula menjadi barang mewah kini sudah berkembang pesat dengan kehadiran ratusan pabrik serta perkebunan.
Menurutnya, dalam sebatang rokok setidaknya ada tiga pendapatan negara yang dihasilkan yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai, dan pajak daerah atau pajak rokok. Rokok juga menyumbang Pajak Penghasilan (PPh) melalui setoran PPh pribadi jutaan buruh rokok serta PPh badan perusahaan.
"Tarif cukai dipungut per batang berdasarkan golongan. Besaran tarif PPN ditetapkan 9,7% dri harga jual. Pajak rokok dihitung 10% dari tarif cukai sementara tarif PPh badan 2022 adalah 22% dari profit," jelasnya.
"Besarnya sumbangan industri rokok kepada pendapatan negara terlihat dari penerimaan cukai selama 17 tahun terakhir yang hampir selalu melewati target."
"Dalam kurun waktu 17 tahun terakhir, cukai juga menyumbang sekitar 7,8% dari pendapatan negara secara keseluruhan.
'Kontribusi cukai ini jauh lebih besar dibandingkan setoran laba BUMN yang hanya 2,7%," dalam perkiraanya.
Penerimaan cukai pada 2022 tercatat Rp 226,88 triliun atau naik 109% dibandingkan 10 tahun sebelumnya.
Gambaran besarnya pendapatan negara dari industri rokok bisa kita lihat dari sumbangan PT HM Sampoerna.
Sebagai market leader dengan share 28% di Indonesia, Sampoerna rata-rata menyumbang penerimaan negara sebesar Rp 74,86 triliun dalam lima tahun terakhir. Angka tersebut setara dengan 73% dari penjualan bersih perusahaan.
Pada 2020, sumbangan HM Sampoerna menyetor Rp 88,03 triliun ke kas negara dalam bentuk cukai, PPN, hingga PPh.
Nilai tersebut setara dengan 79% dari penjualan bersih. Bila dibandingkan dengan pendapatan cukai secara keseluruhan maka porsi setoran sekitar 35%.
Menurutnya, Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DBH dimaksudkan untuk memperbaiki keseimbangan antara pusat dan daerah dengan melihat potensi daerah penghasil di mana daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar.
DBH meliputi DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam. DBH Pajak meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PPh dan CHT.
Sementara itu, DBH SDA meliputi kehutanan, mineral dan batu Bara, migas, pengusahaan panas bumi dan perikanan.
Alokasi DBH CHT untuk 2022 mencapai Rp 3,87 triliun. Dana sebesar itu dibagi ke dalam 25 provinsi penghasil cukai atau tembakau.
"Keberadaan DBH CHT ini bisa dimanfaatkan pemerintah daerah (pemda) untuk membantu masyarakat kurang mampu, terutama dalam pembiayaan kesehatan. Salah satunya adalah penggunaan DBG CHT untuk kepesertaan BPJS Kesehatan," sebutnya.
Selain menyumbang kas negara, industri rokok juga menopang perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja.
Industri rokok diperkirakan menyumbang tenaga kerja sekitar 5-6 juta tenaga kerja.
Data Kementerian Perindustrian menyebutkan total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta pada 2019.
Jumlah tersebut tersebar dari pekerja di sektor manufaktur dan distribusi sebanyak 4,28 juta serta 1,7 juta di sektor perkebunan.
Ketum INPEST memperkirakan jumlah petani tembakau diperkirakan mencapai 700.000-800.000 orang. Tetapi merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan tembakau menyerap tenaga kerja sebanyak 246.587 pada 2021. Jumlah tersebut turun 14% dibandingkan tahun sebelumnya. (*)
Tags : industri rokok, csr, rokok murah, bisnis rokok ramai-ramai banjiri pasar, bisnis, News,