STUNTING merupakan masalah gizi kronis yang berdampak pada kesehatan anak dan perekonomian negara.
"Pemerintah telah berupaya mengurangi stunting sebagai amanat konstitusi, namun Indonesia masih termasuk negara ketiga dengan prevalensi tertinggi stunting di dunia."
"Kita melihat pandangan Hak Azasi Manusia [HAM] bagi anak penderita stunting dan merumuskan upaya penegakan HAM terhadap masalah stunting," kata Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau dalam laporannya.
"Masih tingginya prevalansi stunting sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap masalah gizi buruk," sambungnya.
"Mengabaikan hak anak merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Perlu pengaturan hukum terkait stunting sebagai manifestasi tanggung jawab negara dalam penegakan hak asasi anak," sebutnya.
Jadi pencegahan dan penanganan stunting memang harus dilakukan secara holistik dalam berbagai sektor dengan komitmen dan sinergisitas antara pemerintah pusat/daerah, orang tua, keluarga dan masyarakat.
Menurutnya, saat ini permasalahan terkait kesehatan menjadi prioritas dunia. Diantaranya adalah masalah stunting atau perawakan pendek yang terjadi di masa anak-anak.
"Ini terjadi akibat kegagalan pertumbuhan atau kurangnya gizi di lalu yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang."
"Tidak salah jika masalah stunting ini menjadi permasalahan dunia khususnya bagi negara miskin dan berkembang," katanya.
Stunting ini pada umumnya bisa dilihat dari tinggi badan seseorang yang berada dibawah standar tumbuh kembang anak berdasarkan WHO.
Hinggi kini sudah tercatat kurang lebih 151 juta anak dengan usia dibawah 5 tahun mengalami stunting.
Di tahun 2019 saja prevelensi stunting yang terjadi pada anak usia dibawah 5 tahun telah mencapai 21,3%.
Seorang anak yang mengalami stunting mempunyai kemungkinan lebih besar dalam terjangkit penyakit serta mempunyai resiko yang tinggi terkena penyait degenative di usia dewasa.
Di Indonesia sendiri, telah tercatat kurang lebih 9 juta atau sekitar 37% balita terkena stunting. Data ini membuat Indonesia menjadi negara ke lima dengan prevalensi stunting tertinggi di dunia.
Stunting yang terjadi pada balita akan menyebabkan perkembangan kecerdasan yang dimilikinya menjadi tidak optimal. Selain itu balita akan lebih rentan terken penyakit dan memiliki resiko turunnya tingnkat produktivitas.
Jika dibiarkan, fenomena stunting ini akan berdampak besar pada tumbuhnya ekonomi, keminiskinan dan ketimpangan yang meningkat.
Stunting ini secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni masyarakat, keluarga serta personal.
Di tingkat masyarakat, stunting ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah sistem ekonomi, kesehatan, pendidikan hingga sistem sanitasi dan air bersih.
Air dan sanitasi lingkungan ini merupakan salah satu kondisi lingkungan yang paling berpengaruh.
Apabila kualitasnya buruk maka tumbuh kembang anak menjadi tidak optimal. Meskipun faktor lingkungan merupakan ini faktor yang tidak langsung, namun beruknya sanitasi dan kualitas air diakui berbagai penelitian sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menyebabkan stunting.
Sanitasi yang dimaksud disini pada dasarnya berupa kualitas air bersih, air minum serta pembuangan air limbah, tinja dan sampah yang mempunyai potensi besar dalam menyebabkan berbagai penyakit menulae seperti cacingan dan diare.
Tidak hanya itu, kaitannya dengan fenomena stunting, penyakit infeksi ini dapat menyebabkan berbagai gangguan pencernaan khususnya dalam menyerap nutrisi makanan.
Apabila gangguan percernaan atau infeksi ini terjadi pada bayi atau balita maka hal ini bisa menyebabkan penurunan berat badan bayi.
Jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama serta tanpa diimbangi dengan asupan gizi yang berimbang dalam proses penyembuhan maka dapat menimbulkan stunting pada anak.
Hal ini membuat pemantauan higiene sanitasi dengan pemeliharaan yang teratur untuk menghindari kemungkinan ancaman kesehatan yang merugikan khususnya untuk mencegah stunting perlu dilakukan.
Selain itu, regulasi yang tepat dari otoritas terkait akan sangat diperlukan sebagai acuan agar dapat berkembang secara luas.
Bagi Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam penyediaan akses air bersih dan sanitasi layak, program 100 – 0 – 100 yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diharapkan pada masyarakat Indonesia memiliki akses 100% untuk air minum yang layak, 0 serta akses sanitasi 100% sesuai dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional III.
Untuk mendukung terwujudnya program 100 – 0 – 100 diperlukan kualitas sanitasi lingkungan yang dapat memberikan dukungan optimal bagi kelangsungan hidup manusia.
Hal ini dikarenakan kualitas dari air bersih ini mempunyai pengaruh terhadap kesehatan masyarakat Indonesia salah satunya kejadian stunting pada anak.
Keterbatasan akses air bersih membuat balita terpaksa menggunakan air semampunya. Jika air bersih yang masuk tidak memenuhi syarat kelayakan, maka dapat meningkatkan bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh dan meningkatkan intensitas terjadinya penyakit menular pada balita.
Infeksi yang sering terjadi seperti diare atau cacingan menyebabkan asupan zat gizi menjadi terbuang tanpa penyerapan yang tepat dan terdapat perbedaan antara jumlah zat gizi yang dibutuhkan tubuh dengan jumlah zat gizi yang diserap.
Padahal hak rakyat Indonesia atas akses air bersih dijamin dan dilindungi oleh negara dari segi kualitas, kuantitas, dan kelangsungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 122 Tahun 2015 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) dimana Tujuan ke-6 terkait dengan air bersih dan sanitasi, sehingga seluruh masyarakat Indonesia harus memiliki akses terhadap sanitasi dan air minum yang aman dan terjangkau.
Peran Hak Asasi Manusia terhadap Fenomena Stunting pada Anak
Indonesia adalah negara yang terkenal dengan kekayaannya terutama sumber daya alam. Namun masalah gizi buruk masih menjadi masalah bagi masyarakat.
Fenomena gizi buruk ini secara nyata, berdampak besar pada perekonomian, sosial dan hukum di masyarakat. Hal ini terlihat dari potensi kerugian negara yang diakibatkan fenomena stunting ini yakni sebesar Rp 260-390 triliun/tahun.
Tingginya masalah stunting di Indonesia merupakan akibat dari asupan gizi yang buruk sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Ini merupakan ironi bagi masyarakat Indonesia yang terkenal akan Sumber Daya Alamnya yang kaya.
Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum didefinisikan sebagai salah satu harkat dan martabat yang dimiliki oleh seseorang sebagai hak dasarnya.
Dalam prosesnya HAM berkembang dengan sangat pesat. Hal ini ditandai dengan dikeluarkanya Deklarasi Hak Asasi Manusia yang terjadi pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini juga memuat tentang hak-hak yang dimiliki anak yakni tertuang pada Pasal 25 ayat (2) yang berisi tentang “Ibu dan anak berhak mendapat perhatian dan bantuan khusus.
Semua anak, baik yang lahir di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama”.
Upaya untuk mengatasi permasalahan terkait stunting ini sangat perlu untuk dilakukan dan segera ditangani oleh berbagai pihak khususnya pemerintah.
Pemerintah harus menjadikan masalah stunting menjadi salah satu fokus utama sehingga prevelansi kejadian stunting bisa mengalami penurunan melalui berbagai program penanggulangannya.
Oleh karena itu, pemerintah harus secara tegas memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki anak seperti hak hidup, ha untuk berkembang dan tumbuh layaknya manusia pada umumnya serta ha katas kesehatan.
Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan universal sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemandirian dan perkembangan.
Manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, disita, atau diganggu oleh siapapun”. Ini menjadi dasar bahwasannya sebagai seperangkat hak, HAM pada hakikatnya merupakan anugrah dari Tuhan YME yang harus dilinduungi, dijunjung tinggi serta dihormati oleh semua pihak termasuk negara, pemerintah, hukum serta setiap individu sebagai sutau kehormatan dan harga diri manusia.
Lebih jelasnya pemerintah mempunyai tanggung jawab besar dalam melakukan penanganan masalah stunting ini sebagaimana dinyatakan dalamkonstitusi pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Sebagai permasalahan yang sudah lama terjadi di Indonesia, pemerintah harus merumuskan Langkah strategis melalui berbagai kebijakan atau program-program yang bisa menanggulangi permasalahan stunting ini.
Ada banyak aturan hukum yang mengatur tentang perlindungan hak-hak anak di Indonesia, serta banyaknya lembaga atau lembaga yang tugas dan fungsinya melindungi hak-hak anak, menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi anak sudah memadai, dan harus diikuti dengan peningkatan kualitas hidup anak.
Namun masalah stunting masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dan akan berdampak besar jika tidak segera diatasi. Padahal seorang anak mempunyai hak untuk mendapatkan pemenuhan gizi yang baik. Hal ini sesuai dengan Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen kedua menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan, kesehatan sebagai unsur kesejahteraan manusia dan kebutuhan dasar dalam memelihara hidupnya”.
Oleh sebab itu, setiap pribadi berhak memiliki derajat kesehatan yang baik, yang optimal baik itu kesehatan fisik, jiwa hingga kesehatan sosial. Sehingga setiap individu mempunyai kesempatan untuk hidup secara produktif baik secara ekonomi maupun secara sosial.
Rosalinda [5] menederita Stunting
Seperti yang diketahui Hak Asasi Manusia mengalami perkembangan yang cepat. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 20 November 1959. Deklarasi ini menyatakan bahwa anak harus dijamin tumbuh kembangnya secara sehat dan untuk mencapai tujuan tersebut harus ada pengasuhan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibu. Oleh karena itu, hak dan kewajiban anak stunting ditujukan kepada pemerintah agar dapat mengatur secara jelas hak-hak yang dimiliki oleh anak stunting agar dapat mempermudah akses pelayanan kesehatan dan gizi.
Kewajiban juga diatur agar anak memperhatikan dan bertanggung jawab terhadap proses penyembuhan. Tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah ditujukan kepada pemerintah untuk bertanggung jawab kepada masyarakat terkait penyembuhan dan pemenuhan gizi anak stunting. Dan apabila memungkinkan, perlu adanya pengenaan sanksi jika tanggung jawab itu tidak dilaksanakan. (*)
Oleh: Larshen Yunus, Ketua DPD I KNPI Riau
Tags : Dewan Pengurus Daerah I Komite Nasional Pemuda Indonesia, Larsehn Yunus Ketua DPD I KNPI Riau, Stunting, Hak Anak Hidup Sehat,