Pekanbaru   19-03-2025 21:34 WIB

Rumah Dinas Kejati Masih Dianggarkan di Sorot Publik, FITRA Riau: 'Ditengah Defisit, Lebih Baik Prioritaskan Kesejahteraan Masyarakat'

Rumah Dinas Kejati Masih Dianggarkan di Sorot Publik, FITRA Riau: 'Ditengah Defisit, Lebih Baik Prioritaskan Kesejahteraan Masyarakat'
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau

PEKANBARU - Gubernur Riau (Gubri), Abdul Wahid tidak banyak berkomentar terkait anggaran APBD Riau yang dialokasikan untuk instansi vertikal, salah satunya adalah rumah dinas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau yang mencapai Rp 10 miliar dan menjadi sorotan publik.

"Rumah Dinas Kejati masih dianggarkan di sorot publik."

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau menyoroti anggaran untuk instansi vertikal di tengah defisit anggaran. Salah satu sorotan utama adalah alokasi anggaran sebesar Rp 10 miliar untuk pembangunan rumah dinas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.

"Berdasarkan data belanja APBD Riau 2025, tercatat beberapa item belanja yang dialokasikan untuk Korps Adhiyaksa. Di antaranya adalah pembangunan rumah dinas yang memakan anggaran hingga Rp 10 miliar dan rehabilitasi gedung barang bukti senilai Rp 5,9 miliar," kata Deputi FITRA Riau, Taupik, dalam keterangan pers, Senin (16/3).

Jadi FITRA Riau menilai masih ditengah defisit, sebaiknya diprioritaskan untuk kesejahteraan masyarakat.

Sementara Gubernu Riau Abdul Wahid awalnya membahas kunjungannya ke Kantor Kejati Riau, di mana ia membahas potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersama Korps Adhiyaksa.

"Sama Pak Kajati dan jajaran Kejati Riau. Ya biasa, dalam rangka optimalisasi kinerja pemerintah. Termasuk menggali potensi PAD (pendapatan asli daerah) kita yang mau sama-sama kita kerjakan," kata Abdul Wahid dilansir dari Detik Sumut, Selasa (18/3/2025).

Ia kemudian menjelaskan bahwa APBD Riau mengalami defisit anggaran dan tunda bayar yang mencapai Rp 3,5 triliun, yang perlu diinventarisasi.

Defisit dan tunda bayar ini merupakan akumulasi utang tahun 2024, gaji pegawai, dan tunda salur akibat pengurangan dan pendapatan yang tidak terealisasi.

"Kalau tidak kita rasionalisasi kegiatan di 2025 maka dia mengalami defisit Rp 3,5 triliun lebih kurang. Maka kebijakan kita harus ada yang rasionalisasi dan koreksi," kata Wahid.

Rasionalisasi dan koreksi kegiatan disebut akan berdampak pada infrastruktur. Hanya saja ia memastikan tidak akan ada jalanan yang putus hingga berdampak ke ekonomi masyarakat.

"(Infrastruktur) pasti terdampak semua. Tapi saya jamin tidak ada jalan yang putus dan tidak bisa dilewati karena berkaitan ekonomi masyarakat," kata Wahid.

Ketika ditanya mengenai anggaran miliaran untuk rumah dinas Kejati, Abdul Wahid memilih untuk tidak banyak berkomentar. Ia hanya menegaskan bahwa prioritas utama adalah pelayanan publik.

"Pokoknya kita dahulukan pelayanan publik. Nanti kita pasti utamakan untuk pelayanan publik, ya nanti ya," tegas Wahid didampingi Pj Sekretaris Daerah Provinsi Riau Taufik OH dan Wakajati Riau Rini Hartati.

Tetapi Taupik lebih menyoroti soal kesejahteraan rakyat untuk lebih utama.

Berdasarkan data belanja APBD Riau 2025, kata dia, tercatat beberapa item belanja yang dialokasikan untuk Korps Adhiyaksa.

Di antaranya adalah pembangunan rumah dinas yang memakan anggaran hingga Rp 10 miliar dan rehabilitasi gedung barang bukti senilai Rp 5,9 miliar.

"Belanja untuk Kejaksaan Tinggi Riau meliputi pembangunan rumah dinas sebesar Rp 10 miliar, rehabilitasi gedung barang bukti Rp 5,9 miliar, serta perencanaan rehabilitasi gedung barang bukti senilai Rp 100 juta," kata Taupik.

Selain itu, terdapat anggaran untuk rehabilitasi ruang VIP sebesar Rp 35 juta, rehabilitasi ruang transit Kejati Rp 784 juta, dan perencanaan rehabilitasi rumah asisten Kejati sebesar Rp 100 juta.

Anggaran lainnya juga dialokasikan untuk pembayaran sisa pekerjaan perencanaan rehabilitasi gedung barang bukti dan pagar sebesar Rp 225 juta, serta pembayaran sisa pekerjaan gedung barang bukti tahun 2024 sebesar Rp 21 juta.

Terakhir, ada dana pengawasan untuk rehabilitasi ruang transit VIP senilai Rp 45 juta.

Selain Kejati, anggaran juga disiapkan untuk pembangunan rumah sakit Polri dan TNI. Namun, anggaran untuk rumah sakit ini masih dianggap wajar karena diperkirakan akan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Meski demikian, Taupik berharap agar Gubernur Riau, Abdul Wahid, mencari skema pembiayaan bersama (cost-sharing) antara pemerintah provinsi dan pusat.

Dengan demikian, beban anggaran tidak sepenuhnya dibebankan pada APBD Provinsi Riau di tengah kondisi keuangan yang defisit.

"Dalam kondisi defisit seperti ini, alokasi anggaran sebaiknya difokuskan pada program-program yang lebih mendesak dan memiliki dampak langsung bagi masyarakat, seperti penanggulangan bencana, pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta pembangunan infrastruktur dasar yang lebih prioritas," kata Taupik.

Taupik menegaskan bahwa alokasi dana APBD harus memprioritaskan kepentingan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur dan pelayanan dasar yang langsung dirasakan oleh warga.

"Jika anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan rumah dinas dan bantuan hibah bagi lembaga vertikal dialihkan untuk memperbaiki fasilitas umum, seperti jalan, maka cakupan pembangunan infrastruktur bisa lebih luas dan efektif. Saat ini, ada sekitar 596 km jalan di Pekanbaru yang membutuhkan perbaikan, sebagian besar di antaranya menjadi kewenangan provinsi," ujar Taupik.

Dia menambahkan bahwa jika Pemprov Riau mengoptimalkan anggaran untuk memperbaiki infrastruktur jalan tersebut, maka anggaran yang ada dapat dialihkan untuk membantu kabupaten/kota lain yang juga membutuhkan perhatian dalam hal infrastruktur jalan.

Dengan demikian, kebijakan anggaran harus lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan infrastruktur publik, daripada belanja yang tidak mendesak seperti pembangunan rumah dinas untuk lembaga vertikal yang sebenarnya bisa ditanggung oleh pemerintah pusat.

"Terkait dengan pembangunan rumah sakit Polri dan TNI, hal ini masih dapat diterima, karena fasilitas tersebut nantinya akan memberikan pelayanan kesehatan tidak hanya untuk personel, tetapi juga untuk warga sipil, sehingga manfaatnya lebih luas," tambah Taupik.

Namun, pembangunan rumah sakit ini harus menggunakan skema pembiayaan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, agar pembiayaan fasilitas kesehatan tidak sepenuhnya dibebankan pada APBD provinsi.

Di sisi lain, Taupik menilai bahwa tidak ada dasar yang membenarkan pembiayaan daerah untuk pembangunan fasilitas internal Kejaksaan Tinggi, terutama rumah dinas pegawai yang tidak memiliki dampak langsung bagi masyarakat.

"Anggaran daerah seharusnya difokuskan pada sektor yang memberikan manfaat langsung kepada publik, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan," tegasnya.

Taupik juga mengingatkan agar Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Burhanuddin menegur Kepala Kejaksaan Tinggi Riau agar tidak lagi meminta bantuan anggaran kepada pemerintah daerah.

"Riau sudah cukup banyak membantu pembangunan gedung lembaga vertikal, dan pembiayaan untuk kebutuhan internal Kejati tidak seharusnya terus dibebankan pada anggaran daerah. Pemerintah pusat harus mengambil sikap tegas agar kejadian serupa tidak terulang, sehingga anggaran daerah dapat digunakan lebih optimal untuk kepentingan rakyat Riau," tegasnya.

Dengan demikian, FITRA Riau mengingatkan agar alokasi anggaran daerah lebih fokus pada sektor yang benar-benar mendesak dan langsung bermanfaat bagi masyarakat luas. (*)

Tags : rumah dinas, kejaksaan tinggi riau, rumdis kejati, ditengah devisit bangun rumdis, pembangunan rumdis kejati di sorot publik, forum indonesia untuk transparansi anggaran, fitra riau, fitra minta pemprov prioritaskan kesejahteraan masyarakat,